24 Desember 2008

Jozhua Yap

Puji Tuhan telah ditambahkan anggota keluargaku pada tanggal 20 Des 2008 ...
Ke dalam tanganMu yang ajaib kupersembahkan untuk kemuliaanMu
pakailah sesuai dengan rencanaMu...



BagiMu TUHAN segala kemuliaan, hormat, puji syukur kupanjatkan ....
BagiMu TUHAN segala kemashyuran, kuasa, berkat kunaikkan ....
BagiMu TUHAN segala kebesaran, damai, kasih kupersembahkan ....
BagiMu TUHAN segala kemurahan, gembira, sejahtera kuungkapkan ....


Baca selanjutnya...

04 Desember 2008

Peranan Pengertian dan Definisi dalam Hukum dan dalam Akta Otentik

Pengertian adalah isi pikiran yang dimunculkan oleh sebuah perkataan tertentu atas sebuah obyek atau seorang pribadi yang telah memperoleh sebuah nama, dimana obyek atau orang tersebut tidak perlu merupakan suatu yang secara emperikal dapat diraba atau yang ada di
dalam kenyataan, namun juga pada tataran yang lebih abstrak.
Contohnya obyek yang diberi nama kontrak, perbuatan yang melawan hukum, badan hukum, kepatutan, keadilan dan lain-lain.

Dalam ilmu Hukum sangat penting pembentukan pengertian yang dapat meletakkan relasi antara perkataan-perkataan itu dan gejala-gejala itu.
Manusia diberi anugerah untuk dapat berpikir secara reflektif yaitu kemampuan untuk mengambil jarak terhadap kenyataan yang melingkungi, membentuk pikiran-pikiran (pengertian-pengertian) tentang hal itu untuk dengan itu mendekati kembali kenyataan itu, atau untuk memahami lebih baik kenyataan itu ( pada tataran teoritikal ) atau untuk mempengaruhinya ( pada tataran praktikal ).

Oleh karena itu pembentukan pengertian tidak hanya penting dalam bidang Dogmatika Hukum, melainkan juga dalam perundang-undangan.
Karena sebuah undang-undang dimaksudkan untuk mengatur perilaku masyarakat, maka harus dibuat jelas bagi mereka, perilaku apa yang diharapkan (dituntut) dari mereka.
Hal itu mengakibatkan dalam undang-undang, sebelum pengaturan yang sesungguhnya, memberikan batasan pengertian terlebih dahulu tentang pengertian-pengertian yang digunakan dalam undang-undang itu. Hal itu dilakukan dengan jalan memberikan definisi istilah-istilah yuridis yang digunakan dalam undang-undang itu.
Dengan memberikan penentuan batasan pengertian lebih lanjut pada sebuah istilah dalam perundang-undangan, tidaklah secara otomatis telah tercipta suatu pengertian dengan kejelasan yang sempurna. Disinilah tugas seorang hakim untuk memberikan arti pada istilah-istilah perundang-undangan yang sesuai dengan konteks dari kejadian-kejadian kongret yang dihadapkan kepadanya.

Pada tiap pengertian dikenal pembedaan antara isi pengertian dan lingkup/luas pengertian.
(J.J. H. Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, Bandung, 1999: 53).
Isi pengertian disebut intensi/konotasi yaitu keseluruhan ciri-ciri yang mewujudkan pengertian
itu ( dalam bahasa Inggris disebut ”sense” dan dalam bahasa Perancis disebut ”signification” ), sedangkan luas/lingkup pengertian yaitu semua obyek atau orang yang termasuk dalam pengertian itu disebut ekstensi/denotasi ( dalam bahasa Inggris disebut ”reference” dan dalam bahasa Perancis disebut ”designation” ).
Dan hubungan antara intensi dan ekstensi dapat dinyatakan dengan 2 dalil.
Dalil pertama berbunyi : Intensi menentukan ekstensi, yang berarti bahwa isi sebuah pengertian menentukan keluasan lingkup pengertian. Obyek-obyek atau orang-orang siapa saja yang termasuk dalam suatu pengertian bergantung pada keseluruhan ciri-ciri yang mewujudkan pengertian itu.
Dalil yang kedua adalah Intensi berbanding terbalik dengan Ekstensi, yang berarti semakin sedikit intensi pengertian memuat ciri-ciri ( semakin kurang persis ), maka semakin banyak obyek atau orang yang termasuk kedalam ekstensi pengertian itu.
Penjelasan mengenai 2 dalil ini dapat diilustrasikan dalam pengertian tentang ”peristiwa hukum” dan pengertian ”perkawinan”.
Pengertian ’peristiwa hukum” memuat ciri-ciri berikut :

  1. peristiwa;
  2. yang dalam dirinya membawa serta akibat-akibat hukum;
  3. yang ditautkan pada peristiwa itu oleh hukum positif.

    Disini terlihat banyak obyek yang dapat dimasukan kedalam pengertian tersebut, karena intensi pengertian memuat sedikit ciri dan ciri-ciri itu ditetapkan kurang spesifik. ( kebenaran dari dalil kedua).

    Dari ciri peristiwa itu termasuk pula kejadian, keadaan dan perbuatan, dimana perkawinan termasuk salah satu dalam pengertian peristiwa hukum, sebaliknya pengertian perkawinan itu sendiri memuat ciri-ciri berikut :

    1. perbuatan
    2. bersifat hukum kekeluargaan
    3. bersegi banyak ( pernyataan kehendak oleh lebih dari satu orang )
    4. yang menimbulkan akibat hukum
    5. yang oleh hukum positif ditautkan pada perbuatan itu
    6. yang menjadi tujuan dari orang-orang yang melakukan perbuatan itu

    Disini terlihat banyak ciri yang dimasukkan kedalam suatu pengertian peristiwa hukum yang
    disebut sebagai perkawinan. ( bukti kebenaran dalil pertama ).

    Penjabaran hubungan intensi dan ekstensi suatu pengertian berkaitan erat dengan pola pikir manusia yang penting yaitu mengabstraksi dan mengkonkretasi.
    Pada ihkwal mengabstraksi, orang berpikir dari suatu pengertian yang konkret, artinya sebuah pengertian dengan ciri-ciri yang banyak dan dengan demikian dengan lingkup yang sempit, ke suatu pengertian yang abstrak yaitu dengan jalan mengurangi ciri-ciri dari sebuah pengertian, sehingga timbul pengertian yang lebih luas dan lebih sedikit ciri-cirinya.
    Proses berpikir ini adalah proses berpikir induktif ( dari pengertian yang khusus/sempit melalui generalisasi menyimpulkan hal-hal yang umum ). Proses yang sebaliknya berlaku bagi proses berpikir deduktif ( dari pengertian yang luas melalui penambahan ciri disimpulkan suatu pengertian yang spesifik/ yang lebih khusus ).


    Permasalahan yang terjadi di bidang hukum adalah permasalahan pengertian bermakna ganda dimana perlu dibedakan dalam suatu pengertian apakah pengertian tersebut mengindikasikan suatu kegiatan/perbuatan ataukah pengertian tersebut mengindikasikan tentang hasil dari kegiatan itu. Misalnya dalam bahasa Belanda istilah-istilah yang berakhiran ”ing” dapat menyatakan baik suatu kegiatan maupun hasil kegiatan itu, contohnya beschikking ( ketetapan), handeling (perbuatan), dapat berarti suatu kegiatan maupun hasil dari kegiatan itu.

    Dan permasalahan yang kedua adalah ketidakjelasan yang disebut pengertian yang kabur, dalam istilah ini berkenaan dengan pengertian yang intinya sendiri juga tidak jelas, sehingga wilayah perbatasan pengertian tersebut menjadi tidak jelas pula.
    Contohnya antara lain : kesusilaan yang baik, ketertiban umum, kecermatan yang layak dalam pergaulan masyarakat, dan sebagainya. Pembuat undang-undang kadang menggunakan pengertian yang kabur untuk menjaga kelenturan / fleksibel agar tatanan hukum mampu menyesuaikan diri pada tatanan masyarakat yang berubah. Dan Hakimlah yang mempunyai tugas untuk memberikan isi pada pengertian yang kabur itu, dengan memperhatikan keadaan konkret dari kejadian yang harus dinilai.


    Batas-batas yang ditentukan secermat (sepersis) mungkin bagi suatu pengertian menurut syarat-syarat tertentu disebut definisi.
    Syarat-syarat sebuah definisi :

    1. Definien harus lebih jelas ketimbang definiendum.
      Perkataan yang mewujudkan definisi (definien) harus lebih jelas daripada perkataan yang harus didefinisikan (definiendum).
      Misal : Rupiah (definien) adalah mata uang resmi di negara Republik Indonesia (definiendum).
    2. Definiendum tidak boleh ada dalam definien
      Misal : pelajar adalah seseorang yang belajar. Definisi ini membuat kata pelajar sangat kurang jelas, dan definisi yang mengatakan sedikit ciri-ciri ini disebut definisi sirkuler.
    3. Definien tidak boleh negatif
      Misal : Wanita adalah seseorang yang bukan pria.
    4. Definiendum dan definien harus dapat dipertukarkan (convertible).

    Jadi masalah pendefinisian ini menjadi penting karena untuk mengetahui dimana orang berdiri
    untuk mencapai suatu kesepakatan dalam memandang suatu aspek tertentu yang sedang dibicarakan atau akan disepakati.

    Setelah ngalor ngidul bermain diawang-awang filsafati, marilah kita membumi....
    Pertanyaannya apa gunanya uraian di atas khususnya bagi seorang Notaris?

    Penulis merasa tidak perlu menguraikan lagi panjang lebar apa gunanya Akta otentik baik yang
    dibuat dihadapan atau oleh Notaris; namun perlulah kiranya diperhatikan bahwa satu aspek yang penting adalah akta otentik mempunyai kekuatan pembuktian materiil ( disamping kekuatan pembuktian lahiriah dan formil).


    Kekuatan pembuktian materil ini menyangkut pembuktian tentang materi atau isi suatu akta
    dan memberi kepastian tentang peristiwa atau kejadian bahwa pejabat dan para pihak melakukan atau melaksanakan seperti apa yang diterangkan dalam akta itu. Untuk Akta Notaris atau Relaas Akta sebagai Akta Otentik, tidak lain hanya membuktikan apa yang disaksikan yakni yang dilihat didengar dan juga dilakukan sendiri oleh Notaris itu didalam menjalankan jabatannya.
    Sedangkan Akta Para Pihak ( akta-akta yang dibuat dihadapan Notaris) mempunyai kekuatan pembuktian materil oleh karena peristiwa atau perbuatan hukum yang dinyatakan oleh para
    pihak dan dikonstatir oleh Notaris dalam Akta itu adalah benar-benar terjadi dan Akta Notaris sebagai Akta Otentik yang berupa Akta Para Pihak, maka isi keterangan dan ataupun perbuatan hukum yang tercantum di dalam akta itu berlaku terhadap orang-orang yang memberikan keterangan itu dan untuk keuntungan serta kepentingan siapa akta itu diberikan.

    Disinilah letak arti pentingnya pendefinisian tentang hal-hal yang akan disepakati oleh para
    pihak di dalam akta otentik tersebut, Notaris sebagai orang yang ahli dibidang pembuatan akta otentik wajib memberikan pedoman kepada para pihak untuk menyepakati dalam bentuk pengertian dan definisi dari perbuatan hukum yang mereka lakukan yang akan dinyatakan dalam akta otentik tersebut.


    Pekerjaan Notaris untuk mengkonstatir maksud dan kehendak para pihak harus berangkat dari titik pengertian dan definisi yang disepakati para pihak agar tidak menimbulkan norma
    yang kabur atau makna berganda atau bahkan saling bertentangan antara isi dari satu pasal dengan pasal lainnya dalam akta otentik tersebut.


    Salah satu fungsi Notaris -walaupun bukan sebagai aparat penegak hukum – mempunyai kedudukan yang sangat berperan dan strategis dalam bidang hukum perdata yaitu membantu
    mempercepat tugas Hakim dalam mencari kebenaran formil (formeel waarheid).

    Dengan isi/materi yang jelas ( tidak bertentangan, tidak kabur) dalam suatu akta otentik, maka
    Hakim cukup menimbang bahwa terhadap suatu kasus apabila telah dipenuhi batas minimal pembuktiannya ( baca artikel kedudukan akta otentik dalam sistem hukum pembuktian ) dapatlah diambil suatu keputusan.


    Mari kita jalankan fungsi, peranan tugas jabatan Notaris dengan profesional sesuai harkat dan
    martabat yang telah disepakati bersama.

    VIVA NOTARIUS !

    Baca selanjutnya...

    11 Oktober 2008

    Serba-serbi Yayasan dan pengaturannya bagian 2

    Serba-serbi Yayasan dan pengaturannya
    dalam UU 16/2001, UU 28/2004 , PP 63/2008


    Setelah membahas tentang apakah Yayasan, siapakah yang dapat menjadi pendiri Yayasan dan batasan kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh Yayasan, maka pada artikel bagian ini Penulis akan menguraikan serba-serbi Yayasan perihal modal, pengesahan Anggaran Dasar dan perubahannya, dan permasalahan-permasalahan hukum yang mungkin timbul dari peraturan peraturan yang ada khususnya PP 63/2008.

