26 Juni 2012

TUJUAN DAN POLA KERJA YAYASAN Bagian 1

SUATU TINJAUAN PERBANDINGAN 
TUJUAN DAN POLA KERJA YAYASAN 
DI BEBERAPA NEGARA 
Oleh : JUSUF PATRIANTO TJAHJONO, SH, MH 

PENDAHULUAN 

Pertama-tama penulis mengucapkan terima kasih atas kepercayaan yang telah diberikan kepada penulis oleh Menteri Hukum dan hak Asasi Manusia Republik Indonesia yang telah menunjuk penulis sebagai salah satu Narasumber dari Tim-Tim Penelitian Hukum Tahun Anggaran 2012, sebagaimana Keputusan Menteri nomor : PHN.03.LT.01.05 TAHUN 2012 tanggal 2 April 2012; yaitu khususnya dibidang Penelitian Subtansi bagian Perbandingan Tujuan dan Pola Kerja Yayasan di Beberapa Negara dan Kemungkinan Penerapannya di Indonesia.
Makalah ini ditulis dalam rangka memberikan masukan kepada Badan Pembinaan Hukum Nasional – Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia sebagai bahan dalam penyusunan Naskah Akademik bagi usulan perubahan Undang-Undang tentang Yayasan.

Sebagaimana diuraikan dalam latar belakang Proposal Penelitian Hukum tentang Perbandingan Tujuan dan Pola Kerja Yayasan di Beberapa Negara dan Kemungkinan Penerapannya di Indonesia bahwa terdapat paling tidak dua permasalahan pokok mengenai aktualisasi Yayasan di Indonesia yaitu : Masalah yang pertama, dalam rangka dimensi global tantangan utama adalah bahwa hukum Indonesia harus sedemikian rupa sehingga menjadikan lembaga-lembaga sosial ekonomi di Indonesia khususnya Yayasan tidak saja sekedar dapat berhadapan dan berinteraksi dengan unsur-unsur ekonomi masyarakat dunia, tetapi juga unggul dalam kompetitif di pasar global. Untuk itu diperlukan restrukturisasi dalam bidang hukum bisnis, yang dapat memberi peluang yayasan untuk lebih tertib dan meningkat daya saingnya.
Masalah kedua adalah dalam rangka dimensi domestik, dihadapkan pada kenyataan yayasan yang masih diwarnai pro kontra parsial antara idealisme dan dinamika yayasan yang senyatanya dalam masyarakat; dimana Yayasan tidak lagi menjadi suatu lembaga yang hanya berusaha dibidang tertentu dan bersifat ideal belaka, kegiatan yayasan sangat beraneka ragam, dengan total asset triyunan rupiah, maka ditengarai adanya ketidak konsistenan menenai tujuan dan pola kerja yayasan yang berkembang menjadi lembaga yang profit-oriented.

Maka oleh karena itu sesuai Surat Badan Pembinaan Hukum Nasional tanggal 5 Juni 2012 nomor : PHN.2-UM.01.01-45 penulis akan menguraikan dalam makalah ini mengenai Tinjauan Perbandingan Tujuan dan Pola Kerja Yayasan di Beberapa Negara.

PERBANDINGAN MAKSUD TUJUAN PEMBENTUKAN YAYASAN 
DI INDONESIA DAN DI NEGARA-NEGARA LAIN

Yayasan adalah kumpulan dari sejumlah orang yang terorganisasi dan dilihat dari segi kegiatannya, lebih tampak sebagai lembaga sosial. Dari sejak awal, sebuah yayasan didirikan bukan untuk tujuan komersial atau untuk mencari keuntungan, akan tetapi tujuannya tidak lebih dari membantu atau meningkatkan kesejahteraan hidup orang lain. Keberadaan yayasan merupakan suatu kebutuhan bagi masyarakat, yang menginginkan adanya wadah atau lembaga yang bersifat dan bertujuan sosial, keagamaan, dan kemanusiaan. Dengan adanya yayasan, maka segala keinginan sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, itu diwujudkan di dalam suatu lembaga yang diakui dan diterima keberadaannya.(1)

Keberadaan Yayasan sebelum berlakunya Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan, menimbulkan berbagai kontroversi sebab yayasan yang pada dasarnya bertujuan untuk kepentingan masyarakat, seringkali justru dijadikan wadah melakukan perbuatan melanggar hukum. Yayasan yang demikian, umumnya telah menyimpang dari maksud dan tujuan yang telah ditetapkan dalam Anggaran Dasarnya. Usaha yang semula difokuskan pada usaha yang bersifat sosial dan kemanusiaan itu dibelokkan arahnya sehingga kepentingan individu yang diprioritaskan. Selain itu, beberapa yayasan melakukan usaha layaknya badan usaha yang bertujuan mengejar keuntungan. Dengan mengejar keuntungan, Yayasan itu umumnya tidak segan untuk melakukan tindakan melawan hukum dan bertentangan dengan kepentingan umum.
Dengan bergesernya fungsi yayasan menjadi suatu badan usaha mengakibatkan tujuan aslinya menjadi kabur, salah arah, dan hampir – hampir tidak terkendali. Tampak disini yayasan digunakan untuk menjalankan usaha bisnis dan komersial dengan segala aspek manifestasinya.
Dalam rangka menjamin kepastian dan ketertiban hukum agar yayasan berfungsi sesuai dengan maksud dan tujuannya, maka pada tanggal 6 Agustus 2001 disahkan Undang – Undang Yayasan Nomor 16 Tahun 2001 yang mulai berlaku sejak tanggal 6 Agustus 2002 dan diubah dengan Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2004, yang diundangkan pada tanggal 6 Oktober 2004 dan berlaku sejak tanggal 6 Oktober 2005 serta diterbitkannya Peraturan Pemerintah nomor 63 tahun 2008 yang berlaku sejak tanggal 23 September 2008. Ditegaskan dalam pasal 1 angka (1) Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2001 jo Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Yayasan bahwa Yayasan harus bertujuan sosial, keagamaan, dan kemanusiaan.

Implikasi pembatasan tentang maksud tujuan Yayasan berimbas pada lapangan kegiatan yang dapat dilakukan oleh Yayasan dalam tataran operasionalnya. Walaupun tidak diatur secara eksplisit dalam Undang-Undang, namun oleh Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia melalui Direktorat Jendral Administrasi Hukum Umum telah memberikan pedoman kepada seluruh notaris di Indonesia mengenai bidang-bidang kegiatan yang dapat dipilih ketika Yayasan didirikan :(2)
- Dalam bidang sosial sebagai berikut:
a. Pendidikan formal dan non formal;
b. Panti asuhan, panti jompo, dan panti wreda;
c. Rumah sakit, poliklinik, dan laboratorium
d. Pembinaan olah raga;
e. Penelitian dibidang ilmu pengetahuan;
f. Studi banding.
- Dalam bidang kegiatan keagamaan antara lain:
a. Mendirikan sarana ibadah;
b. Mendirikan pondok pesantren dan madarasah;
c. Menerima dan menyalurkan amal zakat, infaq, dan sedekah;
d. Meningkatkan pemahaman keagamaan;
e. Melaksanakan syiar agama;
f. Studi banding keagamaan.
- Dalam bidang kemanusiaan, antara lain dapat melakukan kegiatan sebagai berikut:
a. Memberi bantuan kepada korban bencana alam;
b. Memberi bantuan kepada pengungsi akibat perang;
c. Memberi bantuan kepada tuna wisma, fakir miskin dan gelandangan;
d. Mendirikan dan menyelenggarakan rumah singgah dan rumah duka;
e. Memberikan perlindungan konsumen
f. Melestarikan lingkungan hidup

Kegiatan-kegiatan di atas adalah kegiatan sosial, keagamaan dan kemanusian, bukanlah suatu kegiatan usaha sebagaimana sering disalah artikan oleh banyak kalangan oleh karena adanya kekaburan norma ( vage normen ) antara kegiatan yayasan dengan kegiatan usaha yang dapat dilakukan oleh yayasan sebagaimana diatur dalam Pasal 3 Undang – Undang Nomor 16 Tahun 2001 (Undang-Undang Yayasan). Pasal 3 ayat (1) Undang-Undang Yayasan menyebutkan : ” Yayasan dapat melakukan kegiatan usaha untuk menunjang pencapaian maksud dan tujuannya dengan cara mendirikan badan usaha dan atau ikut serta dalam suatu badan usaha.”

Kekaburan tersebut segera diperbaiki dengan Undang – Undang Nomor 28 Tahun 2004 yang walaupun ketentuan Pasal 3 ini tidak diubah tetapi penjelasan pasal ini mempertegas bahwa yayasan tidak dapat digunakan sebagai wadah usaha.
Dengan perkataan lain yayasan tidak dapat langsung melakukan kegiatan usaha, tetapi harus melalui badan usaha yang didirikannya atau melalui badan usaha lain dimana yayasan mengikut sertakan kekayaannya. Mengenai badan usaha yang dapat didirikan oleh yayasan diatur dalam pasal 7 dan pasal 8 Undang – Undang Yayasan. Pada Pasal 7 Undang – Undang Yayasan menyebutkan bahwa : ” Yayasan dapat mendirikan badan usaha yang kegiatannya sesuai dengan maksud dan tujuan yayasan.” Pasal 8 menyebutkan : ” Kegiatan usaha dari badan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (1) harus sesuai dengan maksud dan tujuan Yayasan serta tidak bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan/atau peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dan penjelasannya : ”Kegiatan usaha dari badan usaha Yayasan mempunyai cakupan yang luas, termasuk antara lain hak asasi manusia, kesenian, olah raga, perlindungan konsumen, pendidikan, lingkungan hidup, kesehatan, dan ilmu pengetahuan. ”

