30 September 2008

Selamat merayakan kemenangan !

Dengan Mata terkadang kita salah melihat
Dengan Mulut terkadang kita salah mengucap
Dengan Telinga terkadang kita salah mendengar
Dengan Pikir terkadang kita salah menimbang
Dengan Rasa terkadang kita salah menduga
Dengan Hati terkadang kita salah menilai
Dengan tulus dan ikhlas memohon maaf lahir dan bathin

Baca selanjutnya...

21 September 2008

Nilai kemutlakan Subyek Hukum dalam suatu Perjanjian

Beberapa waktu yang lalu penulis telah mewacanakan tentang pengusaha property sebagai komisioner dalam pembuatan akta pengikatan jual beli di hadapan Notaris, guna mencapai win-win solution bagi para pihak yang terkait dalam transaksi jual beli property, pihak Instansi Pajak dan pihak instansi BPN/Kantor Pertanahan.
Di dalam artikel tersebut penulis juga telah memunculkan suatu ide bagi suatu penelitian ilmiah mengenai nilai kemutlakan dari keberadaan subyek hukum dalam suatu perjanjian yang dibuat oleh seorang komisioner.

Nah pada kesempatan ini penulis akan membahas lebih dalam tentang subyek hukum dalam suatu perjanjian atau dapat juga disebut pihak-pihak dalam perjanjian.
Aturan mengenai subyek perjanjian terdapat dalam pasal 1315, 1317, 1318 dan pasal 1340 KUHPdt.
KUHPdt membedakan 3 golongan subyek perjanjian ( pihak-pihak yang terikat dengan diadakannya suatu perjanjian ) yaitu :
- para pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri;
- para ahli waris dan mereka yang mendapat hak dari padanya;
- pihak ketiga.

Pasal 1315 KUHPdt : ”Pada umumnya tak seorang dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji dari pada untuk dirinya sendiri.”
Paal 1340 ayat 1 KUHPdt : ”Persetujuan-persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya.”
Ketentuan-ketentuan di atas dikenal sebagai asas pribadi. Asas ini tidak bersifat mutlak, namun dapat dkecualikan atau bahkan pasal 1318 KUHPdt disebutkan bahwa : ”Jika seorang minta diperjanjikan sesuatu hal, maka dianggap itu adalah untuk ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak daripadanya, kecuali jika dengan tegas ditetapkan atau dapat disimpulkan dari sifat persetujuan tidak sedemikian maksudnya.”
Jadi menurut penulis lebih tepat digunakan istilah asas pribadi generatif ( karena demi hukum segala hak dan kewajiban seseorang beralih kepada generasi ahli waris/penerima hak darinya ).
Asas pribadi generatif ini dapat disimpangi dengan memberikan manfaat kepada pihak ketiga, menjadikan pihak ketiga terikat dalam suatu perjanjian yang dibuat antara krediur dan debitur, sebagaimana ditetapkan dalam pasal 1317 KUHPdt : ” Lagipun diperbolehkan juga untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna kepentingan seorang pihak ketiga, apabila suatu penetapan janji, yang dibuat oleh seorang untuk dirinya sendiri, atau suatu pemberian yang dilakukannya kepada orang lain, memuat janji yang seperti itu.”
Ini sering disebut sebagai janji pihak ketiga (beding ten behoeve van derden atau disingkat derden beding).
Rekan saya Dr. Herlien Budiono, SH membahas hal ini dalam bukunya Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan ( PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008 ), dengan menitik beratkan pembahasan dan analisa tentang derdenbeding dan kettingbeding/ beding berantai. Rekan Herlien membahas dari segi hak kebendaan dan hak perorangan dari suatu pelaksanaan perjanjian terhadap pihak ketiga.

Kembali kepada pokok persoalan komisioner, apakah keberadaan pembeli yang sesungguhnya dari perjanjian pengikatan jual beli yang dibuat antara pihak penjual dan pihak komisioner, mutlak harus ada lebih dahulu sebelum dibuatnya perjanjian ikatan jual beli tersebut?
Mengenai hal ini Hartono Soeryopartiknyo seorang empu Notaris di Yogyakarta dalam bukunya Aneka Perjanjian Jual Beli (Andi Offset, 1982 : 10 ) menyebutkan perjanjian jual beli untuk orang yang kemudian baru akan disebut ( koop voor nader te noemen meester) sebagai suatu perjanjian jual beli yang semakin jarang terjadi. Dimana dalam perjanjian ikatan jual beli tersebut pembeli meminta hak untuk menunjuk orang lain yang akan mempunyai hak dan kewajibannya. Menurutnya tidak ada pasal Undang-undang yang mengatur perjanjian ini tapi mungkin itu dianggap diatur dalam pasal 63 WvK mengenai pedagang perantara.
Sehingga beliau membedakan 2 bentuk jual beli tersebut yaitu : jual beli untuk pemberi perintah yang masih akan disebut dan jual beli untuk dirinya sendiri atau untuk orang yang masih akan disebut. Jelas dalam uraian ini beliau hanya bertumpu pada keberadaan makelar/broker ( orang yang mendapat perintah/ pemegang perintah/lasthebber), bukan bertumpu pada keberadaan Komisioner ( yang terikat dalam suatu perjanjian untuk dirinya sendiri ).
Dengan demikian Komisioner pada saat membuat perjanjian ikatan jual beli dengan pihak Penjual tidak perlu menyebutkan dengan pihak siapa ia berbuat.
Dalam pasal 77 KUHD disebutkan bahwa Komisioner tidak diwajibkan memberitahukan kepada orang dengan siapa ia berbuat, tentang nama orang untuk tanggungan siapa ia melakukan perbuatan itu. Komisioner langsung terikat kepada pihak lain dalam perjanjian itu, seakan-akan itu urusannya sendiri.
Oleh karena itu Pihak yang dengan siapa komisioner berbuat dan pihak pemberi komisi tidak dapat saling menuntut. (pasal 78).

Dari uraian dan analisa di atas maka penulis berkesimpulan bahwa keberadaan pihak ketiga tidak mutlak harus ada pada waktu perjanjian dibuat antara pihak kreditur dan pihak debitur ( penjual dan ”pembeli”/komisioner), hal ini semata-mata tergantung pada niatan atau kehendak komisioner. Jika ”pembeli” dari semula tidak berniat untuk membelinya bagi dirinya sendiri, maka pihak ketiga yang akan menjadi pembeli sebenarnya tidak mutlak harus ada saat itu.

Berkaitan dengan keberadaan suatu niat/kehendak, perlu dipertanyakan Apakah pengusaha property dalam melakukan pembelian atas suatu property mempunyai niatan/kehendak untuk memiliki property tersebut untuk dirinya sendiri ?
Penulis yakin bahwa pengusaha property adalah orang yang melakukan suatu usaha secara berkesinambungan dalam bidang membeli property untuk kemudian dijual kepada orang lain (Catatan : tanpa adanya kehendak/niat memiliki untuk diri sendiri) baik atas tanggungan sendiri maupun sesuai pesanan dan untuk tanggungan dari pihak lain dengan mendapatkan komisi atau provisi.
Tidak berlebihan jika penulis mengatakan pengusaha property adalah suatu profesi yang menjalankan sebuah usaha Komisioner.

Hal berikutnya berkaitan dengan pekerjaan seorang Notaris yaitu mengenai pembuatan Akta Ikatan Jual Beli, muncul pertanyaan apakah sebaiknya status pengusaha property yang menjalankan usaha Komisioner dicantumkan dalam komparisi atau dalam premisse akta ?
Mengingat Komisioner dalam suatu perjanjian bertindak untuk diri sendiri, maka menurut hemat penulis pada bagian Komparisi sebaiknya hanya dicantumkan identitas pengusaha property saja; namun dalam bagian Premisse Akta dapat dicantumkan bahwa Pihak pengusaha property adalah pihak yang berusaha sebagai Komisioner yang melakukan kegiatan jual beli property dan bahwa pihak pengusaha property sebagai Komisioner mempunyai kehendak untuk kelak mengalihkan property yang dibelinya dalam akta ini kepada pihak lain.

Selain itu dalam Tubuh akta / isi akta di salah satu klausula pemberian kuasa dapat pula dicantumkan kata2 : Dan pihak pertama ( penjual ) memberikan kuasa kepada Pihak Kedua dan/atau pihak lain yang ditunjuk oleh Pihak Kedua….dan seterusnya. Dengan adanya kata-kata ini kelak akta kuasa yang diberikan oleh Pihak Pertama dapat digunakan oleh Pihak lain ( pembeli sesungguhnya ).
Catatan : jangan kuatir soal ketentuan dalam pasal 1470 KUHPdt, itu aturan yang bukan bersifat dwingend recht, masalah/persoalan “selbsteintritt” ( baca selb stein tritt ) tersebut adalah tergantung apakah kepentingan pemberi kuasa (penjual dalam hal ini) dapat dirugikan dan hal itu tidak ada gunanya untuk dibahas apabila dalam perjanjian pokoknya sudah ditegaskan seperti yang penulis contohkan di atas.
Semoga tulisan ini memberikan terobosan bagi rekan-rekan Notaris yang saat ini kebingungan dalam menangani pembuatan Akta Pengikatan Jual Beli dan Kuasa Jual.

Baca selanjutnya...

17 September 2008

Pelaksanaan RUPS Modern menurut UU 40/2007 bagian 2

Permasalahan filosofi dan teknis
pelaksanaan RUPS melalui media telekonferensi
menurut pasal 77 Undang-Undang nomor 40 tahun 2007

Pada bagian ini penulis akan menguraikan analisa terhadap pokok permasalahan teknis dari RUPS Modern menurut pasal 77 UU 40/2007, yaitu mengenai proses pembuatan Akta Pernyataan Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham dari Notulen Rapat yang diselenggarakan melalui media telekonferensi.
Tindakan apa yang diperlukan oleh sang Notaris sebelum membuatkan Akta Pernyataan Keputusan RUPS tersebut ?
Namun sebelumnya jika ada pembaca yang ingin mengetahui sedikit tentang keberadaan RUPS Konvensional dan RUPS Modern dapat dilihat di pesan yang ada di group milis Notaris_Indonesia
Langkah-langkah yang akan dilakukan oeh seorang Notaris pada saat diminta bantuannya oleh kliennya untuk membuat Akta Pernyataan Keputusan RUPS sebagai berikut....

Yang pasti sang Notaris wajib meminta Notulen Rapat yang asli, nah disini mungkin sudah dapat membingungkan sang Notaris, oleh karena bisa jadi ada 2 eksemplar Notulen Rapat, yang satu eksemplar ditanda tangani secara fisik oleh sebagian peserta rapat, sedangkan yang lain ditanda tangani secara elektronik oleh sebagian peserta rapat yang lain atau mungkin juga 1 eksemplar Notulen Rapat dengan waktu penanda tanganan yang berbeda beberapa saat.
Karena sang Notaris dianggap sebagai orang yang paham hukum dan pakar hukum, maka dia mencari-cari definisi tanda tangan elektronik di dalam UU 40/2007, namun setelah dicari didalam penjelasan pasal 77 UU tersebut, ternyata tidak didapatkan definisi mengenai tanda tangan elektronik, maka dibolak baliklah UU tersebut, dan ternyata sang Notaris menemukan satu ”ayat ajaib” yaitu pasal 10 ayat 6 ( dibagian penjelasannya ) dengan materi muatan sebagai berikut :
Yang dimaksud dengan ”tanda tangan secara eletronik” adalah tanda tangan yang dilekatkan atau disertakan pada data elektronik oleh pejabat yang berwenang yang membuktikan keotentikan data yang berupa gambar elektronik dari tanda tangan pejabat yang berwenang tersebut yang dibuat melalui media komputer.
Kalau dianalisa sungguh definisi yang semrawut dan tidak sesuai dengan hukum pembuktian yang ada. ( Silahkan pembaca menganalisanya sendiri unsur-unsur dari definisi tersebut ).
Unsur-unsur dari definisi tersebut :
- tanda tangan yang dilekatkan atau disertakan pada data elektronik
- oleh pejabat yang berwenang
- yang membuktikan keotentikan data
- berupa gambar elektronik dari tanda tangan pejabat yang berwenang tersebut
- dibuat melalui media komputer
Dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud dengan tanda tangan elektronik tersebut adalah gambar elektronik dari tanda tangan si pejabat yang dibuat melalui media komputer ( bisa melalui scanner ).
Bandingkan dengan definisi tanda tangan elektronik yang dimuat dalam pasal 1 angka 12 UU 11/2008 tentang Informasi dan transaksi elektronik ( UU ITE ) :
” Tanda Tangan Elektronik adalah tanda tangan yang terdiri atas Informasi Elektronik yang dilekatkan, terasosiasi atau terkait dengan Informasi Elektronik lainnya yang digunakan sebagai alat verifikasi dan autentikasi.”
Dan diuraikan lebih lanjut dalam pasal 11 dan pasal 12 UU ITE yang berbunyi sebagai berikut :
Pasal 11
(1) Tanda Tangan Elektronik memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum yang sah selama memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a. data pembuatan Tanda Tangan Elektronik terkait hanya kepada Penanda Tangan;
b. data pembuatan Tanda Tangan Elektronik pada saat proses penandatanganan elektronik hanya berada dalam kuasa Penanda Tangan;
c. segala perubahan terhadap Tanda Tangan Elektronik yang terjadi setelah waktu penandatanganan dapat diketahui;
d. segala perubahan terhadap Informasi Elektronik yang terkait dengan Tanda Tangan Elektronik tersebut setelah waktu penandatanganan dapat diketahui;
e. terdapat cara tertentu yang dipakai untuk mengidentifikasi siapa Penandatangannya; dan
f. terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa Penanda Tangan telah memberikan persetujuan terhadap Informasi Elektronik yang terkait.
(2) Ketentuan lebih lanjut tentang Tanda Tangan Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Dan penjelasannya dalam pasal 11 ayat 1 sebagai berikut :
Undang-Undang ini memberikan pengakuan secara tegas bahwa meskipun hanya merupakan suatu kode, Tanda Tangan Elektronik memiliki kedudukan yang sama dengan tanda tangan manual pada umumnya yang memiliki kekuatan hukum dan akibat hukum.Persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini merupakan persyaratan minimum yang harus dipenuhi dalam setiap Tanda Tangan Elektronik. Ketentuan ini membuka kesempatan seluas-luasnya kepada siapa pun untuk mengembangkan metode, teknik, atau proses pembuatan Tanda Tangan Elektronik.
Pasal 12
(1) Setiap Orang yang terlibat dalam Tanda Tangan Elektronik berkewajiban memberikan pengamanan atas Tanda Tangan Elektronik yang digunakannya.
(2) Pengamanan Tanda Tangan Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang-kurangnya meliputi:
a. sistem tidak dapat diakses oleh Orang lain yang tidak berhak;
b. Penanda Tangan harus menerapkan prinsip kehati-hatian untuk menghindari penggunaan secara tidak sah terhadap data terkait pembuatan Tanda Tangan Elektronik;
c. Penanda Tangan harus tanpa menunda-nunda, menggunakan cara yang dianjurkan oleh penyelenggara Tanda Tangan Elektronik ataupun cara lain yang layak dan sepatutnya harus segera memberitahukan kepada seseorang yang oleh Penanda Tangan dianggap memercayai Tanda Tangan Elektronik atau kepada pihak pendukung layanan Tanda Tangan Elektronik jika:
1. Penanda Tangan mengetahui bahwa data pembuatan Tanda Tangan Elektronik telah dibobol; atau
2. keadaan yang diketahui oleh Penanda Tangan dapat menimbulkan risiko yang berarti, kemungkinan akibat bobolnya data pembuatan Tanda Tangan Elektronik; dan
d. dalam hal Sertifikat Elektronik digunakan untuk mendukung Tanda Tangan Elektronik, Penanda Tangan harus memastikan kebenaran dan keutuhan semua informasi yang terkait dengan Sertifikat Elektronik tersebut.
(3) Setiap Orang yang melakukan pelanggaran ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), bertanggung jawab atas segala kerugian dan konsekuensi hukum yang timbul.

Jadi tanda tangan elektronik yang sah adalah tanda tangan berupa suatu rangkaian kode ( bukan gambar tanda tangan) yang harus memenuhi 6 syarat minimum dalam pasal 11 UU ITE ditambah dengan 1 pengaman yang harus memenuhi 3 syarat minimum dalam pasal 12 UU ITE.