    Dalam pasal 6 PP 63/2008 ditentukan bahwa minimal kekayaan awal dari Yayasan yang harus disediakan oleh pendiri Yayasan adalah sebagai berikut :
    - Jika Yayasan didirikan oleh Orang Indonesia ( perorangan atau badan hukum ) maka harus dipisahkan dari harta kekayaan pribadi pendiri sebesar minimal Rp.10.000.000,-
    - Jika Yayasan didirikan oleh Orang Asing atau Orang Asing bersama Orang Indonesia, maka harus dipisahkan dari harta kekayaan pribadi pendiri sebesar minimal Rp.100.000.000,-

    Permasalahan hukum yang timbul disini adalah penyebutan status Yayasan : ada Yayasan "nasional”, Yayasan yang ”mengandung unsur asing” dan Yayasan ”asing”. Perlu ditelaah lebih lanjut perbedaan antara Yayasan yang mengandung unsur asing ( didirikan menurut hukum
    Indonesia ) dengan Yayasan asing ( didirikan menurut hukum Asing ). Pada bagian yang lalu penulis telah disinggung bahwa Yayasan Asing dalam melaksanakan kegiatan operasionalnya wajib bermitra dengan Yayasan yang didirikan oleh Orang Indonesia ( Yayasan nasional ) (pasal 26 PP), sedangkan Yayasan yang mengandung unsur asing tidak perlu bermitra dengan Yayasan nasional dan berhak melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan.

    Status badan hukum Yayasan diperoleh sejak tanggal pengesahan oleh Menteri Hukum dan HAM ( pasal 11 UU 16/2001 jo UU 28/2004) sedangkan prosedurenya diuraikan dalam pasal 15 PP 63/2008 yaitu dalam jangka waktu maksimal 10 hari sejak tanggal Akta Pendirian, pendiri atau kuasanya melalui notaris yang membuat akta pendirian Yayasan mengajukan permohonan secara tertulis dilampiri dengan :
    a. Salinan akta pendirian Yayasan;
    b. Foto copy NPWP Yayasan yang dilegalisir Notaris;
    c. Surat pernyataan kedudukan disertai alamat lengkap Yayasan ditanda tangani Pengurus dan diketahui oleh Lurah/Kepala Desa;
    d. Bukti penyetoran atau keterangan Bank atas nama Yayasan atau pernyataan tertulis dari pendiri yang memuat keterangan nilai kekayaan yang dipisahkan sebagai kekayaan awal untuk mendirikan Yayasan;
    e. Surat Pernyataan Pendiri mengnai keabsahan kekayaan awal tersebut;
    f. Bukti penyetoran biaya pengesahan dan pegumuman Yayasan.

    Prosedure mana lebih lengkap daripada yang disyaratkan dalam Surat Edaran Dirjen Administrasi Hukum Umum nomor C-HT.01.10-21 tanggal 4 Nopember 2002 juncto Surat nomor : C-HT.01.10-07 tanggal 5 Mei 2003 perihal pengesahan dan persetujuan perubahan Anggaran Dasar Yayasan.
    Jadi secara praktis sebaiknya dilengkapi semuanya termasuk biaya PNBP dan biaya Pengumuman TBNRI.

    Mengenai Anggaran Dasar Yayasan yang perlu diperhatikan adalah baik Pendirian Yayasan maupun perubahan Anggaran Dasar Yayasan harus menggunakan akta otentik dan dibuat dalam bahasa Indonesia ( pasal 9 ayat jo pasal 18 ayat 3 2 UU 16/2001 ).

    Perubahan subtansi Anggaran Dasar dapat dikategorikan menjadi 3 kategori :
    - hal yang tidak boleh dirubah
    - hal yang boleh dirubah dengan mendapat persetujuan Menteri
    - hal yang boleh dirubah cukup dengan diberitahukan kepada Menteri
    Sedangkan perubahan data Yayasan cukup diberitahukan kepada Menteri ( pasal 19 PP ).

    Hal yang tidak boleh dirubah dari subtansi Anggaran Dasar Yayasan adalah perubahan maksud dan tujuan Yayasan.
    Hal yang boleh dirubah dengan persetujuan Menteri adalah perubahan nama dan kegiatan Yayasan.
    Hal yang boleh dirubah cukup diberitahukan kepada Menteri adalah subtansi Anggaran Dasar selain yang disebutkan diatas termasuk perubahan tempat kedudukan Yayasan. ( pasal 18 ayat 1 dan ayat 3 ).
    Perubahan susunan Pengurus, Pembina, Pengawas dan perubahan alamat lengkap Yayasan adalah termasuk perbuatan hukum yang tidak merubah Anggaran Dasar Yayasan namun dikategorikan sebagai perubahan data Yayasan ( pasal 19 PP dan penjelasannya ).
    Hati-hati disini karena perubahan tempat kedudukan dan perubahan alamat lengkap Yayasan adalah perbuatan hukum yang berbeda.

    Yang menjadi permasalahan hukum adalah penentuan waktu efektif berlakunya perubahan-perubahan tersebut.
    Perubahan Anggaran Dasar yang membutuhkan persetujuan Menteri secara tegas ditetapkan berlaku sejak tanggal persetujuan Menteri ( pasal 17 PP ), dalam pasal 18 mengenai perubahan Anggaran Dasar Yayasan yang tidak memerlukan persetujuan Menteri tidak ditetapkan efektif
    berlakunya, sebaliknya dalam pasal 19 ditetapkan perubahan data Yayasan efektif berlaku sejak tanggal perubahan tersebut dicatat dalam Data Yayasan. Nah ini masalah besar !!
    Rupanya pembuat PP telah melakukan kekeliruan yang fatal, jika penetapan waktu efektifitas berlakunya perubahan Anggaran Dasar ditetapkan sejak pencatatan dalam Data Yayasan maka tidak ada masalah, namun ketentuan tentang efektifitas berlakunya perubahan data Yayasan ditetapkan berdasarkan tanggal pencatatan adalah bertentangan dengan pasal 33 jo pasal 45 (point 9 dan point 14 UU 28/2004 ), yang menentukan bahwa perubahan data tersebut wajib
    disampaikan oleh Pengurus yang menggantikan Pengurus lama, padahal pasal 19 PP efektifitas penggantian tersebut (data perubahan) terhitung sejak dicatatkan dalam Data Yayasan, jadi bukan berlaku sejak ditutupnya Rapat Pembina yang merubah susunan Pengurus dan/atau Pengawas atau sejak ditutupnya Rapat pengurus yang menetapkan perubahan alamat Yayasan ( dalam 1 kelurahan ).

    Ironis memang dimana PP diadakan dengan maksud untuk lebih menjamin kepastian hukum namun subtansinya justru menimbulkan ketidak-kepastian hukum. Langkah Yudicial Review sebaiknya perlu segera ditempuh oleh para praktisi hukum untuk meniadakan ketidak-pastian tersebut.

    Permasalahan hukum yang paling penting adalah keberadaan pasal 39 PP 63/2008 sebagai aturan yang memaksa apabila Yayasan yang diakui sebagai badan hukum namun tidak menyesuaikan Anggaran Dasarnya sesuai dengan UU 16/2001 jo UU 28/2004 sampai dengan selambat-lambatnya tanggal 6 Oktober 2008, maka Yayasan tersebut harus melikuidasi kekayaannya dan menyerahkan sisa hasil likuidasinya kepada Yayasan yang mempunyai kesamaan kegiatan dengan yayasan yang dibubarkan.
    Padahal dalam pasal 71 ayat 4 UU 16/2001 jo point 20 UU 28/2004 yang disebut pula dalam pasal 39 PP hanya menegaskan bahwa terhadap yayasan tersebut disamping tidak dapat menggunakan kata Yayasan di depan namanya dan DAPAT dibubarkan berdasarkan putusan Pengadilan atas permohonan Kejaksaan atau pihak yang berkepentingan.

    Jelas-jelas PP telah melampaui pengaturan yang diatur dalam UU ! Dengan adanya norma ”harus melikuidasi kekayaannya” ini berarti semua Yayasan yang sudah berbadan hukum yang belum menyesuaikan dengan UU tentang Yayasan WAJIB membubarkan diri.

    Dan jika analisa tersebut diterima maka terjadilah ”kekonyolan hukum” akibat membandingkan ketentuan tersebut di atas dengan ketentuan dalam pasal 36 PP mengenai Yayasan yang tidak diakui sebagai badan hukum, terhadap ”yayasan” ini tidak perlu dibubarkan cukup dimintakan
    permohonan pengesahan ke Menteri dan terhadap seluruh tindakan ”Yayasan” tetap diakui sebagai perbuatan hukum yang sah ( hanya saja menjadi tanggung jawab pribadi secara tanggung renteng dari anggota organ Yayasan, pasal 36 ayat 3 PP).

    Sungguh konyol bagi Yayasan yang sudah berbadan hukum namun belum menyesuaikan diri dengan UU ”diperlakukan lebih kejam” daripada Yayasan belum/tidak diakui berbadan hukum yang memang dari semula tidak mentaati hukum yang berlaku.
    Disini terjadi ketidak adilan !

    Berikutnya agar tidak lebih konyol lagi sebaiknya redaksi pasal 36 ayat 2 diubah menjadi : ”Didalam premise akta Perubahan Anggaran Dasar disebutkan asal usul pendirian Yayasan ...dst”.
    Argumentasinya : Tidak mungkin di dalam Akta Pendirian ditambahkan premise seperti yang disyaratkan kecuali dengan mengadakan Perubahan terhadap Akta tersebut.
    Saran : sekalian dalam premise akta ditegaskan pula bahwa perbuatan hukum yang dilakukan oleh organ yayasan sebelum disahkannya yayasan sebagai badan hukum, terhitung sejak disahkannya yayasan sebagai badan hukum, segala hak dan kewajiban yang timbul diambih alih dan oleh karena itu menjadi hak dan kewajiban Yayasan.
    ( Ini mengadopsi ketentuan dalam pasal 14 UU 40 /2007 tentang PT ).
    Argumentasinya : karena dalam UU dan PP tidak disebutkan peralihan hak dan kewajiban atas suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh organ yayasan sebelum yayasan disahkan sebagai badan hukum, maka hal itu paling tepat disebutkan dalam akta perubahan anggaran dasar yayasan.

    Demikianlah uraian sekilas mengenai serba serbi Yayasan, semoga berguna bagi para pembaca.

    Baca selanjutnya...

    07 Oktober 2008

    Serba-serbi Yayasan bagian 1

    Serba-serbi Yayasan dan pengaturannya
    dalam UU 16/2001, UU 28/2004 dan PP
    63/2008


    Yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota.

    Yayasan dapat melakukan kegiatan usaha untuk mencapai maksud dan tujuannya dengan cara mendirikan badan usaha dan/atau ikut serta dalam suatu badan usaha dengan syarat bahwa :
    - usaha kegiatan badan usaha tersebut harus sesuai dengan maksud dan tujuan yayasan;
    - kegiatan usahanya tidak bertentangan denan ketertiban umum, kesusilaan dan/atau peraturan perundangan yang berlaku ( dapat mencakup bidang-bidang hak asasi manusia, kesenian, olah raga, perlindungan konsumen, pendidikan, lingkunngan hidup, kesehatan dan ilmu pengetahuan ) ( pasal 8 UU16/2001);
    - jumlah penyertaan maksimum 25 % dari seluruh nilai kekayaan Yayasan;
    - Anggota Pembina, Pengurus dan Pengawas Yayasan dilarang merangkap sebagai anggota Dirkesi dan anggota Dewan Komisaris atau Pengawas dari badan usaha tersebut.

    Yayasan mempunyai organ yang terdiri dari Pembina, Pengurus dan Pengawas. Kepada mereka tidak dapat diberikan gaji, upah atau honorarium, atau bentuk lain yang dapat dinilai dengan uang. ( Pasal 5 UU 28/2004 ).
    Khusus mengenai Pengurus dapat diadakan pengaturan pengecualiannya dalam Anggaran Dasar Yayasan, yaitu Pengurus dapat diberi gaji, upah atau honorarium dengan syarat bahwa Anggota Pengurus tersebut :
    - bukan pendiri Yayasan dan tidak terafiliasi dengan Pendiri, Pembina atau Pengawas;
    - melaksanakan kepengurusan Yayaysan secara langsung dan penuh.

    Disamping larangan untuk memberikan upah, gaji atau honorarium, Yayasan juga dilarang untuk membagikan hasil kegiatan usahanya kepada Pembina, Pengurus dan Pengawas. (pasal 3 ayat 2 UU16/2001).Namun segala biaya dan ongkos yang dikeluarkan oleh organ yayasan dalam rangka menjalankan tugas yayasan wajib dibayar oleh Yayasan.

    Catatan Penulis : Jadi kalau gaji, upah atau honor tidak boleh, tapi kalau biaya perjalanan, biaya seminar, ongkos penginapan, ongkos pemeliharaan/service kendaraan, dll yang dikeluarkan lebih dahulu ( ditalangi ) oleh organ yayasan dapat minta ganti kepada Yayasan. Pastilah akan banyak pos-pos pengeluaran di bidang ini kalau mau mengamati laporan keuangan yayasan :)

    Yayasan dapat didirikan oleh satu orang atau lebih dengan memisahkan sebagian harta kekayaannya sebagai kekayaan awal yayasan, dilakukan dengan akta notaris dan dibuat dalam bahasa Indonesia. Disamping oleh orang masih hidup, maka yayasan dapat pula didirikan dengan suatu wasiat ( oleh orang telah meninggal ).
    Catatan : Penulis mengkritisi redaksi pasal 10 ayat 2 UU 16/2001 dimana disebutkan bahwa penerima wasiat mewakili pemberi wasiat, permasalahan yang utama adalah dapatkah orang yang telah meninggal dunia menjadi subyek hukum? Kedua siapakah penerima wasiat?
    Kalau penerima warisan itu sudah pasti jelas, namun penerima wasiat dalam hal pendirian Yayasan sangat kabur.
    Seharusnya dipakai kata-kata Pelaksana Wasiat dengan bantuan ahli waris pemberi wasiat wajib melaksanakan ketentuan dalam wasiat, disini yang menjadi subyek hukum adalah boedel harta peninggalan pewaris bukan pewaris. ( Hal/kekeliruan ini rupanya disadari oleh Pemerintah sehingga dikoreksi dalam pasal 9 PP 63/2008).
    M
    enurut PP 63/2008 pasal 8 memuat materi bahwa wasiat tersebut harus dengan wasiat terbuka yaitu wasiat yang dibuat dihadapan notaris sesuai ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
    Catatan penulis kata ”terbuka” ini menutup kemungkinan bagi pendirian Yayasan yang dilakukan dengan menggunakan surat wasiat olograpis, wasiat rahasia atau tertutup; jadi maksud Pemerintah tegas bahwa pendirian Yayasan hanya dimungkinkan dengan surat wasiat dalam bentuk akta umum.

    Pengertian orang disini adalah orang perorangan dan/atau badan hukum baik nasional maupun asing ( pasal 9 UU 16/2001 ). Pendirian yayasan oleh orang asing diatur dalam PP nomor 63/2008 dalam pasal 10 s/d pasal 14 dan peraturan keimigrasian serta peraturan ketenagakerjaan ( penjelasan pasal 10 PP ).

    Syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh yayasan yang didirikan oleh orang asing ( Yayasan yang mengandung unsur asing ):
    - Orang asing /pendiri memisahkan minimal senilai Rp.100.000.000,- (seratus juta rupiah) untuk modal awal yayasan;
    - Menyatakan harta kekayaan tersebut berasal dari harta yang sah;
    - Menyatakan bahwa kegiatan Yayasan tidak merugikan masyarakat, bangsa dan negara Indonesia;
    - Salah seorang pengurus Yayasan wajib dijabat oleh orang Indonesia;
    - Anggota Pengurus wajib bertempat tinggal di Indonesia;
    - Anggota Pengurus asing wajib sebagai pemegang izin melakukan kegiatan atau usaha di wilayah RI [ izin kerja, izin melakukan penelitian, izin belajar, izin melakukan kegiatan keagamaan, izin usaha sesuai UU Penanaman Modal (penjelasan pasal 12 PP )]dan juga pemegang Kartu Izin Tinggal Sementara;
    - Anggota Pembina atau pengawas asing jika bertempat tinggal di Indonesia wajib sebagai pemegang izin melakukan kegiatan atau usaha di wilayah RI dan juga pemegang Kartu Izin Tinggal Sementara.
    Khusus bagi pejabat korps diplomatik (suami, isteri dan anak-anaknya) tidak wajib sebagai pemegang izin melakukan kegiatan atau usaha di wilayah RI dan juga pemegang Kartu Izin Tinggal Sementara.

    Catatan penulis : PP ini sangat memprioritaskan orang-orang yang bekerja sebagai korps diplomatik untuk mendirikan yayasan di Indonesia. Mungkin hal ini perlu dibahas oleh ahli-ahli
    politik dan keamanan bangsa dalam mengkaji aspek politis dan aspek sekuriti yang mana bukan merupakan bidang Penulis. ( Bandingkan dengan ketentuan yang mengatur tentang cara beroperasinya Yayasan Asing ( beda dengan yayasan yang mengandung unsur asing ) dalam pasal 26 PP. Peraturan ini menurut penulis sangat bias, karena mengatur yayasan asing ( Yayasan yang didirikan menurut hukum asing) tidak diperbolehkan melakukan kegiatan dibidang pengembangan dan penelitian (pasal 26 PP), sebaliknya yayasan yang mengandung unsur asing ( yayasan yang didirikan menurut hukum Indonesia )- yang memprioritaskan anggota korps diplomatik sebagai pendiri, pembina, pengurus atau pengawas dari yayasan yang
    mengandung unsur asing - diperbolehkan melakukan semua kegiatan sesuai maksud dan tujuan yayasan termasuk dibidang pengembangan dan penelitian. Membingungkan....

    Bersambung....








    Baca selanjutnya...

    30 September 2008

    Selamat merayakan kemenangan !

    Dengan Mata terkadang kita salah melihat
    Dengan Mulut terkadang kita salah mengucap
    Dengan Telinga terkadang kita salah mendengar
    Dengan Pikir terkadang kita salah menimbang
    Dengan Rasa terkadang kita salah menduga
    Dengan Hati terkadang kita salah menilai
    Dengan tulus dan ikhlas memohon maaf lahir dan bathin

    Baca selanjutnya...

    21 September 2008

    Nilai kemutlakan Subyek Hukum dalam suatu Perjanjian

    Beberapa waktu yang lalu penulis telah mewacanakan tentang pengusaha property sebagai komisioner dalam pembuatan akta pengikatan jual beli di hadapan Notaris, guna mencapai win-win solution bagi para pihak yang terkait dalam transaksi jual beli property, pihak Instansi Pajak dan pihak instansi BPN/Kantor Pertanahan.
    Di dalam artikel tersebut penulis juga telah memunculkan suatu ide bagi suatu penelitian ilmiah mengenai nilai kemutlakan dari keberadaan subyek hukum dalam suatu perjanjian yang dibuat oleh seorang komisioner.

    Nah pada kesempatan ini penulis akan membahas lebih dalam tentang subyek hukum dalam suatu perjanjian atau dapat juga disebut pihak-pihak dalam perjanjian.
    Aturan mengenai subyek perjanjian terdapat dalam pasal 1315, 1317, 1318 dan pasal 1340 KUHPdt.
    KUHPdt membedakan 3 golongan subyek perjanjian ( pihak-pihak yang terikat dengan diadakannya suatu perjanjian ) yaitu :
    - para pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri;
    - para ahli waris dan mereka yang mendapat hak dari padanya;
    - pihak ketiga.

    Pasal 1315 KUHPdt : ”Pada umumnya tak seorang dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji dari pada untuk dirinya sendiri.”
    Paal 1340 ayat 1 KUHPdt : ”Persetujuan-persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya.”
    Ketentuan-ketentuan di atas dikenal sebagai asas pribadi. Asas ini tidak bersifat mutlak, namun dapat dkecualikan atau bahkan pasal 1318 KUHPdt disebutkan bahwa : ”Jika seorang minta diperjanjikan sesuatu hal, maka dianggap itu adalah untuk ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak daripadanya, kecuali jika dengan tegas ditetapkan atau dapat disimpulkan dari sifat persetujuan tidak sedemikian maksudnya.”
    Jadi menurut penulis lebih tepat digunakan istilah asas pribadi generatif ( karena demi hukum segala hak dan kewajiban seseorang beralih kepada generasi ahli waris/penerima hak darinya ).
    Asas pribadi generatif ini dapat disimpangi dengan memberikan manfaat kepada pihak ketiga, menjadikan pihak ketiga terikat dalam suatu perjanjian yang dibuat antara krediur dan debitur, sebagaimana ditetapkan dalam pasal 1317 KUHPdt : ” Lagipun diperbolehkan juga untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna kepentingan seorang pihak ketiga, apabila suatu penetapan janji, yang dibuat oleh seorang untuk dirinya sendiri, atau suatu pemberian yang dilakukannya kepada orang lain, memuat janji yang seperti itu.”
    Ini sering disebut sebagai janji pihak ketiga (beding ten behoeve van derden atau disingkat derden beding).
    Rekan saya Dr. Herlien Budiono, SH membahas hal ini dalam bukunya Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan ( PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008 ), dengan menitik beratkan pembahasan dan analisa tentang derdenbeding dan kettingbeding/ beding berantai. Rekan Herlien membahas dari segi hak kebendaan dan hak perorangan dari suatu pelaksanaan perjanjian terhadap pihak ketiga.

    Kembali kepada pokok persoalan komisioner, apakah keberadaan pembeli yang sesungguhnya dari perjanjian pengikatan jual beli yang dibuat antara pihak penjual dan pihak komisioner, mutlak harus ada lebih dahulu sebelum dibuatnya perjanjian ikatan jual beli tersebut?
    Mengenai hal ini Hartono Soeryopartiknyo seorang empu Notaris di Yogyakarta dalam bukunya Aneka Perjanjian Jual Beli (Andi Offset, 1982 : 10 ) menyebutkan perjanjian jual beli untuk orang yang kemudian baru akan disebut ( koop voor nader te noemen meester) sebagai suatu perjanjian jual beli yang semakin jarang terjadi. Dimana dalam perjanjian ikatan jual beli tersebut pembeli meminta hak untuk menunjuk orang lain yang akan mempunyai hak dan kewajibannya. Menurutnya tidak ada pasal Undang-undang yang mengatur perjanjian ini tapi mungkin itu dianggap diatur dalam pasal 63 WvK mengenai pedagang perantara.
    Sehingga beliau membedakan 2 bentuk jual beli tersebut yaitu : jual beli untuk pemberi perintah yang masih akan disebut dan jual beli untuk dirinya sendiri atau untuk orang yang masih akan disebut. Jelas dalam uraian ini beliau hanya bertumpu pada keberadaan makelar/broker ( orang yang mendapat perintah/ pemegang perintah/lasthebber), bukan bertumpu pada keberadaan Komisioner ( yang terikat dalam suatu perjanjian untuk dirinya sendiri ).
    Dengan demikian Komisioner pada saat membuat perjanjian ikatan jual beli dengan pihak Penjual tidak perlu menyebutkan dengan pihak siapa ia berbuat.
    Dalam pasal 77 KUHD disebutkan bahwa Komisioner tidak diwajibkan memberitahukan kepada orang dengan siapa ia berbuat, tentang nama orang untuk tanggungan siapa ia melakukan perbuatan itu. Komisioner langsung terikat kepada pihak lain dalam perjanjian itu, seakan-akan itu urusannya sendiri.
    Oleh karena itu Pihak yang dengan siapa komisioner berbuat dan pihak pemberi komisi tidak dapat saling menuntut. (pasal 78).

    Dari uraian dan analisa di atas maka penulis berkesimpulan bahwa keberadaan pihak ketiga tidak mutlak harus ada pada waktu perjanjian dibuat antara pihak kreditur dan pihak debitur ( penjual dan ”pembeli”/komisioner), hal ini semata-mata tergantung pada niatan atau kehendak komisioner. Jika ”pembeli” dari semula tidak berniat untuk membelinya bagi dirinya sendiri, maka pihak ketiga yang akan menjadi pembeli sebenarnya tidak mutlak harus ada saat itu.

    Berkaitan dengan keberadaan suatu niat/kehendak, perlu dipertanyakan Apakah pengusaha property dalam melakukan pembelian atas suatu property mempunyai niatan/kehendak untuk memiliki property tersebut untuk dirinya sendiri ?
    Penulis yakin bahwa pengusaha property adalah orang yang melakukan suatu usaha secara berkesinambungan dalam bidang membeli property untuk kemudian dijual kepada orang lain (Catatan : tanpa adanya kehendak/niat memiliki untuk diri sendiri) baik atas tanggungan sendiri maupun sesuai pesanan dan untuk tanggungan dari pihak lain dengan mendapatkan komisi atau provisi.
    Tidak berlebihan jika penulis mengatakan pengusaha property adalah suatu profesi yang menjalankan sebuah usaha Komisioner.

    Hal berikutnya berkaitan dengan pekerjaan seorang Notaris yaitu mengenai pembuatan Akta Ikatan Jual Beli, muncul pertanyaan apakah sebaiknya status pengusaha property yang menjalankan usaha Komisioner dicantumkan dalam komparisi atau dalam premisse akta ?
    Mengingat Komisioner dalam suatu perjanjian bertindak untuk diri sendiri, maka menurut hemat penulis pada bagian Komparisi sebaiknya hanya dicantumkan identitas pengusaha property saja; namun dalam bagian Premisse Akta dapat dicantumkan bahwa Pihak pengusaha property adalah pihak yang berusaha sebagai Komisioner yang melakukan kegiatan jual beli property dan bahwa pihak pengusaha property sebagai Komisioner mempunyai kehendak untuk kelak mengalihkan property yang dibelinya dalam akta ini kepada pihak lain.