Dari ketentuan-ketentuan di atas Rudhi Prasetya menyimpulkan bahwa ada tiga tipe Yayasan (3) yaitu yang pertama tipe Yayasan Klasik dimana kegiatan yayasan hanya semata-mata mengumpulkan dana-dana dari para dermawan, misalnya dengan mengadakan kegiatan konser, pertunjukan-pertunjukan drama dan lain-lain, yang kemudian dana hasil kegiatan tersebut di sumbangkan kepada badan-badan kegiatan sosial. Tipe Yayasan yang kedua adalah Yayasan yang langsung menyelenggarakan sendiri lembaga-lembaga sosial yang bersangkutan yaitu dengan mendirikan lembaga pendidikan, rumah sakit, dengan sekaligus mencari kelebihan hasil untuk dari kelebihan hasil ini ditanamkan kembali untuk mengintensifkan kegiatan sosialnya. Dan tipe yayasan yang ketiga adalah yayasan mendirikan Perseroan Terbatas yang menjalankan bisnis dengan tujuan mencari profit, dan dari profit yang dihasilkan disumbangkan kepada kegiatan sosial yang diselanggarakan sendiri oleh yayasan.

Mengenai tipe yayasan ketiga ini menurut Yohanes Gunawan berpendapat bahwa ada kemungkinan suatu yayasan mendirikan dan/atau ikut serta dalam badan usaha yang tidak berstatus badan hukum (al: firma atau cv), maka besarnya tanggungjawab yayasan adalah tidak saja sejauh modal yang disetor tetapi dapat sampai pada seluruh kekayaan yayasan. Ketiadaan pengaturan tentang hal ini menyebabkan yayasan dapat dinyatakan pailit sebagai akibat kegagalan kegiatan usaha yang sebenarnya bukan kegiatan utamanya.(4)

Pendapat ini menurut penulis berlebihan oleh karena bagi pendirian badan usaha yang bukan badan hukum, seperti misalnya perseroan komanditer atau firma, tidak mungkin didirikan oleh badan hukum seperti yayasan atau perseroan terbatas, oleh karena pendiri badan-badan usaha yang tidak berbadan hukum hanya bisa didirikan oleh orang perorangan.

Penulis menyarankan sebaiknya dilakukan revisi terhadap redaksi pasal 3, pasal 7 dan pasal 8 Undang-Undang Yayasan yaitu dengan menambahkan kata-kata berbadan hukum pada kata-kata badan usaha; sehingga setiap kata-kata ”badan usaha” harus dibaca sebagai ”badan usaha yang berbadan hukum”.

Mengenai yayasan boleh atau tidak melakukan kegiatan usaha, penulis tidak sependapat dengan Chatamarrasjid Ais yang dalam bukunya berjudul Badan Hukum Yayasan (Edisi Revisi ) pada halaman 90 berpendapat : ”Yayasan boleh memperoleh laba dengan melakukan berbagai kegiatan usaha, sejauh laba yang diperoleh dipergunakan untuk tujuan idealistis, sosial, dan kemanusiaan. Usaha yang memperoleh laba ini diperlukan agar Yayasan tidak bergantung selamanya pada bantuan dan sumbangan.”(5)

Menurut penulis jiwa Undang-Undang nomor 16 tahun 2001 dan Undang-undang nomor 28 tahun 2004 melarang Yayasan melakukan kegiatan usaha yang bertujuan mengejar profit secara langsung dan apabila Yayasan berupaya untuk mendapatkan suatu penghasilan hasil dari suatu kegiatan usaha, haruslah diperoleh melalui badan usaha ( yang berbadan hukum ) lain yang didirikan atau dimana Yayasan ikut serta dalam permodalannya; jadi badan usaha tersebutlah yang berusaha mencari keuntungan/profit dan Yayasan memperoleh bagian profit sesuai penyertaan modalnya dalam badan usaha tersebut.
Dalam hal ini Yayasan sama sekali tidak aktif didalam pengelolaan dan pengusahaan badan usaha tersebut, hal mana dibuktikan dari adanya larangan dalam pasal 7 ayat 3 Undang-undang Yayasan yang memuat : ” Anggota Pembina, Pengurus, dan Pengawas Yayasan dilarang merangkap sebagai Anggota Direksi atau Pengurus dan Anggota Dewan Komisaris atau Pengawas dari badan usaha sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2), dengan kata lain semua organ yayasan dilarang ikut campur dalam kepengurusan badan usaha tersebut.
Menjadi menarik jika membandingkan larangan dalam pasal 7 ayat 3 tersebut dengan pasal 35 ayat 1 dan ayat 2 Undang-Undang Yayasan yang memuat : ” Pengurus Yayasan bertanggung jawab penuh atas kepengurusan Yayasan untuk kepentingan dan tujuan Yayasan serta berhak mewakili Yayasan baik di dalam maupun di luar Pengadilan. Setiap Pengurus menjalankan tugas dengan itikad baik, dan penuh tanggung jawab untuk kepentingan dan tujuan Yayasan.”
Maka akan membuahkan pertanyaan bagaimana pertanggung jawaban organ yayasan terhadap modal yang digunakan untuk mendirikan atau ikut serta dalam badan usaha yang digunakan untuk kepentingan pencapaian maksud dan tujuan yayasan tersebut jika organ yayasan tidak dapat ikut campur dalam pengusahaan dan pengelolaan badan usaha tersebut ? Jawaban yang paling konsisten terhadap pertanyaan ini adalah pendapat penulis bahwa badan usaha yang didirikan atau dimana yayasan ikut serta didalamnya haruslah badan usaha yang berbadan hukum, sehingga Pengurus Yayasan tetap dapat melakukan tugasnya dengan baik melalui Rapat Umum Pemegang Saham atau Rapat Anggota.