Sungguh konyol jika ada seorang Notaris yang mau membuatkan Akta Pernyataan Keputusan RUPS dari suatu Notulen Rapat Umum Pemegang Saham dimana diakui bahwa rapat diadakan melalui media telekonferensi dan salah satu tanda tangan peserta rapat dibuat sesuai dengan penjelasan pasal 10 ayat 6 tersebut (tanda tangan hasil scan ).

Yang berikutnya pasti sang Notaris terkendala oleh 3 permasalahan yang sudah penulis uraikan di atas.
Berdasarkan uraian analisa sederhana di atas penulis menarik suatu kesimpulan mengenai permasalahan teknis dari pelaksanaan RUPS Modern sebagai berikut :
Selama tidak ada suatu program software yang dapat mengintegrasikan audio, visual dan dokumen yang dapat ditanda tangani secara elektronik, maka sebelum dibuatkan Akta Pernyataan Keputusan RUPS harus dibuktikan lebih dahulu bahwa apa yang dibicarakan dalam rapat adalah benar-benar sama dengan yang tercantum dalam Notulen Rapat.
Sebagai seorang Notaris yang profesional sangat perlu selalu menerapkan asas kehati-hatian dalam menjalankan jabatan anda, maka janganlah tergesa-gesa menelan mentah-mentah permintaan klien anda untuk membuat Akta PKR dari RUPS Modern.
Lalu apakah solusinya bagi permasalahan tersebut ??
Saran solutif penulis yaitu :
Jika diantara para pemegang saham memang sudah terjadi kesepakatan mengenai pokok-pokok acara yang akan dibicarakan dalam RUPS, sebaiknya pakai cara pasal 91 UU 40/2007 yaitu mengambil keputusan yang mengikat diluar RUPS ( dikenal dengan sebutan circular resolution ).
Jika tetap mau diadakan RUPS dengan menggunakan media telekonferensi, sebaiknya peserta Rapat yang tidak dapat hadir di tempat rapat (host), memberi kuasa kepada seseorang, dan setelah diadakan telekonferensi, maka diadakan RUPS sesuai pasal 76 UU 40/2007 ( RUPS konvensional ).
Silahkan pembaca membandingkan dengan pendapat penulis sebelumnya di group milis Notaris_Indonesia.
Sesungguhnya disini terdapat permasalahan yang sangat menarik untuk dibahas dalam suatu karya ilmiah yaitu adanya norma yang kabur dalam UU 40/2007 khususnya mengenai definisi tanda tangan elektronik dan jika dikaitkan dengan keberlakuan UU ITE asas apakah yang dapat digunakan untuk memberlakukan definisi tanda tangan elektronik dalam UU PT tersebut, asas lex specialis derogat legi generalis ataukah lex posterior derogat legi priori ?

Baca selanjutnya...

16 September 2008

Pelaksanaan RUPS Modern menurut UU no 40 th 2007

Permasalahan filosofis dan teknis
dari pelaksanaan RUPS melalui media telekonferensi
menurut pasal 77 Undang-Undang nomor 40 tahun 2007

Undang-undang nomor 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT) menyediakan 2 macam cara pelaksanaan RUPS yaitu :
RUPS Konvensional dan RUPS Modern ( sebutan/istilah dari Penulis ) sesuai pasal 76 dan pasal 77 UU PT.

Penulis berasumsi bahwa pembaca telah membaca dan menganalisa setiap unsur dan syarat bagi penyelenggaraan RUPS-RUPS tersebut, oleh karena itu kita langsung aja ke pokok permasalahannya.
Permasalahan :
1. Ketentuan yang memuat mengenai pelaksanaan RUPS Modern adalah ketentuan mengenai pemenuhan atas asas pemanfaatan teknologi, namun apakah ketentuan tersebut sudah memenuhi asas manfaat ?
2. Jika RUPS tersebut membutuhkan pemberitahuan ke dan/atau persetujuan oleh Menteri Hukum dan HAM, maka Notulen RUPS Modern tesebut wajib dinyatakan dalam bentuk Akta Otentik yang dibuat dihadapan Notaris; bagaimana pedoman atau apakah hal-hal yang perlu diambil oleh seorang Notaris dalam membuat Akta Pernyataan Keputusan RUPS tersebut ?

Dari segi aspek hukum Pembuktian maka Pelaksanaan RUPS Modern sampai saat ini tidak mudah untuk membuktikan apakah pelaksanaan RUPS Modern tersebut sah atau tidak, karena syarat-syarat yang ditetapkan dalam UU PT adalah adanya integrasi antara teknis pelaksanaan RUPS dengan Notulen rapat yang harus ditanda tangani oleh semua peserta rapat.
Pertama yang harus dibuktikan adalah setiap peserta rapat harus benar-benar terbukti dapat saling melihat dan mendengar secara langsung serta berpartisipasi dalam rapat; hal ini dapat dengan mudah dibuktikan dengan rekaman data audio visual.
Kedua harus dapat dibuktikan bahwa Notulen Rapat telah ditandangani secara fisik atau secara elektronik oleh semua peserta rapat, disini mulai terlihat kerumitan pembuktian tentang sahnya tanda tangan masing-masing peserta apakah benar-benar telah ditanda tangani sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan yang berlaku? Dan apakah dokumen Notulen Rapat yang ditanda tangani secara fisik adalah dokumen yang sama isinya dengan dokumen yang ditanda tangani secara elektronik ?
Ketiga apakah bukti pelaksanaan Rapat yang terekam dalam data audio visual tersebut benar-benar menghasilkan Notulen Rapat yang sudah ditanda tangani semua peserta rapat?
Terhadap permasalahan yang kedua walaupun rumit masih dapat ditempuh cara-cara yang dapat dipertanggungjawabkan dari sisi hukum pembuktian bahwa dokumen yang ditanda tangani secara fisik adalah sama dengan dokumen yang ditanda tangani secara elektronik.
Namun terhadap permasalahan yang ketiga penulis sampai saat ini tidak menemukan suatu program software yang dapat mengintegrasikan program audio visual dengan dokumen elektronik yang menyediakan fasilitas tanda tangan secara elektronik.

Dengan adanya permasalahan-permasalahan pembuktian sah atau tidaknya suatu RUPS yang diselenggarakan melalui media telekonferensi sangatlah sulit untuk dikatakan pelaksanaannya sudah memenuhi asas manfaat.
Kesimpulan mengenai permasalahan filosofis yang terkandung dalam benturan penerapan asas pemanfaatan teknologi dan asas manfaat, menurut penulis adalah sebagai berikut : asas pemanfataan teknologi hanya dapat diterapkan dalam suatu peristiwa khususnya di bidang hukum apabila asas tersebut memenuhi asas manfaat (bermanfaat baik dari segi materiil maupun non materiil) bagi penggunanya dan bagi penegakkan hukumnya. ( Silahkan para pakar hukum menganalisa pernyataan tersebut ).
Bersambung....

Baca selanjutnya...

08 September 2008

Pembagian Sisa Hasil Likuidasi bagian terakhir

Pembagian Sisa Hasil Likuidasi Perseroan
Bagian III

Pada bagian I dan bagian II dari materi Pembagian Sisa Hasil Likuidasi Perseroan telah kita ketahui dan pahami mengenai kapan waktunya pembagian sisa asset hasil likuidasi dapat dilakukan kepada para pemegang saham dan juga dapat ditentukan apakah sisa asset yang berupa barang tidak bergerak ( khususnya hak atas tanah berikut dengan segala bangunan yang berdiri di atasnya adalah merupakan suatu harta yang dimiliki bersama secara bebas atau terikat ( tergantung karakteristik perseroan ).

Pada bagian ini penulis akan menguraikan implikasi penerapan Teori Karakteristik Perseroan terhadap pengenaan Pajak kepada para pemegang saham yang berhak atas sisa hasil likuidasi perseroan.
Sebelum itu lebih baik kita memastikan lebih dahulu bagaimanakah caranya membagikan asset tersebut sesuai dengan proporsi kepemilikan saham dari para pemegang saham?

Sesuai dengan Keputusan Menteri Agraria nomor 3 tahun 1997 yang merupakan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun 1997 dalam pasal 95 juncto pasal 2 Peraturan Kepala BPN nomor 1 tahun 2006 yang merupakan pelaksanaan dari Peraturan Pemerintah nomor 38 tahun 1998 tentang Peraturan jabatan PPAT; aturan-aturan tersebut menentukan bahwa PPAT mempunyai tugas pokok yaitu melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan cara membuat akta otentik dan ditentukan pula bahwa PPAT hanya dapat membuat akta tanah yang dijadikan dasar pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yaitu :
a. Akta Jual Beli
b. Akta Tukar Menukar
c. Akta Hibah
d. Akta Pemasukan Ke Dalam Perusahaan
e. Akta Pembagian Hak Bersama
f. Akta Pemberian Hak Tanggungan
g. Akta Pemberian Hak Guna Bangunan Atas Tanah Hak Milik
h. Akta Pemberian Hak Pakai Atas Tanah Hak Milik
Jadi dalam bahasa orang awam diluar akta-akta tersebut tidak ada akta lain yang dapat dijadikan dasar untuk membalik nama suatu sertipikat dari pihak yang satu ke pihak yang lain.
Dari 8 pilihan akta tersebut para PPAT tentu akan memilih huruf E yaitu menggunakan akta Pembagian Hak Bersama, lalu dalam komparisi para pihaknya PPAT akan menentukan bahwa yang menjadi Pihak Pertama yaitu Sang Likuidator yang mewakili Perseroan dalam likuidasi dan yang menjadi Pihak Kedua adalah para pemegang saham bersama-sama, yang bagiannya masing-masing ditentukan berdasarkan komposisi kepemilikan saham masing-masing pemegang saham dalam perseroan secara proporsional.

Disamping itu PPAT harus menganalisa apakah akta tersebut dapat disahkan tanpa atau harus dengan membayar pajak khususnya BPHTB yang wajib disetor oleh masing-masing pemegang saham ?
Pada titik inilah pembahasan mengenai pengkategorian apakah asset sisa hasil likuidasi tersebut merupakan harta bersama bebas atau harta bersama terikat sangat relevan.

Karena dalam benak PPAT pasti terbayang peraturan perpajakan khususnya mengenai Pajak Penghasilan Final PP No. 48 Tahun 1994 jo. PP No. 27 Tahun 1996 dan mengenai BPHTB dalam UU No.20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas U2 No.21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan/atau Bangunan (berlaku sejak 1 Januari 2001).

Dan sang PPAT agak bingung karena melihat Pasal 2 ayat (2) huruf a UU No.20 Tahun 2000 (dahulu Ps 2 ayat (2) angka 6 U2 No.21 Tahun 1997) yang mencantumkan bahwa obyek pajak adalah pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan, dengan penjelasan:
“Pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan adalah pemindahan sebagian hak bersama atas tanah dan/atau bangunan oleh orang pribadi atau badan kepada sesama pemegang hak bersama”.

Untunglah kebingungan tersebut tidak berlangsung lama, oleh karena sang PPAT menemukan Surat Menteri Agraria/ Kepala Badan Pertanahan Nasional no. 600-1561 tanggal 21 April 1999 yang menjelaskan perbedaan antara jenis kepemilikan bersama dengan melihat pada perolehan asalnya yang membedakan pula antara pemilikan bersama yang bebas (vrije mede-eigendom) dan pemilikan bersama yang terikat (gebonden mede-eigendom) dimana sebagai kesimpulan dari Surat Menteri Agraria tersebut adalah :
“Pemisahan dan pembagian warisan masih termasuk dalam ‘rezim’ waris sehingga tidak termasuk kepada peralihan hak atau perolehan hak sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 dan Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997, atau dengan perkataan lain pendaftaran peralihan hak karena pemisahan dan pembagian warisan tidak dipersyaratkan adanya SSP PPh berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 1994 dan SSB BPHTB berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997. Sudah tentu ketentuan tersebut termasuk pula pemisahan dan pembagian harta bersama (gono gini) yang disebabkan oleh perceraian suatu perkawinan”

Wow ternyata Surat Menteri tersebut hanya membahas soal harta warisan dan harta gono gini, lalu bagaimana dengan nasib Akta Pembagian Harta Bersama mengenai pembagian asset sisa hasil likuidasi perseroan kepada para pemegang sahamnya yang sudah ia siapkan untuk ditanda tangani dan disahkan....

Disinilah penulis memberikan sumbang saran dalam memecahkan kasus yang dihadapan sang PPAT yang sedang kebingungan itu. Dengan menggunakan teori karakteristik perseroan sang PPAT dapat mengkategorikan apakah suatu asset hasil likuidasi dari perseroan adalah merupakan harta bersama terikat atau harta bersama bebas.
Jika harta bersama tersebut merupakan harta bersama terikat, maka akta Pembagian Harta Bersama dapat disahkan tanpa ada kewajiban dari para pemegang saham untuk membayar BPHTB.
Jika ada pembaca yang bekerja di instansi Pajak tentu saja akan membelalakan mata dan disamping mengata-ngatain penulis, pasti dalam hati berkata ENAK AJA....gak bisa begitu !!
Bentar sabar bapak....sabar bang... biarlah penulis menjelaskan argumen dan logika hukum dari tindakan pengesahan Akta oleh sang PPAT tanpa harus dilengkapi bukti pembayaran SSB BPHTB.

Asas/ prinsip yang paling mendasar dalam bidang perpajakan adalah Tidak diperbolehkan ada penarikan pajak secara BERGANDA! Maka berdasarkan asas ini kita harus runtut menganalisa mulai dari penyetoran saham dengan nilai nominal tertentu oleh pemegang saham sampai dengan dia memperoleh kembali sisa likuidasi ( pengembalian kembali dari nilai nominal saham yang dia setor ).

Pada waktu pemegang saham menyetor nilai nominal saham pastilah uang tunai tersebut berasal dari penghasilan yang kena pajak ( PPH ), berarti di awal pemegang saham telah dikenai Pajak ( PPh). Setelah PT beroperasi maka pemegang saham jika mendapatkan deviden, dia kena Pajak ( PPh ) atas deviden tersebut.
Nah jika Perseroan bubar dan dia mendapatkan sisa hasil ikuidasi sebagai pengganti nilai nominal yang telah disetor olehnya, -sangat tidak adil dan melanggar asas larangan pengenaan pajak berganda, apabila pemegang saham tersebut dikenakan Pajak ( dalam hal ini BPHTB, karena yang dibagikan dalam bentuk asset hak atas tanah dan bangunan ).
Namun jangan kuatir para aparat penegak perpajakan, anda tetap dapat menarik Pajak terhadap para pemegang saham yang memperoleh "gain" ( selisih kelebihan antara nilai nominal yang disetor dengan nilai asset yang diperoleh oleh pemegang saham ) jika nilai asset melebihi nilai nominal saham mereka... Inilah WIN WIN SOLUTION.


PPAT tidak bingung ( terancam denda Rp.7.500.000,- ) dalam mengesahkan akta tanpa harus dilampiri SSB BPHTB; Instansi Pajak tetap dapat menarik Pajak (PPh) apabila memang pemegang saham memperoleh keuntungan dalam pembagian asset tersebut; Pemegang saham pasti tidak dikenakan pajak berganda!

Semoga 3 bagian tulisan mengenai Pembagian Sisa Hasil Likuidasi Perseroan ini berguna dan memberikan solusi bagi para pembaca.
Salam sejahtera
Jusuf Patrick








Baca selanjutnya...

03 September 2008

Pembagian Sisa Hasil Likuidasi Perseroan Bagian 2

Pembagian Sisa Hasil Likuidasi Perseroan
Bagian II

Dalam artikel penulis mengenai Pembagian Sisa Hasil Likuidasi Perseroan bagian 1 kita telah mengetahui kapan waktunya sisa asset perseroan hasil likuidasi dapat dibagikan kepada para pemegang sahamnya sesuai proporsisi masing-masing dalam kepemilikan sahamnya dalam perseroan.
Permasalahan berikutnya yang harus kita analisa adalah siapakah yang menjadi subyek hukum dalam tindakan pembagian asset perseroan yang dalam hal ini berupa sebidang tanah dengan Hak Guna Bangunan seluas lebih kurang 25.000 m2 (2.5 Ha) atas nama Perseroan.
Persoalan ini akan selesai dengan mudah apabila para pemegang saham sepakat untuk menjual asset tersebut, namun yang terjadi disini sebaliknya para pemegang saham hendak mempertahankan tali "silaturahmi" diantara mereka dalam kepemilikan bersama atas asset tersebut.