    Selain itu dalam Tubuh akta / isi akta di salah satu klausula pemberian kuasa dapat pula dicantumkan kata2 : Dan pihak pertama ( penjual ) memberikan kuasa kepada Pihak Kedua dan/atau pihak lain yang ditunjuk oleh Pihak Kedua….dan seterusnya. Dengan adanya kata-kata ini kelak akta kuasa yang diberikan oleh Pihak Pertama dapat digunakan oleh Pihak lain ( pembeli sesungguhnya ).
    Catatan : jangan kuatir soal ketentuan dalam pasal 1470 KUHPdt, itu aturan yang bukan bersifat dwingend recht, masalah/persoalan “selbsteintritt” ( baca selb stein tritt ) tersebut adalah tergantung apakah kepentingan pemberi kuasa (penjual dalam hal ini) dapat dirugikan dan hal itu tidak ada gunanya untuk dibahas apabila dalam perjanjian pokoknya sudah ditegaskan seperti yang penulis contohkan di atas.
    Semoga tulisan ini memberikan terobosan bagi rekan-rekan Notaris yang saat ini kebingungan dalam menangani pembuatan Akta Pengikatan Jual Beli dan Kuasa Jual.

    Baca selanjutnya...

    17 September 2008

    Pelaksanaan RUPS Modern menurut UU 40/2007 bagian 2

    Permasalahan filosofi dan teknis
    pelaksanaan RUPS melalui media telekonferensi
    menurut pasal 77 Undang-Undang nomor 40 tahun 2007

    Pada bagian ini penulis akan menguraikan analisa terhadap pokok permasalahan teknis dari RUPS Modern menurut pasal 77 UU 40/2007, yaitu mengenai proses pembuatan Akta Pernyataan Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham dari Notulen Rapat yang diselenggarakan melalui media telekonferensi.
    Tindakan apa yang diperlukan oleh sang Notaris sebelum membuatkan Akta Pernyataan Keputusan RUPS tersebut ?
    Namun sebelumnya jika ada pembaca yang ingin mengetahui sedikit tentang keberadaan RUPS Konvensional dan RUPS Modern dapat dilihat di pesan yang ada di group milis Notaris_Indonesia
    Langkah-langkah yang akan dilakukan oeh seorang Notaris pada saat diminta bantuannya oleh kliennya untuk membuat Akta Pernyataan Keputusan RUPS sebagai berikut....

    Yang pasti sang Notaris wajib meminta Notulen Rapat yang asli, nah disini mungkin sudah dapat membingungkan sang Notaris, oleh karena bisa jadi ada 2 eksemplar Notulen Rapat, yang satu eksemplar ditanda tangani secara fisik oleh sebagian peserta rapat, sedangkan yang lain ditanda tangani secara elektronik oleh sebagian peserta rapat yang lain atau mungkin juga 1 eksemplar Notulen Rapat dengan waktu penanda tanganan yang berbeda beberapa saat.
    Karena sang Notaris dianggap sebagai orang yang paham hukum dan pakar hukum, maka dia mencari-cari definisi tanda tangan elektronik di dalam UU 40/2007, namun setelah dicari didalam penjelasan pasal 77 UU tersebut, ternyata tidak didapatkan definisi mengenai tanda tangan elektronik, maka dibolak baliklah UU tersebut, dan ternyata sang Notaris menemukan satu ”ayat ajaib” yaitu pasal 10 ayat 6 ( dibagian penjelasannya ) dengan materi muatan sebagai berikut :
    Yang dimaksud dengan ”tanda tangan secara eletronik” adalah tanda tangan yang dilekatkan atau disertakan pada data elektronik oleh pejabat yang berwenang yang membuktikan keotentikan data yang berupa gambar elektronik dari tanda tangan pejabat yang berwenang tersebut yang dibuat melalui media komputer.
    Kalau dianalisa sungguh definisi yang semrawut dan tidak sesuai dengan hukum pembuktian yang ada. ( Silahkan pembaca menganalisanya sendiri unsur-unsur dari definisi tersebut ).
    Unsur-unsur dari definisi tersebut :
    - tanda tangan yang dilekatkan atau disertakan pada data elektronik
    - oleh pejabat yang berwenang
    - yang membuktikan keotentikan data
    - berupa gambar elektronik dari tanda tangan pejabat yang berwenang tersebut
    - dibuat melalui media komputer
    Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan tanda tangan elektronik tersebut adalah gambar elektronik dari tanda tangan si pejabat yang dibuat melalui media komputer ( bisa melalui scanner ).
    Bandingkan dengan definisi tanda tangan elektronik yang dimuat dalam pasal 1 angka 12 UU 11/2008 tentang Informasi dan transaksi elektronik ( UU ITE ) :
    ” Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas Informasi Elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan Informasi Elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi.”
    Dan diuraikan lebih lanjut dalam pasal 11 dan pasal 12 UU ITE yang berbunyi sebagai berikut :
    Pasal 11
    (1) Tanda Tangan Elektronik memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah selama memenuhi persyaratan sebagai berikut:
    a. data pembuatan Tanda Tangan Elektronik terkait hanya kepada Penanda Tangan;
    b. data pembuatan Tanda Tangan Elektronik pada saat proses penandatanganan elektronik hanya berada dalam kuasa Penanda Tangan;
    c. segala perubahan terhadap Tanda Tangan Elektronik yang terjadi setelah waktu penandatanganan dapat diketahui;
    d. segala perubahan terhadap Informasi Elektronik yang terkait dengan Tanda Tangan Elektronik tersebut setelah waktu penandatanganan dapat diketahui;
    e. terdapat cara tertentu yang dipakai untuk mengidentifikasi siapa Penandatangannya; dan
    f. terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa Penanda Tangan telah memberikan persetujuan terhadap Informasi Elektronik yang terkait.
    (2) Ketentuan lebih lanjut tentang Tanda Tangan Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
    Dan penjelasannya dalam pasal 11 ayat 1 sebagai berikut :
    Undang-Undang ini memberikan pengakuan secara tegas bahwa meskipun hanya merupakan suatu kode, Tanda Tangan Elektronik memiliki kedudukan yang sama dengan tanda tangan manual pada umumnya yang memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum.Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini merupakan persyaratan minimum yang harus dipenuhi dalam setiap Tanda Tangan Elektronik. Ketentuan ini membuka kesempatan seluas-luasnya kepada siapa pun untuk mengembangkan metode, teknik, atau proses pembuatan Tanda Tangan Elektronik.
    Pasal 12
    (1) Setiap Orang yang terlibat dalam Tanda Tangan Elektronik berkewajiban memberikan pengamanan atas Tanda Tangan Elektronik yang digunakannya.
    (2) Pengamanan Tanda Tangan Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi:
    a. sistem tidak dapat diakses oleh Orang lain yang tidak berhak;
    b. Penanda Tangan harus menerapkan prinsip kehati-hatian untuk menghindari penggunaan secara tidak sah terhadap data terkait pembuatan Tanda Tangan Elektronik;
    c. Penanda Tangan harus tanpa menunda-nunda, menggunakan cara yang dianjurkan oleh penyelenggara Tanda Tangan Elektronik ataupun cara lain yang layak dan sepatutnya harus segera memberitahukan kepada seseorang yang oleh Penanda Tangan dianggap memercayai Tanda Tangan Elektronik atau kepada pihak pendukung layanan Tanda Tangan Elektronik jika:
    1. Penanda Tangan mengetahui bahwa data pembuatan Tanda Tangan Elektronik telah dibobol; atau
    2. keadaan yang diketahui oleh Penanda Tangan dapat menimbulkan risiko yang berarti, kemungkinan akibat bobolnya data pembuatan Tanda Tangan Elektronik; dan
    d. dalam hal Sertifikat Elektronik digunakan untuk mendukung Tanda Tangan Elektronik, Penanda Tangan harus memastikan kebenaran dan keutuhan semua informasi yang terkait dengan Sertifikat Elektronik tersebut.
    (3) Setiap Orang yang melakukan pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bertanggung jawab atas segala kerugian dan konsekuensi hukum yang timbul.

    Jadi tanda tangan elektronik yang sah adalah tanda tangan berupa suatu rangkaian kode ( bukan gambar tanda tangan) yang harus memenuhi 6 syarat minimum dalam pasal 11 UU ITE ditambah dengan 1 pengaman yang harus memenuhi 3 syarat minimum dalam pasal 12 UU ITE.

    Sungguh konyol jika ada seorang Notaris yang mau membuatkan Akta Pernyataan Keputusan RUPS dari suatu Notulen Rapat Umum Pemegang Saham dimana diakui bahwa rapat diadakan melalui media telekonferensi dan salah satu tanda tangan peserta rapat dibuat sesuai dengan penjelasan pasal 10 ayat 6 tersebut (tanda tangan hasil scan ).

    Yang berikutnya pasti sang Notaris terkendala oleh 3 permasalahan yang sudah penulis uraikan di atas.
    Berdasarkan uraian analisa sederhana di atas penulis menarik suatu kesimpulan mengenai permasalahan teknis dari pelaksanaan RUPS Modern sebagai berikut :
    Selama tidak ada suatu program software yang dapat mengintegrasikan audio, visual dan dokumen yang dapat ditanda tangani secara elektronik, maka sebelum dibuatkan Akta Pernyataan Keputusan RUPS harus dibuktikan lebih dahulu bahwa apa yang dibicarakan dalam rapat adalah benar-benar sama dengan yang tercantum dalam Notulen Rapat.
    Sebagai seorang Notaris yang profesional sangat perlu selalu menerapkan asas kehati-hatian dalam menjalankan jabatan anda, maka janganlah tergesa-gesa menelan mentah-mentah permintaan klien anda untuk membuat Akta PKR dari RUPS Modern.
    Lalu apakah solusinya bagi permasalahan tersebut ??
    Saran solutif penulis yaitu :
    Jika diantara para pemegang saham memang sudah terjadi kesepakatan mengenai pokok-pokok acara yang akan dibicarakan dalam RUPS, sebaiknya pakai cara pasal 91 UU 40/2007 yaitu mengambil keputusan yang mengikat diluar RUPS ( dikenal dengan sebutan circular resolution ).
    Jika tetap mau diadakan RUPS dengan menggunakan media telekonferensi, sebaiknya peserta Rapat yang tidak dapat hadir di tempat rapat (host), memberi kuasa kepada seseorang, dan setelah diadakan telekonferensi, maka diadakan RUPS sesuai pasal 76 UU 40/2007 ( RUPS konvensional ).
    Silahkan pembaca membandingkan dengan pendapat penulis sebelumnya di group milis Notaris_Indonesia.
    Sesungguhnya disini terdapat permasalahan yang sangat menarik untuk dibahas dalam suatu karya ilmiah yaitu adanya norma yang kabur dalam UU 40/2007 khususnya mengenai definisi tanda tangan elektronik dan jika dikaitkan dengan keberlakuan UU ITE asas apakah yang dapat digunakan untuk memberlakukan definisi tanda tangan elektronik dalam UU PT tersebut, asas lex specialis derogat legi generalis ataukah lex posterior derogat legi priori ?

    Baca selanjutnya...

    16 September 2008

    Pelaksanaan RUPS Modern menurut UU no 40 th 2007

    Permasalahan filosofis dan teknis
    dari pelaksanaan RUPS melalui media telekonferensi
    menurut pasal 77 Undang-Undang nomor 40 tahun 2007

    Undang-undang nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) menyediakan 2 macam cara pelaksanaan RUPS yaitu :
    RUPS Konvensional dan RUPS Modern ( sebutan/istilah dari Penulis ) sesuai pasal 76 dan pasal 77 UU PT.

    Penulis berasumsi bahwa pembaca telah membaca dan menganalisa setiap unsur dan syarat bagi penyelenggaraan RUPS-RUPS tersebut, oleh karena itu kita langsung aja ke pokok permasalahannya.
    Permasalahan :
    1. Ketentuan yang memuat mengenai pelaksanaan RUPS Modern adalah ketentuan mengenai pemenuhan atas asas pemanfaatan teknologi, namun apakah ketentuan tersebut sudah memenuhi asas manfaat ?
    2. Jika RUPS tersebut membutuhkan pemberitahuan ke dan/atau persetujuan oleh Menteri Hukum dan HAM, maka Notulen RUPS Modern tesebut wajib dinyatakan dalam bentuk Akta Otentik yang dibuat dihadapan Notaris; bagaimana pedoman atau apakah hal-hal yang perlu diambil oleh seorang Notaris dalam membuat Akta Pernyataan Keputusan RUPS tersebut ?

    Dari segi aspek hukum Pembuktian maka Pelaksanaan RUPS Modern sampai saat ini tidak mudah untuk membuktikan apakah pelaksanaan RUPS Modern tersebut sah atau tidak, karena syarat-syarat yang ditetapkan dalam UU PT adalah adanya integrasi antara teknis pelaksanaan RUPS dengan Notulen rapat yang harus ditanda tangani oleh semua peserta rapat.
    Pertama yang harus dibuktikan adalah setiap peserta rapat harus benar-benar terbukti dapat saling melihat dan mendengar secara langsung serta berpartisipasi dalam rapat; hal ini dapat dengan mudah dibuktikan dengan rekaman data audio visual.
    Kedua harus dapat dibuktikan bahwa Notulen Rapat telah ditandangani secara fisik atau secara elektronik oleh semua peserta rapat, disini mulai terlihat kerumitan pembuktian tentang sahnya tanda tangan masing-masing peserta apakah benar-benar telah ditanda tangani sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku? Dan apakah dokumen Notulen Rapat yang ditanda tangani secara fisik adalah dokumen yang sama isinya dengan dokumen yang ditanda tangani secara elektronik ?
    Ketiga apakah bukti pelaksanaan Rapat yang terekam dalam data audio visual tersebut benar-benar menghasilkan Notulen Rapat yang sudah ditanda tangani semua peserta rapat?
    Terhadap permasalahan yang kedua walaupun rumit masih dapat ditempuh cara-cara yang dapat dipertanggungjawabkan dari sisi hukum pembuktian bahwa dokumen yang ditanda tangani secara fisik adalah sama dengan dokumen yang ditanda tangani secara elektronik.
    Namun terhadap permasalahan yang ketiga penulis sampai saat ini tidak menemukan suatu program software yang dapat mengintegrasikan program audio visual dengan dokumen elektronik yang menyediakan fasilitas tanda tangan secara elektronik.

    Dengan adanya permasalahan-permasalahan pembuktian sah atau tidaknya suatu RUPS yang diselenggarakan melalui media telekonferensi sangatlah sulit untuk dikatakan pelaksanaannya sudah memenuhi asas manfaat.
    Kesimpulan mengenai permasalahan filosofis yang terkandung dalam benturan penerapan asas pemanfaatan teknologi dan asas manfaat, menurut penulis adalah sebagai berikut : asas pemanfataan teknologi hanya dapat diterapkan dalam suatu peristiwa khususnya di bidang hukum apabila asas tersebut memenuhi asas manfaat (bermanfaat baik dari segi materiil maupun non materiil) bagi penggunanya dan bagi penegakkan hukumnya. ( Silahkan para pakar hukum menganalisa pernyataan tersebut ).
    Bersambung....

    Baca selanjutnya...

    08 September 2008

    Pembagian Sisa Hasil Likuidasi bagian terakhir

    Pembagian Sisa Hasil Likuidasi Perseroan
    Bagian III

    Pada bagian I dan bagian II dari materi Pembagian Sisa Hasil Likuidasi Perseroan telah kita ketahui dan pahami mengenai kapan waktunya pembagian sisa asset hasil likuidasi dapat dilakukan kepada para pemegang saham dan juga dapat ditentukan apakah sisa asset yang berupa barang tidak bergerak ( khususnya hak atas tanah berikut dengan segala bangunan yang berdiri di atasnya adalah merupakan suatu harta yang dimiliki bersama secara bebas atau terikat ( tergantung karakteristik perseroan ).

    Pada bagian ini penulis akan menguraikan implikasi penerapan Teori Karakteristik Perseroan terhadap pengenaan Pajak kepada para pemegang saham yang berhak atas sisa hasil likuidasi perseroan.
    Sebelum itu lebih baik kita memastikan lebih dahulu bagaimanakah caranya membagikan asset tersebut sesuai dengan proporsi kepemilikan saham dari para pemegang saham?

    Sesuai dengan Keputusan Menteri Agraria nomor 3 tahun 1997 yang merupakan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 1997 dalam pasal 95 juncto pasal 2 Peraturan Kepala BPN nomor 1 tahun 2006 yang merupakan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah nomor 38 tahun 1998 tentang Peraturan jabatan PPAT; aturan-aturan tersebut menentukan bahwa PPAT mempunyai tugas pokok yaitu melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan cara membuat akta otentik dan ditentukan pula bahwa PPAT hanya dapat membuat akta tanah yang dijadikan dasar pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yaitu :
    a. Akta Jual Beli
    b. Akta Tukar Menukar
    c. Akta Hibah
    d. Akta Pemasukan Ke Dalam Perusahaan
    e. Akta Pembagian Hak Bersama
    f. Akta Pemberian Hak Tanggungan
    g. Akta Pemberian Hak Guna Bangunan Atas Tanah Hak Milik
    h. Akta Pemberian Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik
    Jadi dalam bahasa orang awam diluar akta-akta tersebut tidak ada akta lain yang dapat dijadikan dasar untuk membalik nama suatu sertipikat dari pihak yang satu ke pihak yang lain.
    Dari 8 pilihan akta tersebut para PPAT tentu akan memilih huruf E yaitu menggunakan akta Pembagian Hak Bersama, lalu dalam komparisi para pihaknya PPAT akan menentukan bahwa yang menjadi Pihak Pertama yaitu Sang Likuidator yang mewakili Perseroan dalam likuidasi dan yang menjadi Pihak Kedua adalah para pemegang saham bersama-sama, yang bagiannya masing-masing ditentukan berdasarkan komposisi kepemilikan saham masing-masing pemegang saham dalam perseroan secara proporsional.

    Disamping itu PPAT harus menganalisa apakah akta tersebut dapat disahkan tanpa atau harus dengan membayar pajak khususnya BPHTB yang wajib disetor oleh masing-masing pemegang saham ?
    Pada titik inilah pembahasan mengenai pengkategorian apakah asset sisa hasil likuidasi tersebut merupakan harta bersama bebas atau harta bersama terikat sangat relevan.

    Karena dalam benak PPAT pasti terbayang peraturan perpajakan khususnya mengenai Pajak Penghasilan Final PP No. 48 Tahun 1994 jo. PP No. 27 Tahun 1996 dan mengenai BPHTB dalam UU No.20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas U2 No.21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (berlaku sejak 1 Januari 2001).

    Dan sang PPAT agak bingung karena melihat Pasal 2 ayat (2) huruf a UU No.20 Tahun 2000 (dahulu Ps 2 ayat (2) angka 6 U2 No.21 Tahun 1997) yang mencantumkan bahwa obyek pajak adalah pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, dengan penjelasan:
    “Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah pemindahan sebagian hak bersama atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau badan kepada sesama pemegang hak bersama”.

    Untunglah kebingungan tersebut tidak berlangsung lama, oleh karena sang PPAT menemukan Surat Menteri Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional no. 600-1561 tanggal 21 April 1999 yang menjelaskan perbedaan antara jenis kepemilikan bersama dengan melihat pada perolehan asalnya yang membedakan pula antara pemilikan bersama yang bebas (vrije mede-eigendom) dan pemilikan bersama yang terikat (gebonden mede-eigendom) dimana sebagai kesimpulan dari Surat Menteri Agraria tersebut adalah :
    “Pemisahan dan pembagian warisan masih termasuk dalam ‘rezim’ waris sehingga tidak termasuk kepada peralihan hak atau perolehan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 dan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997, atau dengan perkataan lain pendaftaran peralihan hak karena pemisahan dan pembagian warisan tidak dipersyaratkan adanya SSP PPh berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1994 dan SSB BPHTB berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997. Sudah tentu ketentuan tersebut termasuk pula pemisahan dan pembagian harta bersama (gono gini) yang disebabkan oleh perceraian suatu perkawinan”

    Wow ternyata Surat Menteri tersebut hanya membahas soal harta warisan dan harta gono gini, lalu bagaimana dengan nasib Akta Pembagian Harta Bersama mengenai pembagian asset sisa hasil likuidasi perseroan kepada para pemegang sahamnya yang sudah ia siapkan untuk ditanda tangani dan disahkan....

    Disinilah penulis memberikan sumbang saran dalam memecahkan kasus yang dihadapan sang PPAT yang sedang kebingungan itu. Dengan menggunakan teori karakteristik perseroan sang PPAT dapat mengkategorikan apakah suatu asset hasil likuidasi dari perseroan adalah merupakan harta bersama terikat atau harta bersama bebas.
    Jika harta bersama tersebut merupakan harta bersama terikat, maka akta Pembagian Harta Bersama dapat disahkan tanpa ada kewajiban dari para pemegang saham untuk membayar BPHTB.
    Jika ada pembaca yang bekerja di instansi Pajak tentu saja akan membelalakan mata dan disamping mengata-ngatain penulis, pasti dalam hati berkata ENAK AJA....gak bisa begitu !!
    Bentar sabar bapak....sabar bang... biarlah penulis menjelaskan argumen dan logika hukum dari tindakan pengesahan Akta oleh sang PPAT tanpa harus dilengkapi bukti pembayaran SSB BPHTB.

    Asas/ prinsip yang paling mendasar dalam bidang perpajakan adalah Tidak diperbolehkan ada penarikan pajak secara BERGANDA! Maka berdasarkan asas ini kita harus runtut menganalisa mulai dari penyetoran saham dengan nilai nominal tertentu oleh pemegang saham sampai dengan dia memperoleh kembali sisa likuidasi ( pengembalian kembali dari nilai nominal saham yang dia setor ).

    Pada waktu pemegang saham menyetor nilai nominal saham pastilah uang tunai tersebut berasal dari penghasilan yang kena pajak ( PPH ), berarti di awal pemegang saham telah dikenai Pajak ( PPh). Setelah PT beroperasi maka pemegang saham jika mendapatkan deviden, dia kena Pajak ( PPh ) atas deviden tersebut.
    Nah jika Perseroan bubar dan dia mendapatkan sisa hasil ikuidasi sebagai pengganti nilai nominal yang telah disetor olehnya, -sangat tidak adil dan melanggar asas larangan pengenaan pajak berganda, apabila pemegang saham tersebut dikenakan Pajak ( dalam hal ini BPHTB, karena yang dibagikan dalam bentuk asset hak atas tanah dan bangunan ).
    Namun jangan kuatir para aparat penegak perpajakan, anda tetap dapat menarik Pajak terhadap para pemegang saham yang memperoleh "gain" ( selisih kelebihan antara nilai nominal yang disetor dengan nilai asset yang diperoleh oleh pemegang saham ) jika nilai asset melebihi nilai nominal saham mereka... Inilah WIN WIN SOLUTION.


    PPAT tidak bingung ( terancam denda Rp.7.500.000,- ) dalam mengesahkan akta tanpa harus dilampiri SSB BPHTB; Instansi Pajak tetap dapat menarik Pajak (PPh) apabila memang pemegang saham memperoleh keuntungan dalam pembagian asset tersebut; Pemegang saham pasti tidak dikenakan pajak berganda!

    Semoga 3 bagian tulisan mengenai Pembagian Sisa Hasil Likuidasi Perseroan ini berguna dan memberikan solusi bagi para pembaca.
    Salam sejahtera
    Jusuf Patrick








    Baca selanjutnya...

    03 September 2008

    Pembagian Sisa Hasil Likuidasi Perseroan Bagian 2

    Pembagian Sisa Hasil Likuidasi Perseroan
    Bagian II

    Dalam artikel penulis mengenai Pembagian Sisa Hasil Likuidasi Perseroan bagian 1 kita telah mengetahui kapan waktunya sisa asset perseroan hasil likuidasi dapat dibagikan kepada para pemegang sahamnya sesuai proporsisi masing-masing dalam kepemilikan sahamnya dalam perseroan.
    Permasalahan berikutnya yang harus kita analisa adalah siapakah yang menjadi subyek hukum dalam tindakan pembagian asset perseroan yang dalam hal ini berupa sebidang tanah dengan Hak Guna Bangunan seluas lebih kurang 25.000 m2 (2.5 Ha) atas nama Perseroan.
    Persoalan ini akan selesai dengan mudah apabila para pemegang saham sepakat untuk menjual asset tersebut, namun yang terjadi disini sebaliknya para pemegang saham hendak mempertahankan tali "silaturahmi" diantara mereka dalam kepemilikan bersama atas asset tersebut.

    Pertanyaan yang mendasar Apakah pemegang saham adalah pemilik perseroan yang merupakan satu kesatuan dengan keberadaan Perseroan ataukah Perseroan sebagai Person/Orang ( legal entity ) yang mandiri yang terdiri dari para pemegang saham (karena Perseroan didirikan berdasarkan perjanjian dan setelah didirikan maka Perseroan seolah-olah mempunyai "jiwa" tersendiri dari para pendirinya (pemegang saham)?

    Jawaban atas pertanyaan tersebut membawa implikasi hukum yang berbeda, namun sebelum menganalisa jawaban tersebut; penulis hendak berteori sejenak ( jika sudah ada yang menemukan, penulis mohon ijin; namun jika belum ada penemu teori ini, silahkan pembaca mengujinya dalam suatu karya ilmiah...sebut aja teori ini sebagai Teori Karakteristik Perseroan© :).
    Dalam Teori Karakteristik Perseroan penulis mendalilkan bahwa dalam perseroan terbatas dengan karakteristik tertutup, tanggung jawab pemegang saham lebih besar dibandingkan tanggung jawabnya dalam perseroan dengan karakteristik terbuka, demikian pula kekuasaan RUPS lebih utama daripada kekuasaan Pengurus, perseroan terbatas dengan karakteristik tertutup lebih berkarakter sebagai person yang mandiri, dibandingkan perseroan terbatas dengan karakteristik terbuka lebih sebagai alat (fungsi) daripada berkarakter sebagai person.
    Undang-undang nomor 40 tahun 2007 lebih menganut paham perseroan dengan karakteristik terbuka, beda dengan UU nomor 1 tahun 1995 lebih menganut paham perseroan dengan karakteristik tertutup karena kekuasaan RUPS dalam UU 1/1995 diakui sebagai pemegang kekuasaan tertinggi ( Catatan : Mengenai pergeseran paradigma RUPS dalam perkembangannya akan penulis uraikan dalam artikel yang berikutnya ).
    Menurut penulis relevansi pembahasan mengenai karakteristik perseroan ini erat kaitannya dengan penentuan apakah asset perseroan tersebut merupakan barang milik bersama secara bebas atau milik bersama secara terikat. Dan penentuan ini berdampak pada pengenaan pajak bagi para pemegang saham yang memperoleh asset /kekayaan hasil likuidasi perseroan.

    Berikut ini penulis mengcopy paste dari presentasi rekan Herlien Budiono di Surabaya tanggal 8 Feb 2008 mengenai Pemilikan Bersama menurut teori dan praktek ( dengan segala hormat penulis meminta ijin kepada rekan Herlien Budiono ), pokok-pokok penting dari presentasi tersebut sebagai berikut :
    Penentuan pemilikan bersama bersifat terikat atau bebas bergantung pada sebab (oorzaak) yang mengakibatkan para pemilik memiliki suatu kebendaan bersama-sama :
    - Pemilikan bersama yang bebas (vrije medeeigendom) – pemilikan bersama merupakan
    tujuan
    dari para pemiliknya
    - Pemilikan bersama yang terikat (gebonden medeeigendom) – pemilikan bersama merupakan akibat dari suatu peristiwa hukum yang lain.
    Persamaannya :
    Pemiliknya memiliki bagian yang tak terbagi atas keseluruhan benda yang dimiliki bersama.
    Contoh Pemilikan bersama yang terikat:
    - karena bubarnya perkawinan, ex suami-isteri bersama memiliki harta benda perkawinan,
    - karena bubarnya persekutuan perdata (maatschap) atau perkumpulan yang tidak berbadan hukum, para pesero bersama memiliki harta perseroan
    - karena meninggalnya pewaris, para ahliwaris bersama memiliki harta peninggalan
    (Ps 833 ayat (1) jo. Ps 955 KUHPerd)

    Kewenangan bertindak:
    Terwujud pada bebas atau tidaknya para pemilik untuk setiap saat mengalihkan bagian tak terbagi yang dimiliki atas harta bersama
    - Pemilikan bersama yang terikat:
    - Para pemilik tidak bebas untuk mengalihkan bagian tak terbaginya - semua tindakan hukum harus dilakukan bersama-sama
    - Pemilikan bersama yang bebas:
    - Para pemilik bebas untuk mengalihkan bagian tak terbaginya

    Pemisahan dan pembagian: Pemilikan bersama yang bebas
    Ps 573 KUHPerd: “Membagi sesuatu kebendaan yang menjadi milik lebih dari satu orang harus dilakukan menurut aturan-aturan yang ditentukan tentang pemisahan dan pembagian harta pembagian”
    Pemisahan dan pembagian : Persekutuan perdata (maatschap)
    Ps 1652 KUHPerd: “Aturan-aturan tentang pembagian warisan-warisan, cara-cara pembagian itu dilakukan, serta kewajiban-kewajiban yang terbit karenanya antara orang-orang yang turut mewaris, berlaku juga untuk pembagian di antara para pesero” .

    Pemisahan dan pembagian bersifat pengalihan hak ?
    Ps 1083 KUHPerd:
    “Tiap waris dianggap seketika menggantikan si meninggal dalam hak miliknya atas benda-benda yang dibagikan kepadanya atau yang secara pembelian diperolehnya berdasarkan Ps 1076. Dengan demikian, maka tiada seorang pun dari para waris dianggap pernah memperoleh hak milik atas benda-benda yang lainnya dari harta peninggalan”
    Kalau kepada ahliwaris A dibagikan sebuah rumah, ahliwaris B sebuah pabrik, maka:
    – A tidak pernah memiliki pabrik dan B tidak pernah memiliki rumah;
    - A dan B masing-masing memperoleh rumah dan pabrik bukan karena pemisahan dan pembagian tetapi karena warisan;
    - Bukan peralihan/perolehan hak, tetapi mengkonstatir peristiwa hukum.
    Apakah Ps 1083 KUHPerd membawa akibat hukum sama terhadap pemisahan dan pembagian atas pemilikan bersama yang bebas – mengingat Ps 573 KUHPerd menyatakan bahwa pemisahan dan pembagian suatu kebendaan milik lebih dari satu orang harus dilakukan menurut aturan yang ditentukan tentang pemisahan dan pembagian harta peninggalan ?

    Pemisahan dan pembagian untuk pemilikan bersama yang terikat bersifat deklaratif – berlaku surut sejak terjadinya pemilikan bersama yaitu sejak bubarnya perkawinan, bubarnya persekutuan perdata (maatschap)/perkumpulan tidak berbadan hukum, meninggalnya pewaris. Hanya mengkonstatir peristiwa hukum .

    Pemisahan dan pembagian untuk pemilikan bersama yang bebas bersifat pengalihan hak “translatif” – berlaku sejak terjadinya pemisahan dan pembagian

    Tujuan Pemisahan dan Pembagian
    – mengakhiri pemilikan bersama
    – kepada pihak yang dipisahkan dan dibagikan suatu benda - mempunyai hak pengurusan dan pemilikan atas bendanya

    Kembali pada topik bahasan Apakah asset sisa hasil likuidasi Perseroan merupakan harta pemilikan bersama bebas atau terikat dari para pemegang saham?
    Patokannya bergantung pada sebab (oorzaak) yang mengakibatkan para pemilik memiliki suatu benda. Dalam hal inilah penting sekali untuk menganalisanya dari segi karakteristik Perseroan.

    Jika karakteristik Perseroan terbuka, maka keberadaan PT sebagai alat (fungsi) membawa akibat pemilikan suatu benda adalah untuk memenuhi suatu tujuan yang hendak dicapai Perseroan melalui Pengurusnya untuk kepentingan para pemegang saham, sehingga dalam hal ini dapat dikatakan hakekat pemilikan benda oleh Perseroan merupakan pemilikan bersama yang bebas. Konsekuensinya pembagian asset tersebut kepada para pemegang sahamnya merupakan peralihan hak yang translatif.
    Contoh : Perseroan yang berusaha di bidang developer/real estate, bubar dan dilikuidasi, sisa assetnya berupa kaplingan dan/atau rumah di perumahan yang dikembangkan oleh Perseroan ( contoh PT karakteristik terbuka dibidang kepemilikan bersama, PT sebagai alat, asset yang dimiliki untuk mencapai tujuan bersama )
    Dan terhadap perbuatan hukum ini pemegang saham dikenai pajak (khususnya BPHTB).
    Kalau mau dianalisa apakah Perseroan terutang PPH atas peralihan hak ini?? ( Penulis tidak menemukan jawaban yang tepat untuk hal ini, mungkin pembaca dapat melengkapinya. Disini akan terjadi debat yang seru mengenai dasar-dasar pengenaan pajak yang selama ini tidak jelas, namun semata-mata demi mencapai target pemasukan negara saja tanpa memperhatikan kesejahteraan dan perlindungan kepada masyarakat ).

    Jika Perseroan dengan karakteristik tertutup, maka asset yang diperoleh Perseroan adalah merupakan asset yang digunakan untuk menunjang keberadaan perseroan, dalam hal ini kepemilikan asset merupakan kepemilikan bersama yang terikat. Konsekuensinya pembagian asset hasil likuidasi kepada para pemegang saham merupakan tindakan yang bersifat deklaratif ( hanya untuk mengkonstatir suatu peristiwa hukum dalam hal ini likuidasi ) dan oleh karena itu terhadap tindakan tersebut tidak dapat dikenai pajak, karena tidak terjadi peralihan hak
    secara translatif.
    Contoh : Perseroan yang berusaha di bidang Industri, memiliki asset pabrik berikut hak atas tanahnya, bubar dan dilikuidasi, sisa assetnya berupa bangunan dan tanah dimana pabrik tersebut didirikan ( contoh PT karakteristik tertutup dibidang kepemilikan bersama, pembelian dan kepemilikan atas asset untuk menunjang keberadaan Perseroan dan bukan untuk tujuan Perseroan ).

    Kesimpulan penulis :
    Sisa hasil likuidasi harta Perseroan yang dibubarkan tidak harus dalam bentuk uang tunai, namun dapat saja berupa asset berupa barang tidak bergerak ( khususnya hak atas tanah dan/atau bangunan ) dan/atau barang bergerak baik berwujud maupun tidak berwujud.
    Khusus mengenai sisa hasil likuidasi yang berupa asset dalam bentuk barang tidak bergerak khususnya hak atas tanah dan/atau bangunan, apabila asset tersebut diperoleh dan dipergunakan untuk menunjang keberadaan Perseroan, maka dapat dikategorikan sebagai barang milik bersama secara terikat dari para pemegang saham, sedangkan jika asset tersebut diperoleh dan dipergunakan untuk memenuhi tujuan Perseroan, maka sisa hasil likuidasi tersebut adalah merupakan barang milik bersama secara bebas.

    Bersambung..

    Baca selanjutnya...

    19 Agustus 2008

    Pembagian Sisa Hasil Likuidasi Perseroan

    PEMBAGIAN SISA HASIL LIKUIDASI PERSEROAN
    Bagian I

    Dalam artikel yang lalu penulis pernah membahas tentang praktek pembubaran perseroan terbatas, dimana dalam salah satu tahap yang harus dilakukan adalah tahap pemberesan oleh likuidator.

    Dalam tahap pemberesan ini ada satu masalah yang cukup krusial untuk dibahas secara mendalam, karena dalam masalah ini menyangkut beberapa bidang hukum yaitu hukum perseroan, hukum pertanahan dan hukum perpajakan.

    Masalah yang terjadi adalah dalam tahap pemberesan ternyata terdapat sisa asset perseroan berupa hak atas tanah ( Hak Guna Bangunan ) atas nama perseroan.
    Bagaimana cara membagikannya asset tersebut kepada para pemegang saham.

    Di bagian pertama tulisan ini penulis akan lebih dahulu membahas dari segi hukum perseroan, khususnya untuk menentukan kapan waktunya dapat dilakukan pembagian sisa asset perseroan yang dibubarkan kepada para pemegang saham ( pemilik perseroan ).

    Pembubaran dan likuidasi adalah dua perbuatan hukum yang tidak terpisahkan ( jaman Orla disebut Dwitunggal ), karena setiap pembubaran wajib diikuti oleh tindakan likuidasi ( lihat pasal 142 ayat 2 ).
    Apakah akibat hukumnya jika hanya dilakukan tindakan pembubaran tanpa tindakan likuidasi? Silahkan pembaca menyimak ulang artikel penulis mengenai Praktek pelaksanaan pembubaran PT.
    Jika Sisminbakum konsekuen terhadap bunyi peraturan yang ada, maka sebelum dilakukan tindakan likuidasi status badan hukum dari Perseroan tetap ada. Oleh karena itu pasti ada implikasinya apabila tindakan pembubaran tidak diikuti oleh tindakan likuidasi.

    Salah satu kewajiban Likuidator adalah melakukan pembayaran sisa kekayaan hasil likuidasi kepada pemegang saham (Pasal 149 ayat 1 point d) yang dilakukan setelah dilaksanakannya pembayaran kepada kreditor.

    Pertanyaannya dalam jangka waktu berapa lama setelah keputusan pembubaran perseroan, likuidator dapat melaksanakan pembagian sisa hasil likuidasi tersebut ?

    Untuk menjawab pertanyaan tersebut diperlukan konsentrasi khusus, karena terdapat masalah yang cukup membingungkan, karena dalam UU 40/2007 menyebutkan "tenggang-tenggang" waktu yang berbeda dalam pasal 147 ayat 3 dan pasal 149 ayat 3.

    Memang jika diamati seolah-olah ketentuan mengenai tenggang-tengang waktu tersebut mengatur hal yang berbeda, dalam pasal 147 ayat 3 mengatur jangka waktu pengajuan tagihan, sedangkan dalam pasal 149 ayat 3 adalah mengenai jangka waktu untuk mengajukan keberatan terhadap rencana pembagian kekayaan hasil likuidasi.Namun yang menjadi masalah adalah acuan penghitungan jangka waktu 60 hari itu dimulai darimana?

    Dalam pasal 147 ayat 3 dan penjelasannya diketahui 60 hari sejak tanggal pengumuman paling akhir yaitu tanggal pegumuman dalam BNRI (bukan tanggal pengumuman di Surat Kabar); sedangkan dalam pasal 149 ayat 3 jangka waktu 60 hari dihitung dari pengumuman tentang rencana pembagian kekayaan hasil likuidasi ( jadi bukan dari pengumuman pembubaran seperti yang tercantum dalam pasal 147 ayat 1 ). (Catatan : disini harus juga ditafsirkan tanggal pengumuman yang paling akhir yaitu tanggal pengumuman dalam BNRI, walaupun dalam penjelasan resmi pasal 149 ayat 3 cukup jelas).