Pengaturan mengenai maksud dan tujuan yayasan di negara-negara yang lain khususnya negara Belanda, Inggris dan Amerika 

Undang-undang di Belanda tidak menentukan secara tegas tentang tujuan Yayasan harus bersifat idiil atau sosial atau kemanusiaan, tetapi mengatur adanya larangan bagi yayasan untuk melakukan pembayaran berupa apapun kepada para pendiri atau pengurusnya, kecuali pembayaran kepada pihak ketiga untuk tujuan yang bersifat idiil atau untuk tujuan sosial, sebagaimana dimuat dalam pasal 285 ayat 3 NBW : ” Het doel van de stichting mag niet inhouden het doen van uitkeringen aan oprichters of aan hen die deel uitmaken van haar organen noch ook aan anderen, tenzij wat deze laatsten betreft de uitkeringen een ideĆ«le of sociale strekking hebben” (6) yang diterjemahkan secara bebas dalam bahasa Inggris demikian bunyinya : ” The objective (purpose) of a Foundation ('stichting') may not include the making of distributions to its founders (incorporators) or to those who are participating in its bodies or to others, except, as regards the latter, when these distributions are made for charitable (philanthropic) or social purposes.” ). (7)

Di Inggris yayasan terutama dikenal dalam bentuk Charitable Trust (8) yang tujuannya adalah untuk sosial kemanusiaan, demikian dapat disimpulkan dari Charities Act 2011 (9) memuat :
1 Meaning of “charity”
(1)For the purposes of the law of England and Wales, “charity” means an institution which— (a)is established for charitable purposes only, and (b)falls to be subject to the control of the High Court in the exercise of its jurisdiction with respect to charities.
2Meaning of “charitable purpose”
(1)For the purposes of the law of England and Wales, a charitable purpose is a purpose which— (a)falls within section 3(1), and (b)is for the public benefit (see section 4).
3. Descriptions of purposes
(1)A purpose falls within this subsection if it falls within any of the following descriptions of purposes— (a)the prevention or relief of poverty;
(b)the advancement of education;
(c)the advancement of religion;
(d)the advancement of health or the saving of lives;
(e)the advancement of citizenship or community development;
(f)the advancement of the arts, culture, heritage or science;
(g)the advancement of amateur sport;
(h)the advancement of human rights, conflict resolution or reconciliation or the promotion of religious or racial harmony or equality and diversity;
(i)the advancement of environmental protection or improvement;
(j)the relief of those in need because of youth, age, ill-health, disability, financial hardship or other disadvantage;
(k)the advancement of animal welfare;
(l)the promotion of the efficiency of the armed forces of the Crown or of the efficiency of the police, fire and rescue services or ambulance services;
(m)any other purposes— (i)that are not within paragraphs (a) to (l) but are recognised as charitable purposes by virtue of section 5 (recreational and similar trusts, etc.) or under the old law, (ii)that may reasonably be regarded as analogous to, or within the spirit of, any purposes falling within any of paragraphs (a) to (l) or sub-paragraph (i), or (iii)that may reasonably be regarded as analogous to, or within the spirit of, any purposes which have been recognised, under the law relating to charities in England and Wales, as falling within sub-paragraph (ii) or this sub-paragraph.”

Sedangkan di Amerika Serikat dibedakan antara yayasan privat dan yayasan publik (10) dimana yayasan privat adalah suatu organisasi amal yang diatur dan dioperasikan untuk tujuan yang bermanfaat bagi kepentingan umum, yang memenuhi syarat sebagai bebas pajak berdasarkan Bagian 501 (c) (3) dari Internal Revenue Code dan kekayaannya berasal dari keluarga, individu, perusahaan, atau beberapa sumber tunggal lainnya dan tidak meminta dana dari masyarakat, sedangkan yayasan publik seperti yang dijelaskan dalam Bagian 509 (a) Internal Revenue Code, umumnya menerima hibah dari perorangan, pemerintah, dan yayasan swasta dan kegiatannya menjadi pendonor/penyumbang bagi kegiatan-kegiatan amal (sehingga sering dikenal sebagai yayasan non operasional ).(11) Yayasan sering diatur untuk tujuan amal, warisan keluarga dan tujuan kolektif. (12) Adapun kegiatan-kegiatan yayasan yang dikategorikan memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh Internal Revenue Service sebagai kegiatan yang dikecualikan dari pengenaan pajak adalah (13) :
1. Bantuan kepada orang miskin, tertekan, atau kurang mampu,
2. Kemajuan agama,
3. Kemajuan pendidikan atau ilmu pengetahuan,
4. Pemeliharaan gedung-gedung publik, monumen, atau karya,
5. Kegiatan-kegiatan yang mengurangi beban pemerintah,
6. Kegiatan-kegiatan yang mengurangi ketegangan lingkungan,
7. Penghapusan prasangka dan diskriminasi,
8. Pembelaan hak asasi manusia dan sipil yang dijamin oleh hukum, dan
9. Memerangi kerusakan masyarakat dan kenakalan remaja.

Di Amerika status pengecualian pengenaan pajak sedemikian penting, oleh karena disamping yayasan mendapatkan pengecualian dari pajak penghasilan, demikian pula para donatur/penyumbang memperoleh pemotongan dari penghasilan yang disumbangkan kepada yayasan yang masuk dalam kualifikasi tersebut.(14)
Di Indonesia dalam Peraturan Pemerintah nomor 60 tahun 2010 pemotongan pajak dapat dilakukan hanya sebatas pengurangan penghasilan bruto atas pembayaran zakat atau sumbangan keagamaan yang diwajibkan; semoga kelak dapat ditingkatkan hingga meliputi pemotongan terhadap penghasilan yang dikeluarkan untuk sumbangan/amal kepada yayasan-yayasan yang memenuhi persyaratan.

Jadi secara umum dapat dikatakan bahwa maksud dan tujuan serta kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh yayasan sebagai lembaga organisasi not-to-profit ( organisasi yang tidak bertujuan mengejar laba ) baik di Indonesia, Belanda, Inggris maupun di Amerika Serikat adalah di bidang kemanusiaan, sosial dan keagamaan.

Menarik untuk dicermati lebih lanjut oleh para peneliti berkaitan dengan kegiatan yang dapat atau yang dilarang dilakukan oleh Yayasan Asing yang beroperasi di Indonesia dibandingkan dengan yayasan yang didirikan oleh orang asing atau oleh orang asing bersama-sama dengan orang Indonesia sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 63 tahun 2008, yang oleh karena keterbatasan waktu tidak mungkin diuraikan dalam makalah ini, namun telah penulis ungkapkan secara singkat dalam blog pribadi penulis.(15)

Bersambung ... Pola Kerja yayasan...

Footnote :
(1)   Arie Kusumastuti Maria Suhardiadi, Hukum Yayasan Di Indonesia, Abadi, Jakarta, 2003, hal. 1
(2)   Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum Departemen Menteri Kehakiman Republik Indonesia,
       Standart Akte Yayasan dan Undang-Undang Yayasan, Yayasan Kesejahteraan Direktorat Jenderal
       Administrasi Hukum Umum Departemen Menteri Kehakiman Republik Indonesia, tahun 2004.
(3)  Rudhi Prasetya, Yayasan dalam Teori dan Praktik, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, hal. 62
(4)  Johanes Gunawan, Kegiatan Usaha Yayasan Untuk Mendukung Fungsi Sosial Yayasan di Era Global, 
       Makalah Seminar Aspek-aspek Hukum Yayasan di Indonesia, Diselenggarakan Badan Pembinaan
       Hukum Nasional bekerja sama dengan Kantor Wilayah Kementerian Hukum dan HAM JAwa Timur di
       Surabaya, pada tanggal 26 April 2012.
(5)  Chatamarrasjid Ais, Badan Hukum Yayasan (Edisi Revisi ), Citra Aditya Bakti, Jakarta, 2006, hal. 90
(6)  http://www.wetboek-online.nl/wet/Burgerlijk%20Wetboek%20Boek%202.html#1693  diakses tanggal
      12 Juni 2012
(7)  http://www.dutchcivillaw.com/legislation/dcctitle2266.htm diakses tanggal 12 Juni 2012
(8)  Anwar Borahima, Kedudukan Yayasan di Indonesia, Eksistensi, Tujuan dan Tanggung Jawab Yayasan, 
      Prenada  Media, Jakarta, 2010, hal. 96.
(9)  http://www.legislation.gov.uk/ukpga/2011/25/section/1 diakses tanggal 12 juni 2012
(10)http://www.grantspace.org/Tools/Knowledge-Base/Funding-Resources/Foundations/Private-
      foundations-vs-public-charities diakses pada tanggl 15 juni 2012.
(11)http://foundationcenter.org/getstarted/tutorials/establish/index.html diakses tanggal 10 Juni 2012
(12)http://en.wikipedia.org/wiki/Foundation_%28non-profit%29
(13)http://www.irs.gov/pub/irs-pdf/p4220.pdf diakses tanggal 10 Juni 2012
(14)http://www.irs.gov/charities/contributors/article/0,,id=182760,00.html diakses tangal 10 Juni 2012
(15)http://notarissby.blogspot.com/2008/10/serba-serbi-yayasan-dan-pengaturannya.html

Baca selanjutnya...