Pertanyaan yang mendasar Apakah pemegang saham adalah pemilik perseroan yang merupakan satu kesatuan dengan keberadaan Perseroan ataukah Perseroan sebagai Person/Orang ( legal entity ) yang mandiri yang terdiri dari para pemegang saham (karena Perseroan didirikan berdasarkan perjanjian dan setelah didirikan maka Perseroan seolah-olah mempunyai "jiwa" tersendiri dari para pendirinya (pemegang saham)?

Jawaban atas pertanyaan tersebut membawa implikasi hukum yang berbeda, namun sebelum menganalisa jawaban tersebut; penulis hendak berteori sejenak ( jika sudah ada yang menemukan, penulis mohon ijin; namun jika belum ada penemu teori ini, silahkan pembaca mengujinya dalam suatu karya ilmiah...sebut aja teori ini sebagai Teori Karakteristik Perseroan© :).
Dalam Teori Karakteristik Perseroan penulis mendalilkan bahwa dalam perseroan terbatas dengan karakteristik tertutup, tanggung jawab pemegang saham lebih besar dibandingkan tanggung jawabnya dalam perseroan dengan karakteristik terbuka, demikian pula kekuasaan RUPS lebih utama daripada kekuasaan Pengurus, perseroan terbatas dengan karakteristik tertutup lebih berkarakter sebagai person yang mandiri, dibandingkan perseroan terbatas dengan karakteristik terbuka lebih sebagai alat (fungsi) daripada berkarakter sebagai person.
Undang-undang nomor 40 tahun 2007 lebih menganut paham perseroan dengan karakteristik terbuka, beda dengan UU nomor 1 tahun 1995 lebih menganut paham perseroan dengan karakteristik tertutup karena kekuasaan RUPS dalam UU 1/1995 diakui sebagai pemegang kekuasaan tertinggi ( Catatan : Mengenai pergeseran paradigma RUPS dalam perkembangannya akan penulis uraikan dalam artikel yang berikutnya ).
Menurut penulis relevansi pembahasan mengenai karakteristik perseroan ini erat kaitannya dengan penentuan apakah asset perseroan tersebut merupakan barang milik bersama secara bebas atau milik bersama secara terikat. Dan penentuan ini berdampak pada pengenaan pajak bagi para pemegang saham yang memperoleh asset /kekayaan hasil likuidasi perseroan.

Berikut ini penulis mengcopy paste dari presentasi rekan Herlien Budiono di Surabaya tanggal 8 Feb 2008 mengenai Pemilikan Bersama menurut teori dan praktek ( dengan segala hormat penulis meminta ijin kepada rekan Herlien Budiono ), pokok-pokok penting dari presentasi tersebut sebagai berikut :
Penentuan pemilikan bersama bersifat terikat atau bebas bergantung pada sebab (oorzaak) yang mengakibatkan para pemilik memiliki suatu kebendaan bersama-sama :
- Pemilikan bersama yang bebas (vrije medeeigendom) – pemilikan bersama merupakan
tujuan
dari para pemiliknya
- Pemilikan bersama yang terikat (gebonden medeeigendom) – pemilikan bersama merupakan akibat dari suatu peristiwa hukum yang lain.
Persamaannya :
Pemiliknya memiliki bagian yang tak terbagi atas keseluruhan benda yang dimiliki bersama.
Contoh Pemilikan bersama yang terikat:
- karena bubarnya perkawinan, ex suami-isteri bersama memiliki harta benda perkawinan,
- karena bubarnya persekutuan perdata (maatschap) atau perkumpulan yang tidak berbadan hukum, para pesero bersama memiliki harta perseroan
- karena meninggalnya pewaris, para ahliwaris bersama memiliki harta peninggalan
(Ps 833 ayat (1) jo. Ps 955 KUHPerd)

Kewenangan bertindak:
Terwujud pada bebas atau tidaknya para pemilik untuk setiap saat mengalihkan bagian tak terbagi yang dimiliki atas harta bersama
- Pemilikan bersama yang terikat:
- Para pemilik tidak bebas untuk mengalihkan bagian tak terbaginya - semua tindakan hukum harus dilakukan bersama-sama
- Pemilikan bersama yang bebas:
- Para pemilik bebas untuk mengalihkan bagian tak terbaginya

Pemisahan dan pembagian: Pemilikan bersama yang bebas
Ps 573 KUHPerd: “Membagi sesuatu kebendaan yang menjadi milik lebih dari satu orang harus dilakukan menurut aturan-aturan yang ditentukan tentang pemisahan dan pembagian harta pembagian”
Pemisahan dan pembagian : Persekutuan perdata (maatschap)
Ps 1652 KUHPerd: “Aturan-aturan tentang pembagian warisan-warisan, cara-cara pembagian itu dilakukan, serta kewajiban-kewajiban yang terbit karenanya antara orang-orang yang turut mewaris, berlaku juga untuk pembagian di antara para pesero” .

Pemisahan dan pembagian bersifat pengalihan hak ?
Ps 1083 KUHPerd:
“Tiap waris dianggap seketika menggantikan si meninggal dalam hak miliknya atas benda-benda yang dibagikan kepadanya atau yang secara pembelian diperolehnya berdasarkan Ps 1076. Dengan demikian, maka tiada seorang pun dari para waris dianggap pernah memperoleh hak milik atas benda-benda yang lainnya dari harta peninggalan”
Kalau kepada ahliwaris A dibagikan sebuah rumah, ahliwaris B sebuah pabrik, maka:
– A tidak pernah memiliki pabrik dan B tidak pernah memiliki rumah;
- A dan B masing-masing memperoleh rumah dan pabrik bukan karena pemisahan dan pembagian tetapi karena warisan;
- Bukan peralihan/perolehan hak, tetapi mengkonstatir peristiwa hukum.
Apakah Ps 1083 KUHPerd membawa akibat hukum sama terhadap pemisahan dan pembagian atas pemilikan bersama yang bebas – mengingat Ps 573 KUHPerd menyatakan bahwa pemisahan dan pembagian suatu kebendaan milik lebih dari satu orang harus dilakukan menurut aturan yang ditentukan tentang pemisahan dan pembagian harta peninggalan ?

Pemisahan dan pembagian untuk pemilikan bersama yang terikat bersifat deklaratif – berlaku surut sejak terjadinya pemilikan bersama yaitu sejak bubarnya perkawinan, bubarnya persekutuan perdata (maatschap)/perkumpulan tidak berbadan hukum, meninggalnya pewaris. Hanya mengkonstatir peristiwa hukum .

Pemisahan dan pembagian untuk pemilikan bersama yang bebas bersifat pengalihan hak “translatif” – berlaku sejak terjadinya pemisahan dan pembagian

Tujuan Pemisahan dan Pembagian
– mengakhiri pemilikan bersama
– kepada pihak yang dipisahkan dan dibagikan suatu benda - mempunyai hak pengurusan dan pemilikan atas bendanya

Kembali pada topik bahasan Apakah asset sisa hasil likuidasi Perseroan merupakan harta pemilikan bersama bebas atau terikat dari para pemegang saham?
Patokannya bergantung pada sebab (oorzaak) yang mengakibatkan para pemilik memiliki suatu benda. Dalam hal inilah penting sekali untuk menganalisanya dari segi karakteristik Perseroan.

Jika karakteristik Perseroan terbuka, maka keberadaan PT sebagai alat (fungsi) membawa akibat pemilikan suatu benda adalah untuk memenuhi suatu tujuan yang hendak dicapai Perseroan melalui Pengurusnya untuk kepentingan para pemegang saham, sehingga dalam hal ini dapat dikatakan hakekat pemilikan benda oleh Perseroan merupakan pemilikan bersama yang bebas. Konsekuensinya pembagian asset tersebut kepada para pemegang sahamnya merupakan peralihan hak yang translatif.
Contoh : Perseroan yang berusaha di bidang developer/real estate, bubar dan dilikuidasi, sisa assetnya berupa kaplingan dan/atau rumah di perumahan yang dikembangkan oleh Perseroan ( contoh PT karakteristik terbuka dibidang kepemilikan bersama, PT sebagai alat, asset yang dimiliki untuk mencapai tujuan bersama )
Dan terhadap perbuatan hukum ini pemegang saham dikenai pajak (khususnya BPHTB).
Kalau mau dianalisa apakah Perseroan terutang PPH atas peralihan hak ini?? ( Penulis tidak menemukan jawaban yang tepat untuk hal ini, mungkin pembaca dapat melengkapinya. Disini akan terjadi debat yang seru mengenai dasar-dasar pengenaan pajak yang selama ini tidak jelas, namun semata-mata demi mencapai target pemasukan negara saja tanpa memperhatikan kesejahteraan dan perlindungan kepada masyarakat ).

Jika Perseroan dengan karakteristik tertutup, maka asset yang diperoleh Perseroan adalah merupakan asset yang digunakan untuk menunjang keberadaan perseroan, dalam hal ini kepemilikan asset merupakan kepemilikan bersama yang terikat. Konsekuensinya pembagian asset hasil likuidasi kepada para pemegang saham merupakan tindakan yang bersifat deklaratif ( hanya untuk mengkonstatir suatu peristiwa hukum dalam hal ini likuidasi ) dan oleh karena itu terhadap tindakan tersebut tidak dapat dikenai pajak, karena tidak terjadi peralihan hak
secara translatif.
Contoh : Perseroan yang berusaha di bidang Industri, memiliki asset pabrik berikut hak atas tanahnya, bubar dan dilikuidasi, sisa assetnya berupa bangunan dan tanah dimana pabrik tersebut didirikan ( contoh PT karakteristik tertutup dibidang kepemilikan bersama, pembelian dan kepemilikan atas asset untuk menunjang keberadaan Perseroan dan bukan untuk tujuan Perseroan ).

Kesimpulan penulis :
Sisa hasil likuidasi harta Perseroan yang dibubarkan tidak harus dalam bentuk uang tunai, namun dapat saja berupa asset berupa barang tidak bergerak ( khususnya hak atas tanah dan/atau bangunan ) dan/atau barang bergerak baik berwujud maupun tidak berwujud.
Khusus mengenai sisa hasil likuidasi yang berupa asset dalam bentuk barang tidak bergerak khususnya hak atas tanah dan/atau bangunan, apabila asset tersebut diperoleh dan dipergunakan untuk menunjang keberadaan Perseroan, maka dapat dikategorikan sebagai barang milik bersama secara terikat dari para pemegang saham, sedangkan jika asset tersebut diperoleh dan dipergunakan untuk memenuhi tujuan Perseroan, maka sisa hasil likuidasi tersebut adalah merupakan barang milik bersama secara bebas.

Bersambung..

Baca selanjutnya...