    Dalam praktek para Notaris sering hanya berpatokan pada tanggal Pengumuman pembubaran sesuai pasal 147 ayat 1, bahkan jarang sekali menyarankan kepada kliennya untuk melakukan Pengumuman tentang rencana pembagian kekayaan hasil liuidasi. Padahal akibat tidak dilaksanakannya tindakan ini adalah FATAL !
    Karena dengan tidak dilakukannya tindakan tersebut hak kreditor untuk mengajukan keberatan telah ditiadakan, oleh karena itu setiap tindakan hukum berikutnya yang dilakukan oleh likuidator terhadap sisa hasil kekayaan perseroan dapat dinyatakan BATAL DEMI HUKUM. Ketentuan pasal 150 UU PT tidak dapat dipakai sebagai alasan untuk membela diri.

    Untuk mengamati apakah tindakan pembubaran dan likuidasi yang dilakukan oleh suatu Perseroan benar-benar dilaksanakan sesuai prosedure yang sah, jika melalui perantaraan seorang Notaris sangat mudah patokannya.

    Berikut ini joke serius....
    Jika notaris tersebut hanya menarik biaya Rp.2.500.000,- s/d Rp.5.000.000,- ini dapat berarti Notaris atau pihak yang terafiliasi dengannya adalah pihak yang memiliki perseroan atau Notaris tersebut berjiwa sosial dan ikut berprihatin kepada kliennya ( wah yang ini pastilah Notaris tersebut sudah sangat kaya ) atau Notaris tersebut hanya melakukan sebagian dari prosedure yang seharusnya dilakukan untuk pembubaran dan likuidasi PT ( Nah kalau yang ini sih paling
    banyak terjadi.... memprihatinkan...).

    Pembaca dapat menghitung sendiri berapa kira-kira biaya yang dikeluarkan untuk pembubaran dan likuidasi suatu PT, yang paling tidak terdiri dari beberapa hal :
    - biaya Akta Pernyataan Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham tentang pembubaran
    - biaya Pengumuman di Surat Kabar dan di Berita Negara tentang pembubaran (pasal 147 ayat 1)
    - biaya PNBP Sisminbakum untuk pemberitahuan kepada Menteri Hukum dan HAM
    - biaya Pengumuman di Surat Kabar dan BNRI tentang rencana pembagian kekayaan hasil likuidasi (pasal 149 ayat 1)
    - biaya Akta Berita Acara RUPS pertanggungjawaban Likuidator ( pasal 152 ayat 1)
    - biaya Pengumuman di Surat Kabar dan Pemberitahuan kepada Menteri hasil akhir proses likuidasi (pasal 152 ayat 3)
    - Honor jasa pengurusan ??

    Mari kembali ke Laptop ( meniru Tukul Arwana ), jadi solusi mengenai kapan dapat dibagikan sisa kekayaan hasil likuidasi kepada pemegang saham adalah sebagai berikut :
    1. Apabila terdapat kreditur yang mengajukan tagihan, maka paling tidak pembagiannya harus menunggu setelah lewatnya waktu 60 hari setelah pengumuman rencana pembagian ( atau setidak-tidaknya 120 hari setelah pengumuman pembubaran perseroan );
    2. Apabila terdapat kreditur yang menggajukan tagihan dan keberatannya terhadap rencana pembagian ditolak oleh Likuidator, maka pembagiannya harus menunggu sampai dengan adanya putusan Pengadilan terhadap pokok gugatan tersebut (pasal 149 ayat 4);
    3. Apabila tidak terdapat kreditur yang mengajukan tagihan, maka setelah lewatnya jangka waktu 60 hari setelah tanggal pengumuman pembubaran ( Ingat yang digunakan adalah tanggal pengumuman di BNRI, bukan tanggal Pengumuman di Surat Kabar), dapat dilakukan pembagian.

    Khusus mengenai point 3 karena tidak ada aturannya dalam UU, maka demi keamanan terhadap sahnya tindakan likuidator perlu diadakan penegasan dalam suatu RUPS bahwa setelah jangka waktu yang ditetapkan dalam pasal 147 ayat 3 benar-benar tidak terdapat tagihan dari kreditor manapun dan oleh karena itu RUPS memutuskan memberikan kewenangan kepada likuidator untuk membagikan sisa kekayaan perseroan kepada pemegang saham sesuai dengan proporsi kepemilikan sahamnya di dalam perseroan, semuanya dengan mengingat ketentuan dalam pasal 150 ayat 2 ( Kreditor tetap dapat mengajukan tagihan melalui Pengadilan dalam jangka waktu 2 tahun sejak pengumuman pembubaran Perseroan).

    Permasalahan yang berikutnya adalah apakah asset perseroan tersebut adalah asset bersama dari para pemegang saham sesuai dengan proporsi kepemilikan saham masing-masing pemegang saham dalam perseroan? ( Hal ini akan dibahas pada bagian berikutnya di blog penulis)

    Kesimpulan :
    Dalam melakukan pembagian sisa kekayaan perseroan hasil likuidasi kepada pemegang sahamnya harus benar-benar diperhatikan waktu pelaksanaanya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan dengan akibat hukum bahwa jika tidak dilakukan sesuai prosedure maka perbuatan hukum tersebut dapat dinyatakan batal demi hukum.

    Peringatan kepada para calon pembeli asset yang berasal dari sisa hasil likuidasi perseroan yang dibubarkan agar lebih berhati-hati, lebih aman jika membeli asset tersebut selewatnya 2 tahun setelah pengumuman pembubaran perseroan.

    Baca selanjutnya...

    17 Agustus 2008

    Selamat Ultah Indonesiaku !!

    INDONESIAKU
    62 tahun berlalu sudah…
    pencapaian demi pencapaian engkau raih
    naik turun… malu bangga… manis pahit… sulit mudah
    perjuangan demi perjuangan engkau sapu bersih

    62 tahun berlalu sudah...
    luka dan kenangan terpapar sepanjang jalan
    kalah dan menang tertuai disetiap langkah
    kini usiamu bertambah

    matang dan tegar adalah modal untukmu
    melangkah dijalan besar penuh sesak persaingan
    bangga dan santun adalah kekuatan untukmu
    menyongsong arus dunia ditengah himpitan

    Jayalah Indonesiaku !!
    Merdekalah Indonesiaku !!
    Maju pantang mundur Indonesiaku!!
    Jadilah mercu suar dunia Indonesiaku!!

    17 Agustus 2008
    Jusuf Patrick

    Baca selanjutnya...

    13 Agustus 2008

    Pengusaha Property sebagai Komisioner why not?

    LEMBAGA KOMISIONER ALTERNATIF
    SOLUSI BAGI
    PENGUSAHA JUAL BELI PROPERTY
    ( Dalam kasus penolakan balik nama sertipikat oleh Kantor Pertanahan terhadap Akta Jual Beli yang menggunakan dasar Akta Kuasa Jual )
    Pendahuluan

    Sejak diberlakukannya Undang-undang nomor 21 tahun 1997 yang diubah dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dengan dilandasi pada kewajiban kenegaraan dalam rangka kegotong-royongan nasional sebagai wujud peran serta masyarakat dalam membiayai pembangunan, Pemerintah mengenakan pajak terhadap setiap perolehan hak atas tanah dan bangunan. Hal ini mengakibatkan banyak pengusaha yang berusaha dibidang jual-beli property (hak atas tanah dan bangunan) merugi, akibat dikenakannya pajak “berganda” yang harus ditanggung oleh mereka.
    Diwaktu membeli property tersebut, harus dibayar pajak BPHTB ( 5% x NJOP/Nilai Transaksi-PTKP ), kemudian sewaktu menjual property tersebut sekali lagi wajib membayar pajak yaitu Pajak Penghasilan ( 5% x NJOP/Nilai Transaksi ).
    Menyiasati hal tersebut maka para pengusaha property dalam membeli property tidak langsung membuat Akta Jual Beli dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah, melainkan hanya mengadakan Perjanjian Pengikatan Jual Beli ( baik dibawah tangan maupun dengan Akta Otentik dihadapan Notaris ) dan Akta Kuasa Jual; demikian dengan maksud apabila kelak property yang dibelinya telah laku dijual, maka pengusaha tersebut menggunakan Akta Kuasa dari penjual (pemilik asal) menjual kepada pembeli.
    Seperti diketahui bahwa di dunia bisnis sangat penting faktor kecepatan perputaran modal, semakin cepat dan semakin besar adalah semakin baik dan menguntungkan bagi pengusaha. Dalam dunia bisnis modern saat ini, pengusaha lebih mementingkan perputaran omzet, demikian pula pengusaha yang bergerak di bidang jual-beli property, yang penting tidak rugi asalkan berputar terus modalnya, usaha tersebut masih layak untuk dipertahankan dan dikembangkan.
    Namun oleh karena Pemerintah telah menempatkan pajak sebagai salah satu primadona pemasukan/ penerimaan negara, maka ketentuan-ketentuan pajak final ( PPH dan BPHTB ) tersebut dapatlah dikatakan mengorbankan Pengusaha Kelas Menengah. Padahal suatu negara akan kuat sektor perekonomiannya apabila sektor swata kelas menengahnya kuat. Yang terjadi di Indonesia saat ini Kelas Bawah diberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT), Yang Menengah diperas bak sapi perah dan Yang Atas berlimpah fasilitas. Aaaahhh itu sih urusan politik yang tidak jelas ( awu-awu). Mari kita lanjutkan aja dengan topik bahasan yang ada.

    Permasalahan
    Saat ini di beberapa Kantor Pertanahan mulai menolak permohonan Balik Nama sertipikat apabila Akta Jual Beli dihadapan PPAT dimana pihak penjualnya menggunakan Akta Kuasa Otentik ( dalam komparisi akta diuraikan bahwa Pihak Penerima Kuasa/ Pengusaha mewakili atau atas nama Penjual/ Pemilik yang namanya tercantum dalam Sertipikat ) dengan alasan bahwa telah terjadi penyelundupan/ penghindaran pembayaran pajak.
    Kantor Pertanahan hanya akan memroses permohonan balik nama sertipikat apabila :
    disertai Surat Pernyataan dari Pemilik Asal ( Orang yang namanya tercantum dalam Sertipikat ) yang menyatakan bahwa diantara Pemilik asal dan Penerima Kuasa ( Pengusaha ) tidak terjadi jual beli, melainkan hanya semata-mata sebagai kuasa saja atau
    Akta Kuasa digunakan oleh Pembeli untuk membalik nama Sertipikat menjadi atas namanya sendiri. ( Dalam komparisi Akta Jual Beli penerima kuasa bertindak sebagai kuasa dari Pemilik dan bertindak sebagai Pembeli ).
    Permasalahan yang terjadi dalam praktek berkaitan tindakan nomor 1 di atas, yaitu begitu mudahnya para pihak ( atau bahkan Notaris/PPAT ) menanda tangani surat pernyataan bahwa antara Penjual (Pemilik) dan Penerima Kuasa ( Pengusaha) tidak pernah terjadi transaksi, melainkan semata-mata hanya pemberian kuasa saja. Hal ini dilakukan tanpa mempedulikan implikasi dari Surat Pernyataan tersebut; yang menurut penulis sangat fatal akibat hukumnya bagi para pihak yang dalam kenyataannya telah membuat Akta Pengikatan Jual Beli dan Akta Kuasa.
    Dengan adanya pengikaran terhadap telah terjadinya ”transaksi jual beli” antara para pihak, maka sangat terbuka peluang yang lebar bagi pihak pemilik asal untuk benar-benar membatalkan Akta Pengikatan Jual Beli dan menuntut kembali property tersebut dari tangan Pembeli.
    Bagaimana solusi terhadap permasalahan tersebut ?