11 Januari 2012

Alternatif Solusi mengenai Daerah Kerja PPAT di Kota Surabaya

Tulisan ini merupakan ringkasan dari tulisan rekan Miftachul Machsun dengan judul : " SILANG SENGKARUT TENTANG DAERAH KERJA PPAT DI KOTA SURABAYA"

Dalam tulisan tersebut penulis menjabarkan terlebih dahulu mengenai apakah tugas pokok PPAT, apakah dia merupakan seorang "pembantu" ( Kepala ) Kantor Pertanahan sebagaimana diambil dari pasal 6 ayat 2 PP 24/1997 ? Makna sebenarnya kata "dibantu" tidaklah menimbulkan hubungan sub ordinasi ( atas bawahan ) antara PPAT dan BPN, melainkan mandiri dan  sederajat ( karena BPN sendiri tidak mempunyai kewenangan khususnya dalam pencatatan atas perubahan data yuridis yang sudah tercatat sebelumnya, catatan saya = singkatnya BPN tidak mempunyai kewenangan untuk membuat akta otentik, BPN hanya berwenang untuk melakukan pencatatan pendaftarannya ); oleh karena itu istilah yang tepat untuk memformulasikan hubunganantara PPAT dan BPN adalah kata MITRA bukan Pembantu. PPAT bukanlah hamba dari BPN dan BPN bukanlah majikan dari PPAT ! ( Catatan saya = Jika masih ada pemikiran seperti ini, sudah selayaknya pemikiran ala orde baru ini direformasi ! )

Khusus mengenai pembahasan tentang Daerah Kerja ( wilayah jabatan ) penulis mengajak pembaca untuk berpikir secara konseptual dan kontekstual dalam memaknai arti ketentuan "Daerah kerja PPAT adalah satu wilayah kerja Kantor Pertanahan Kota/Kabupaten" yaitu dengan mengkaitkannya dengan ketentuan2 yang tercantum dalam Surat Pengangkatan PPAT dari Menteri Negara Agraria/Kepala BPN RI, dihubungkan pula dengan pasal 13 PP 37/1998 jo pasal 6 Perkaban 1/2006 (tentang Daerah Kerja PPAT), pasal 14 ayat 2 PP 37/1998 dan penjelasannya jo pasal 7 Perkaban 1 /2006 ( tentang Formasi PPAT ), pasal 20 ayat 2 PP 37/11998 jo pasal 48 ayat 2 Perkaban 1/2006 ( tentang cap/stempel jabatan PPAT), pasal 49 dan pasal 50 Perkaban 1/2006 (tentang papan nama dan kop surat PPAT, pasal 10 PP 24/19978 (tentang satuan wilayah pendaftaran tanah), maka sesungguhnya daerah kerja ( wilayah jabatan) PPAT Kota Surabaya adalah meliputi seluruh wilayah Kota Surabaya, bukan menurut wilayah kerja kantor-kantor pertanahan yang ada di Kota Surabaya.

Dalam bagian berikutnya penulis mengungkapkan bahwa kewajiban untuk memilih daerah Kerja bagi seorang PPAT yang telah menjabat di suatu daerah (Kota/Kabupaten) menurut ketentuan pasal 12 dan pasal 13 PP 37/1998 jo pasal 5 dan pasal 6 Perkaban 1/2006 hanya terjadi apabila Kota/kabupaten tersebut dipecah/dimekarkan menjadi dua atau lebih, dimana PPAT harus memilih adalah jangka waktu maksimal 1 tahun sejak diundangkannya UU tentang pembentukan Kota/Kabupaten yang baru tersebut. Apabila dalam waktu yang telah ditentukan tersebut PPAT tidak memilih, maka demi hukum daerah kerjanya hanya meliputi wilayah Kota/kabupaten di tempat kantornya terletak.

Bagaimana kalau yang dimekarkan/dipecah adalah Kantor Pertanahannya ?
Jawabannya sebenarnya sangat sederhana : Daerah kerja PPAT sehubungan dengan terjadinya pemecahan Kantor Pertanahan belum atau sengaja tidak diatur. Kesengajaan ini sangat wajar, oleh karena memang Daerah kerja PPAT memang dari semula dimaksudkan meliputi seluruh wilayah Kota/ Kabupaten.
Oleh karena itu tindakan menganalogikan atau menyamakan pemecahan kantor Pertanahan dengan pemecahan Kota/Kabupaten yang pada akhirnya menimbulkan dampak bagi PPAT yang telah ada untuk memilih salah satu wilayah kerja Kantor Pertanahan sebagai daerah kerjanya merupakan tindakan yang sangat tidak tepat dan membahayakan.
Dikatakan sebagai tindakan yang sesat atau membahayakan, oleh karena dapat menimbulkan berbagai macam akibat hukum antara lain :

