21 September 2008

Nilai kemutlakan Subyek Hukum dalam suatu Perjanjian

Beberapa waktu yang lalu penulis telah mewacanakan tentang pengusaha property sebagai komisioner dalam pembuatan akta pengikatan jual beli di hadapan Notaris, guna mencapai win-win solution bagi para pihak yang terkait dalam transaksi jual beli property, pihak Instansi Pajak dan pihak instansi BPN/Kantor Pertanahan.
Di dalam artikel tersebut penulis juga telah memunculkan suatu ide bagi suatu penelitian ilmiah mengenai nilai kemutlakan dari keberadaan subyek hukum dalam suatu perjanjian yang dibuat oleh seorang komisioner.

Nah pada kesempatan ini penulis akan membahas lebih dalam tentang subyek hukum dalam suatu perjanjian atau dapat juga disebut pihak-pihak dalam perjanjian.
Aturan mengenai subyek perjanjian terdapat dalam pasal 1315, 1317, 1318 dan pasal 1340 KUHPdt.
KUHPdt membedakan 3 golongan subyek perjanjian ( pihak-pihak yang terikat dengan diadakannya suatu perjanjian ) yaitu :
- para pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri;
- para ahli waris dan mereka yang mendapat hak dari padanya;
- pihak ketiga.

Pasal 1315 KUHPdt : ”Pada umumnya tak seorang dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji dari pada untuk dirinya sendiri.”
Paal 1340 ayat 1 KUHPdt : ”Persetujuan-persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya.”
Ketentuan-ketentuan di atas dikenal sebagai asas pribadi. Asas ini tidak bersifat mutlak, namun dapat dkecualikan atau bahkan pasal 1318 KUHPdt disebutkan bahwa : ”Jika seorang minta diperjanjikan sesuatu hal, maka dianggap itu adalah untuk ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak daripadanya, kecuali jika dengan tegas ditetapkan atau dapat disimpulkan dari sifat persetujuan tidak sedemikian maksudnya.”
Jadi menurut penulis lebih tepat digunakan istilah asas pribadi generatif ( karena demi hukum segala hak dan kewajiban seseorang beralih kepada generasi ahli waris/penerima hak darinya ).
Asas pribadi generatif ini dapat disimpangi dengan memberikan manfaat kepada pihak ketiga, menjadikan pihak ketiga terikat dalam suatu perjanjian yang dibuat antara krediur dan debitur, sebagaimana ditetapkan dalam pasal 1317 KUHPdt : ” Lagipun diperbolehkan juga untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna kepentingan seorang pihak ketiga, apabila suatu penetapan janji, yang dibuat oleh seorang untuk dirinya sendiri, atau suatu pemberian yang dilakukannya kepada orang lain, memuat janji yang seperti itu.”
Ini sering disebut sebagai janji pihak ketiga (beding ten behoeve van derden atau disingkat derden beding).
Rekan saya Dr. Herlien Budiono, SH membahas hal ini dalam bukunya Kumpulan Tulisan Hukum Perdata di Bidang Kenotariatan ( PT Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008 ), dengan menitik beratkan pembahasan dan analisa tentang derdenbeding dan kettingbeding/ beding berantai. Rekan Herlien membahas dari segi hak kebendaan dan hak perorangan dari suatu pelaksanaan perjanjian terhadap pihak ketiga.

Kembali kepada pokok persoalan komisioner, apakah keberadaan pembeli yang sesungguhnya dari perjanjian pengikatan jual beli yang dibuat antara pihak penjual dan pihak komisioner, mutlak harus ada lebih dahulu sebelum dibuatnya perjanjian ikatan jual beli tersebut?
Mengenai hal ini Hartono Soeryopartiknyo seorang empu Notaris di Yogyakarta dalam bukunya Aneka Perjanjian Jual Beli (Andi Offset, 1982 : 10 ) menyebutkan perjanjian jual beli untuk orang yang kemudian baru akan disebut ( koop voor nader te noemen meester) sebagai suatu perjanjian jual beli yang semakin jarang terjadi. Dimana dalam perjanjian ikatan jual beli tersebut pembeli meminta hak untuk menunjuk orang lain yang akan mempunyai hak dan kewajibannya. Menurutnya tidak ada pasal Undang-undang yang mengatur perjanjian ini tapi mungkin itu dianggap diatur dalam pasal 63 WvK mengenai pedagang perantara.
Sehingga beliau membedakan 2 bentuk jual beli tersebut yaitu : jual beli untuk pemberi perintah yang masih akan disebut dan jual beli untuk dirinya sendiri atau untuk orang yang masih akan disebut. Jelas dalam uraian ini beliau hanya bertumpu pada keberadaan makelar/broker ( orang yang mendapat perintah/ pemegang perintah/lasthebber), bukan bertumpu pada keberadaan Komisioner ( yang terikat dalam suatu perjanjian untuk dirinya sendiri ).
Dengan demikian Komisioner pada saat membuat perjanjian ikatan jual beli dengan pihak Penjual tidak perlu menyebutkan dengan pihak siapa ia berbuat.
Dalam pasal 77 KUHD disebutkan bahwa Komisioner tidak diwajibkan memberitahukan kepada orang dengan siapa ia berbuat, tentang nama orang untuk tanggungan siapa ia melakukan perbuatan itu. Komisioner langsung terikat kepada pihak lain dalam perjanjian itu, seakan-akan itu urusannya sendiri.
Oleh karena itu Pihak yang dengan siapa komisioner berbuat dan pihak pemberi komisi tidak dapat saling menuntut. (pasal 78).