    Pembahasan Masalah
    Seperti kita ketahui aturan-aturan umum mengenai Jual Beli diatur dalam pasal 1457 – pasal 1546 KUHPdt.
    Inti konsep jual beli menurut KUHPdt diatur dalam pasal 1457 dan pasal 1458, yang memuat definisi dan saat terjadinya jual beli.
    Pasal 1457 :
    Jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang dijanjikan.
    Pasal 1458 :
    Jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, segera setelah orang-orang itu mencapai kesepakatan tentang barang tersebut beserta harganya, meskipun barang itu belum diserahkan dan harganya belum dibayar.
    Jadi terjadinya jual beli menurut KUHPdt semata-mata oleh adanya kesepakatan antara para pihak, hal yang berbeda dengan konsep Hukum Adat yang dianut oleh Undang
    Undang Pokok Agraria ( UU 5/1960 ) yang menganut prinsip terang dan tunai.
    Sehingga dalam praktek muncul suatu kreasi ( penemuan hukum/ terobosan hukum ) yang menggabungkan dua konsep tersebut yang saat ini dikenal sebagai Perjanjian Pengikatan Jual Beli.
    Perjanjian Pengikatan Jual Beli adalah suatu perjanjian antara pihak penjual dan pihak pembeli mengenai suatu obyek tertentu dan harga tertentu dimana ”secara materiil” hak kepemilikan dan/atau penguasaan atas obyek telah dialihkan kepada pihak pembeli yang juga telah melunasi harga obyek yang dibelinya tersebut, dan peralihan hak secara formil akan segera dilaksanakan menurut peraturan perundangan dibidang Agraria/ Pertanahan, yaitu apabila syarat dan ketentuan dalam Perjanjian tersebut dan Peraturan Pemerintah No 24/1997 telah dipenuhi oleh para pihak.
    Syarat dan ketentuan agar dapat dibuatkan Akta Jual Beli dihadapan PPAT sesuai dengan PP no24/1997 dan peraturan perundangan lainnya adalah :
    - dipenuhi kelengkapan dokumen para pihak
    - telah diadakan pengecekan asli sertipikat di Kantor Pertanahan setempat
    - telah dibayar pajak-pajak yang berkaitan dengan jual beli tersebut ( PPh dan BPHTB )
    - terhadap obyek jual beli dibayar lunas dan siap diserah terimakan saat itu juga. (Prinsip terang dan tunai)
    Dalam praktek Perjanjian Pengikatan Jual Beli terhadap syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan tersebut biasanya yang belum terlaksana hanya masalah pembayaran pajak-pajak. Bahkan biasanya dalam salah satu pasal Perjanjian Pengikatan Jual Beli ( jika harga jual beli telah dibayar lunas) diatur tanggung jawab terhadap pembayaran Pajak khususnya PPh dialihkan kepada dan oleh karena itu menjadi tanggung jawab Pembeli.
    Dari uraian di atas mengesankan bahwa pendapat beberapa Pejabat Kantor Pertanahan tersebut adalah benar yaitu telah terjadi penghindaran/penyelundupan pembayaran pajak.
    Oleh karena itu perlu kita analisa lebih lanjut landasan dari pengenaan Pajak khususnya BPHTB. Didalam UU 20/2000 ditegaskan bahwa pengenaan BPHTB harus memperhatikan asas-asas keadilan, kepastian hukum, legalitas dan kesederhanaan.
    Dalam pasal 1 angka 2 UU 20/2000 didefinisikan mengenai arti Perolehan hak atas tanah dan bangunan yaitu perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan bangunan oleh orang pribadi atau badan.
    Dalam Pasal 2 Perolehan hak atas tanah dan bangunan terjadi karena :
    - pemindahan hak
    - pemberian hak baru
    Sedangkan menurut pasal 9 UU tersebut saat terutangnya pajak yaitu sejak tanggal dibuat dan ditandatangani akta pemindahan hak ( Catatan menurut ketentuan peraturan perundangan dibidang Agraria/Pertanahan mengatur bahwa perbuatan pengalihan/ pemindahan hak atas tanah wajib dilakukan dengan Akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah; jadi bukan pada waktu dibuat Akta Pengikatan Jual Beli dihadapan Notaris ).
    Dalam tataran filosofi tindakan perolehan yang terjadi karena pemindahan hak selalu dilandasi oleh suatu sikap ”kehendak memiliki”. Disinilah seharusnya landasan filosofi pengenaan pajak ditetapkan sebagai pengejawantahan asas keadilan.
    Untuk itu perkenankan penulis berteori sejenak..... ;)
    Dasar/landasan pengenaan pajak adalah kehendak memiliki dari anggota masyarakat terhadap suatu benda ekonomis; yang terhadapnya negara melakukan penjagaan / menyediakan jaminan bagi keamanan kepemilikannya dengan mengenakan pajak.
    Penulis mempersilahkan pembaca untuk menguji teori ini .... silahkan direnungkan, dihayati dan diresapi untuk dituangkan dalam disertasi doktoral... :)
    Setelah bermain di alam filsafati, mari kita kembali menginjakkan kaki di bumi dogmatika dan praktek.
    Pertanyaannya sekarang apakah pengusaha property dalam melakukan pembelian atas suatu property mempunyai niatan/kehendak untuk memiliki property tersebut untuk dirinya sendiri ?
    Penulis yakin bahwa pengusaha property adalah orang yang melakukan suatu usaha secara berkesinambungan dalam bidang membeli property untuk kemudian dijual kepada orang lain (Catatan : tanpa adanya kehendak/niat memiliki untuk diri sendiri) baik atas tanggungan sendiri maupun sesuai pesanan dan untuk tanggungan dari pihak lain dengan mendapatkan komisi atau provisi.
    Berbeda dengan makelar (broker) yang bertindak berdasarkan pemberian kuasa dari pihak-pihak yang memakai jasanya ( untuk menjual atau membeli ), pengusaha property dalam membuat perjanjian-perjanjian terikat secara langsung.
    Keterikatan pengusaha property secara langsung dengan pihak penjual inilah yang menyebabkan pihak Pemerintah menganggap bahwa perbuatan yang dilakukan pengusaha property adalah suatu perbuatan untuk memperoleh hak atas tanah dan bangunan, yang oleh karena itu pengusaha peroperty wajib membayar pajak ( BPHTB ).
    Padahal sebagaimana diuraikan tadi bahwa tidak ada niatan/kehendak dari pengusaha property untuk memiliki property yang dia beli tersebut, karena tujuannya semata-mata untuk dijual lagi sesuai dengan prinsip-prinsip bisnis pada umumnya.
    Hal ini diperunyam oleh sikap dari pejabat Kantor Pertanahan yang menolak permohonan balik nama sertipikat atas nama Pembeli apabila yang bertindak dalam Akta Jual Belinya adalah pihak pengusaha yang mewakili penjual berdasarkan Akta Kuasa Jual ( yang merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah dengan Perjanjian Pengikatan Jual Beli ).
    Dalam hal demikian Kantor Pertanahan hanya mau membalik nama Sertipikat Hak atas tanah apabila dilengkapi Surat Pernyataan dari penjual ( Pemilik asal ) yang menyatakan bahwa :
    - antara Penjual dan Pengusaha Property tidak terjadi transaksi jual beli;
    - Kuasa yang diberikan kepada Pengusaha property adalah kuasa biasa dan bukan kuasa mutlak;
    - Harga jual beli telah diterima oleh Penjual
    Langkah praktis yang diberikan oleh pejabat Kantor Pertanahan tersebut sangat praktis dan dapat digunakan untuk membalik nama sertipikat atas nama Pembeli.
    Sehingga langkah ini diikuti oleh hampir semua PPAT.
    So what gitu lho?? Apakah ada masalah dengan langkah praktis ini?
    Penulis secara pribadi mencemaskan akibat hukum yang dapat ditimbulkan oleh Surat Pernyataan yang ditanda tangani oleh Penjual (Pemilik asal) dan pegusaha property tidak lain adalah suatu bentuk pengingkaran telah terjadinya perjanjian pengikatan jual beli. Dengan adanya pengingkaran terhadap pengikatan jual beli tersebut, maka sangat memungkinkan Penjual (Pemilik asal) untuk benar-benar membatalkan adanya ”transaksi” antara dia dengan pengusaha property dan selanjutnya Akta Kuasa yang merupakan bagian mutlak dan satu kesatuan dengan akta pengikatan jual beli tersebut dengan mudah dapat dicabut atau ditarik kembali olehnya; hal ini dapat pula menyebabkan Akta Jual Beli dibatalkan, sehingga Pembeli sangat besar kemungkinannya untuk dirugikan ( meskipun dalam teori sebagai pembeli yang beritikad baik dia dilindungi oleh hukum, namun dalam praktek rumit sekali penegakannya ).
    Mohon diingat bahwa Akta kuasa yang berdiri sendiri dan tidak dapat dicabut serta diberikan dengan mengecualikan ketentuan-ketentuan tentang berakhirnya suatu kuasa ( pasal 1813 dan pasal 1814 KUHPdt ) disebut sebagai Kuasa Mutlak.
    Dan pemakaian Kuasa Mutlak (irrevocable power of atorney) ini telah dilarang dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri nomor 14 tahun 1982 juncto Surat Dirjen Agraria nomor 594/1492/AGR tanggal 31 Mar 1982 tentang larangan Kuasa Mutlak juncto Pasal 39 ayat 1 huruf d Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun1997 memuat aturan bahwa PPAT harus menolak membuat akta jika salah satu pihak atau para pihak bertindak atas dasar suatu kuasa mutlak yang pada hakikatnya berisikan perbuatan hukum pemindahan hak.
    Mungkin pembaca bertanya dengan alasan apakah Penjual (pemilik asal) mencabut kembali kuasa yang diberikan kepada pengusaha property?
    Oleh karena kaki kita saat ini berpijak pada bumi dogmatika dan praktek, maka jawabannyapun dapat beraneka ragam, namun secara mudah dapat dikatakan pada jaman seperti saat ini hal apa saja dapat dijadikan alasan untuk sekedar membatalkan/ mencabut suatu kuasa.
    Penulis menawarkan suatu wacana yang sangat memungkinkan untuk memberikan solusi bagi permasalahan di atas, yaitu penggunaan lembaga komisioner bagi pengusaha property.
    Dalam melakukan usahanya pengusaha property harus bertindak sebagai seorang komisioner ( bukan broker/makelar ). Adapun keuntungan yang diperoleh oleh pengusaha property dapat dianggap sebagai komisi atau provisi. Dan terhadap komisi atau provisi inilah pengusaha property wajib membayar pajak penghasilan.
    Ketentuan-ketentuan pokok mengenai Komisioner diatur dalam KUHD. Dalam pasal 76 didefinisikan Komisoner adalah orang yang perusahaannya terdiri atas pembuatan perjanjian-perjanjian atas nama sendiri atau firmanya sendiri, atas perintah dan untuk tanggungan orang lain, dengan mendapat upah tertentu atau provosi.
    Dalam pasal 77 disebutkan bahwa Komisioner tidak diwajibkan memberitahukan kepada orang dengan siapa ia berbuat, tentang nama orang untuk tanggungan siapa ia melakukan perbuatan itu. Komisioner langsung terikat kepada pihak lain dalam perjanjian itu, seakan-akan itu urusannya sendiri.
    Oleh karena itu Pihak yang dengan siapa komisioner berbuat dan pihak pemberi komisi tidak dapat saling menuntut. Tuntutan masing-masing pihak harus diajukan melalui Komisioner (pasal 78).
    Hak-hak istimewa Komisioner dimuat dalam pasal 81 – pasal 85 antara lain hak previlegi terhadap penagihan-penagihan yang menjadi haknya, hak retensi untuk menjamin dipenuhinya hak-haknya, dll.
    Dan yang menarik apa yang diatur dalam pasal 85a dimungkinkan orang-perorangan yang tidak terus menerus melakukan usaha sebagai komisoner, namun bertindak atas nama sendiri dan dengan mendapat upah tertentu atau provisi, atas pesanan dan untuk tanggungan orang lain mengadakan suatu perjanjian, maka pasal-pasal 77,78,80 sampai dengan pasal 85, 240 dan pasal 241 berlaku juga.
    Tidak dapat penulis pungkiri bahwa penggunaan lembaga komisioner ini bukannya tanpa kendala, secara praktis mungkin hanya sedikit kendalanya, namun kendala secara teoritis cukup menyulitkan.
    Kendala teoritis yang ada adalah menyangkut keberadaan pemberi komisi ( Pembeli pada saat sebelum Komisioner ( pengusaha property ) bertindak.
    Perlu diadakan kajian yang lebih mendalam mengenai hal ini secara teoritis dengan memakai bahan-bahan kajian yang pernah diterapkan oleh BPPN yaitu mengakui keberadaan pembeli sementara ( belum ada pembeli definitif ) dan dilandasi oleh filosofi keberadaan ”niat/kehendak” dari pengusaha property sebagaimana telah diuraikan diatas. Semoga tulisan ini dapat memberikan ide bagi para calon doktoral untuk menyusun disertasinya mengenai nilai kemutlakan dari keberadaan subyek hukum dalam suatu perjanjian yang dibuat oleh seorang komisioner. ( Ide ini timbul dari hasil perbandingan antara subyek dan obyek perjanjian, jika obyek perjanjian boleh ada dikemudian hari, apakah terhadap subyek perjanjian juga berlaku ketentuan yang sama? ).

    Penutup
    Dengan diakuinya profesi sebagi pengusaha property yang usahanya membeli dan menjual property, maka perlu dipertimbangkan dasar pengenaan pajak sesuai asas keadilan bagi pengusaha property yaitu hanya mengenakan pajak terhadap penghasilan yang diperolehnya ( keuntungan, komisi atau provisi ) dari transaksi beli dan jual property yang diusahakan olehnya.
    Salah satu alternatif solusi terhadap permasalahan ”penghindaran/penyelundupan” pajak yaitu penggunaan lembaga komisioner, dimana pengusaha property bertindak seakan-akan untuk diri sendiri namun (kelak) untuk kepentingan pembeli (pemberi komisi); maka dicapailah win-win solution bagi semua pihak.
    Pihak Penjual membayar Pajak Penghasilan Final, Pihak pengusaha property membayar pajak seusai SPPT Tahunan, pihak Pembeli membayar pajak BPHTB Final dan yang paling penting untuk penulis dan rekan-rekan penulis yaitu pihak PPAT juga ”tidak bersalah” dalam membuat Akta Jual Beli ( dituduh membuat akta jual beli dengan menggunakan kuasa mutlak ).
    Mohon saran, masukan dan kritikan dari para pembaca yang budiman.
    Terima kasih.

    Baca selanjutnya...