  1. sejak tgl 6 Maret 2010 ( yaitu 1 tahun sejak berlakunya Perkaban no 9/2009 ttg Pemekaran kantor Pertanahan Kota Surabaya ), demi hukum seharusnya semua PPAT di Kota Surabaya harus menjalankan jabatannya dengan wilayah jabatan (daerah kerja) sesuai letak kantornya berada di wilayah kerja kantor Pertanahan Surabaya I atau Surabaya II, maka terhitung sejak tanggal 6 maret 2010 sampai saat ini seluruh akta yang dibuat diluar wilayah kerjanya tersebut menjadi cacad atau batal, apabila otentisitas akta merupakan syarat keberadaan atas suatu perbuatan hukum ( misal : hak tanggungan), maka hak tersebut tidak pernah ada, oleh akrena aktanya cacad ( Catatan saya = Betapa luar biasanya potensi kerugian yang diderita Bank-bank apabila mereka hanya menjadi Kreditur Konkuren ).
  2. terjadinya banyak pelanggaran dalam pelaksanaan tugas jabatan PPAT ( misalnya penanda tanganan akta diluar wilayah jabatannya, adanya keberadaan kantor PPAT disamping kantor notaris ) ( catatan saya: Alasan BPN agar di adakan pemilihan daerah kerja bagi PPAT Kota Surabaya yang telah ada adalah demi efektifitas dan efisiensi pembinaan dan pengawasan terhadap PPAT oleh BPN; menurut saya justru hal ini akan semakin tidak efektif dan efisien, karena banyaknya pelanggaran yang dilakukan oleh PPAT dan sebagai Pembina BPN akan menerima getahnya )
Terhadap silang sengkarut ini penulis memberikan alternatif solusi, antara lain :
  1. Menunda kewajiban untuk memilih daerah kerja samapai dengan adanya perubahan atas PP 37 /1998 yang mengatur tentang daerah kerja PPAT sehubungan dengan terjadinya pemekaran Kantor Pertahanan;
  2. Mematuhi isi penetapan Pengadilan Tata Usaha Negara nomor 123/G/2011/PTUN.SBY yang menunda pelaksanaan Keputusan Kantor Pertanahan Surabaya I dan Surabaya II, tanggal 7 Nopember 2011 berturut-turut nomor 2640/8-35.78/XI/2010 dan nomor 1523/2.100.35.80/XI/2010 dan Surat Kakanwil BPN Propinsi jawa Timur tanggal 22 Nopember 2011, nomor 2011/11-35-300/XI/2011 selalam pemeriksaan sengketa Tata usaha Negara berjalamn sampai dengan adanya Putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap;
  3. Kepala BPN mengeluarkan surat baru yang berisi atau menyatakan bahwa Surat tertanggal 12 Agustus 2011 nomor 3002/17.3/VIII/2011 perihal mohon petunjuk daerah kerja PPAT di Kota Surabaya tidak mempunyai akibat hukum dan tidak perlu ditindaklanjuti;
  4. Memberikan pelayanan kepada PPAT yang tidak dapat memilih daerah kerja seperti sebelum tanggal 24 Nopember 2011;
  5. BPN dan PPAT yang tidak dapat memilih mengadakan pertemuan untuk mencari solusi lain yang benar dan berdasarkan hukum.
Penulis menutupnya dengan pesan agar masing-masing pihak berkenan untuk melepaskan keangkuhan masing-masing, agar penyelesaian yang baik, benar, beradap dan berdasarkan hukum akan segera tercapai.

Sedangkan saya pribadi memberikan alternatif solusi sebagai berikut :

Hiruk pikuk permasalahan yang terjadi antara PPAT Surabaya dengan BPN RI akan berlarut-larut jika pemegang kekuasaan dalam hal ini BPN RI tetap pada prinsipnya yaitu wilayah kerja PPAT harus dibagi sesuai wilayah kerja Kantor Pertanahan Kota/Kabupaten.
Khusus untuk Surabaya harus diperlakukan istemewa/berbeda dengan Kota/Kabupaten lain, oleh karena hanya di Kota Surabaya yang terdapat 2 Kantor Pertanahan yang setingkat ( dengan 2 Kepala Kantor ) yaitu berdasarkan Peraturan Kepala BPN RI No.9 tahun 2009 tgl 6 Maret 2009.
Oleh karena istemewa sudah seharusnya BPN RI juga memperlakukannya secara istemewa dan berbeda mengenai prosedure pelayanan masyarakat, maupun pembinaan PPAT yang ada di Kota Surabaya.

Saran solusi :

Mengenai Prosedure Pembinaan / Penyumpahan / Pengawasan/ dll oleh Kantor Pertanahan kepada PPAT :
Prinsip : Setiap PPAT yang hendak diangkat atau telah diangkat harus memiliki satu kantor (pasal 20 PP 37/1998)

Prosedure Pembinaan PPAT lama di kota Surabaya :
Tergantung letak kantor PPAT yang bersangkutan menentukan dia wajib tunduk kepada pembinaan yang dilakukan oleh Kantor Pertanahan yang wilayah kerjanya meliputi letak kantor PPAT ybs.

Prosedure Pembinaan, pengangkatan sumpah bagi PPAT baru di Kota Surabya :
Tergantung letak kantor calon PPAT ( dalam persyaratan pengajuan pengangkatan PPAT selalu disyaratkan letak dan alamat kantor yang bersangkutan ) wajib mengajukan sumpah sekaligus pernyataan tunduk pada pembinaaan pada Kantor Pertanahan yang wilayah kerjanya meliputi letak kantor calon PPAT ybs.

Khusus mengenai wilayah kerja PPAT :
Alternatif 1 :
Bagi PPAT lama yang tidak ikut memilih pada tanggal 24 Nopember 2011, maka wilayah kerjanya adalah ssesuai dengan Surat Keputusan Pengangkatannya seperti semula ( tidak ada perubahan apapun bagi 245 PPAT Surabaya )
Bagi PPAT yang baru dan PPAT yang memilih pada tanggal 24 Nopember 2011, maka wilayahnya sesuai dengan Surat Keputusan yang dikeluarkan oleh BPN RI ( tidak ada perubahan SK ), semua pihak happy :)
Yang memilih kan seusai dengan keinginannya sendiri, jadi pasti tidak merasa dirugikan !

Alternatif 2 :
Mengenai wilayah kerja PPAT Kota Surabaya agar dibuatkan Surat Keputusan yang menyeluruh bahwa wilayah kerja seluruh PPAT di Kota Surabaya adalah sesuai dengan wilayah Kota Surabaya sampai adanya pemekaran Kota Surabaya, ( sesuai pasal 13 ayat 1 dan 2 PP 37/1998 ), dengan demikian baik PPAT yang baru maupun PPAT yang terlanjur memilih dan PPAT yang tidak memilih wilayah kerjanya semuanya sama yaitu wilayah Kota Surabaya ( yang diuntungkan adalah PPAT Baru dan PPAT yang memilih )

Saya pribadi mengusulkan alternatif 1 semua pihak bahagia dengan pilihannya sendiri, pihak BPN RI tidak perlu repot-repot mengganti Surat Keputusan dan semua permasalahan yang ada dapat terselesaikan dengan baik tanpa ada pihak yang disakiti/didholimi/ditindas/dilecehkan/dipermalukan...

Sekedar urun rembug pribadi
Jusuf Patrick
PPAT wilayah Kota Surabaya

Baca selanjutnya...

25 November 2011

PERNYATAAN SIKAP PPAT SURABAYA

RINGKASAN PERNYATAAN SIKAP
Tanggal 10 Nopember 2011

Para PPAT di Kota Surabaya menyatakan sikap sebagai berikut :
1. Mendukung pemekaran Kantor Pertanahan Kota Surabaya yang diatur dalam PERKABAN No.16/2010.
2. Berkeberatan terhadap pengaturan daerah kerja PPAT di Kota Surabaya yang tercantum dalam surat-surat Kepala BPN No :3002/17.3/VIII/2011 jo. Surat Kakanwil BPN Propinsi Jawa Timur No :1859/11-35/X/2011jo Surat Kakanta Kota Surabaya I No :2640/8-35-78/XI/2011, dengan pertimbangan :
a. Akibat hukum terhadap daerah kerja PPAT sehubungan dengan pemekaran Kantor Pertanahan belum diatur dengan tegas dalam Peraturan Jabatan PPAT ( PP no.37/1998 maupun dalam Perkaban 1/2006);
b. Pengaturan dalam Surat-surat di atas yang mengacu pada peraturan daerah kerja PPAT sehubungan dengan terjadinya pemekaran kota/kabupaten yang tercantum dalam pasal 13 PP No.37/1998 juncto pasal 6 Perkaban No.1/2006 adalah kurang tepat dan sangat berbahaya, berhubung terhitung sejak tanggal 6 Maret 2010 (satu tahun sejak ditetapkan dan mulai berlakunya Perkaban no.9/2009), PPAT di Kota Surabaya yang berkantor di wilayah kerja Kanta Kota Surabaya I sudah tidak mempunyai wewenang untuk emmbuat akta atas bidang-bidang tanah yang terletak di wilayah kerja Kanta Kota Surabaya II, demikian pula sebaliknya, sehingga akta mengenai bidang-bidang tanah termaksud yang dibuat dihadapannya menajdi batal demi hukum, yang pada akhirnya sangat merugikan kepentingan negara dan masyarakat;
c. berdasarkan ketentuan yang tercantum dalam :
1. PP No.37/1998 pasal-pasal 13,14 ayat (2) berikut penjelasannya, 15, 20 ayat (1) jo.
2. Perkaban No.1/2006 pasal-pasal 6, 7, 32, 46 dan 4, serta
3. PP No.24/1997 pasal 10
dapat disimpulkan bahwa Daerah Kerja PPAT meliputi wilayah Kabupaten atau Kota, termasuk di dalamnya dalam hal terjadi penggabungan beberapa daerah atau bagian daerah yang bersanding, vide pasal 4 ayat (3) UU No.32 tahun 2004.
Lebih dari itu, dari asas pembentukan maupun materi muatan Peraturan Perundang-undangan yang baik, antara lain asas : kedayagunaan dan kehasilgunaan, kejelasan rumusan, ketertiban dan kepastian hukum, maka Daerah Kerja atau wilayah jabatan PPAT adalah suatu wilayah Kabupaten atau Kota.
Pada akhirnya, demi mencegah terjadinya akibat hukum yang sangat merugikan, para PPAT di Kota Surabaya yang menyetujui pernyataan sikap ini "TIDAK DAPAT MEMILIH" Daerah Kerja sebagaimana dimaksudkan dalam surat-surat di atas.

Sie Publikasi IPPAT Surabaya

Baca selanjutnya...