Dari uraian dan analisa di atas maka penulis berkesimpulan bahwa keberadaan pihak ketiga tidak mutlak harus ada pada waktu perjanjian dibuat antara pihak kreditur dan pihak debitur ( penjual dan ”pembeli”/komisioner), hal ini semata-mata tergantung pada niatan atau kehendak komisioner. Jika ”pembeli” dari semula tidak berniat untuk membelinya bagi dirinya sendiri, maka pihak ketiga yang akan menjadi pembeli sebenarnya tidak mutlak harus ada saat itu.

Berkaitan dengan keberadaan suatu niat/kehendak, perlu dipertanyakan Apakah pengusaha property dalam melakukan pembelian atas suatu property mempunyai niatan/kehendak untuk memiliki property tersebut untuk dirinya sendiri ?
Penulis yakin bahwa pengusaha property adalah orang yang melakukan suatu usaha secara berkesinambungan dalam bidang membeli property untuk kemudian dijual kepada orang lain (Catatan : tanpa adanya kehendak/niat memiliki untuk diri sendiri) baik atas tanggungan sendiri maupun sesuai pesanan dan untuk tanggungan dari pihak lain dengan mendapatkan komisi atau provisi.
Tidak berlebihan jika penulis mengatakan pengusaha property adalah suatu profesi yang menjalankan sebuah usaha Komisioner.

Hal berikutnya berkaitan dengan pekerjaan seorang Notaris yaitu mengenai pembuatan Akta Ikatan Jual Beli, muncul pertanyaan apakah sebaiknya status pengusaha property yang menjalankan usaha Komisioner dicantumkan dalam komparisi atau dalam premisse akta ?
Mengingat Komisioner dalam suatu perjanjian bertindak untuk diri sendiri, maka menurut hemat penulis pada bagian Komparisi sebaiknya hanya dicantumkan identitas pengusaha property saja; namun dalam bagian Premisse Akta dapat dicantumkan bahwa Pihak pengusaha property adalah pihak yang berusaha sebagai Komisioner yang melakukan kegiatan jual beli property dan bahwa pihak pengusaha property sebagai Komisioner mempunyai kehendak untuk kelak mengalihkan property yang dibelinya dalam akta ini kepada pihak lain.

Selain itu dalam Tubuh akta / isi akta di salah satu klausula pemberian kuasa dapat pula dicantumkan kata2 : Dan pihak pertama ( penjual ) memberikan kuasa kepada Pihak Kedua dan/atau pihak lain yang ditunjuk oleh Pihak Kedua….dan seterusnya. Dengan adanya kata-kata ini kelak akta kuasa yang diberikan oleh Pihak Pertama dapat digunakan oleh Pihak lain ( pembeli sesungguhnya ).
Catatan : jangan kuatir soal ketentuan dalam pasal 1470 KUHPdt, itu aturan yang bukan bersifat dwingend recht, masalah/persoalan “selbsteintritt” ( baca selb stein tritt ) tersebut adalah tergantung apakah kepentingan pemberi kuasa (penjual dalam hal ini) dapat dirugikan dan hal itu tidak ada gunanya untuk dibahas apabila dalam perjanjian pokoknya sudah ditegaskan seperti yang penulis contohkan di atas.
Semoga tulisan ini memberikan terobosan bagi rekan-rekan Notaris yang saat ini kebingungan dalam menangani pembuatan Akta Pengikatan Jual Beli dan Kuasa Jual.

Tidak ada komentar: