18 Desember 2009

The Notary Outbond 2010



The Notary Outbond


Dengan motto : FUN and FIT Pengda INI Surabaya mengajak rekan-rekan notaris di Surabaya dan Daerah-daerah lain serta para anggota luar biasa INI ( terbatas ) untuk mengisi semangat dalam menghadapi tahun baru 2010 dengan acara kegiatan yang penuh gelak tawa, fun, energik dan inspirasional.

Acara Outbond diadakan :
Tempat : Kebun Teh Wonosari Lawang (PTPN XII)

Waktu : Sabtu, 16 Januari 2010 mulai pukul 07.00 - 15.00 WIB

Kegiatan : Senam Aerobic ( hot hot hot... )
Hiking ( Mengitari kebun Teh )
Games ( team work ), Rintangan ( Fun abis deh )
Seminar Sex Stress/Kesehatan ( Pembicaranya top abis... )
Hiburan Band Notarius ( lomba Vocal Group )

Syarat peserta : Bentuk group/team (10-12 orang, tidak harus dari satu Pengda;
disiapkan sebelum acara lebih baik, atau dibentuk pada saat acara juga
okey)
Siapkan Yel-Yel dan nama group ( nama binatang )

Kontribusi : Rp.150.000,- ( sudah termasuk Kaos, jajanan pagi, snack, makan siang )
( kalau ada yang mau nyumbang lebih Panitia dengan senang hati
menerimanya..:)

Hadiah : Group terkompak ( Pemenang 1, 2, 3 )
Group Favorite ( 1 Pemenang )
Group terhebooh (1 Pemenang )
Vocal Group terbaik ( Pemenang 1, 2, 3 )
Lucky draw

Pendaftaran : rekan Mamik Jatmiko ( 0811327044 ), Anggraini Neny ( 0811337475 ),
Vonny ( 0818314103 )
rekan Wina Ustriani ( 0818374547 )
rekan Dwi Rosuliati ( 08123275342 ), Grace ( 0811374255 )
rekan Etty Soestiherawati ( 08155185508 )
rekan Dotty ( 0811379273 )
rekan Itta Andrijani ( 08125266770 )

Transportasi : disarankan membawa mobil sendiri ( berangkat rombongan ), panitia
menyediakan Bus jika peminat mencukupi ( syarat daftar 1 minggu \
sebelumnya )

Penginapan : Bagi peserta yang hendak menginap pada H-1, panitia akan membantu
booking tempat (villa-villa di sekitar lokasi)

Buruan daftar rekan-rekan...rugi banget deh kalau kelewatan acara heboh di awal tahun ini... ayo kita recharge semangat kebersamaan sambil berguyub ria !

Salam
Panpel The Notary Outbond

Baca selanjutnya...

06 April 2009

Prinsip sifat mengikatnya suatu Perjanjian/Kontrak
dalam hal terjadi Perubahan Keadaan
menurut
Klausula Rebus sic stantibus (Hukum Kanoniek), Klausula
Kepatutan (KUHPdt)dan Klausula Hardship (UNIDROIT)

Tidaklah afdol jika kita membahas Hukum Kontrak apabila tidak dimulai dari pembahasan mengenai asas kebebasan berkontrak ( contracs vrijheid atau party autonomie ); yang merupakan tiang pokok bangunan Hukum Perdata dibidang Hukum Perikatan.

Dan asas ini dapat disimpulkan dari pasal 1338 KUHPdt yang jika kita analisa terdiri dari 3 asas utama yaitu Asas konsensualisme ( terjadinya perjanjian cukup dengan adanya persetujuan kehendak para pihak), Asas kekuatan mengikat dari perjanjian ( perjanjian berlaku sebagai Undang-Undang bagi mereka yang membuatnya ) dan Asas kebebasan berkontrak ( para pihak bebas menentukan isi, luas dan bentuk perjanjian.

Dalam perjalanan waktu terhadap asas kebebasan berkontrak ini dipandang perlu untuk diadakan pembatasan terhadap batas-batas kebebasannya; oleh karena manusia disamping sebagai mahluk individu, dia merupakan mahluk sosial dan keberadaan hukum tidak hanya untuk melindungi kepentingan individu namun juga kepentingan masyarakat.

Dalam artikel ini penulis akan mengulas mengenai sifat mengikat suatu perjanjian dalam rangka pelaksanaan perjanjian apabila terjadi suatu perubahan keadaan. Suatu perubahan keadaan yang menyebabkan debitur berada dalam kesulitan untuk memenuhi prestasi yang diwajibkan dalam perjanjian yang dibuatnya, dan hal tersebut bukanlah suatu keadaan memaksa ( overmacht/force majeure ).

Agar lebih memudahkan pembahasan selanjutnya, maka terlebih dahulu penulis memberikan sedikit gambaran perbedaan antara Keadaan Memaksa ( Force majeure ) dan Perubahan Keadaan.

Pada Keadaan Memaksa keadaan yang berubah itu membuat tidak mungkinnya atau terhalangnya pemenuhan prestasi; sedangkan pada Perubahan Keadaan, berubahnya keadaan menimbulkan keberatan untuk memenuhi perjanjian, karena apabila itu dipenuhi, maka salah satu pihak akan menderita kerugian.

Dan apabila dianalisa lebih lanjut maka pada Keadaan Memaksa pemenuhan prestasi oleh debitur praktis menimbulkan keberatan, sebaliknya pada Perubahan Keadaan, pemenuhan prestasi dari debitur adalah sangat berat dilaksanakan.
Dari analisa tersebut dapat disimpulkan bahwa dam keadaan memaksa titik beratnya terletak pada posisi debitur yaitu debitur terhalang untuk memenuhi prestasi; sedangkan dalam prubahan keadaan titik beratnya terletak pada posisi kreditur apakah pihak kreditur berdasarkan itikad baik dan kepatutan dapat menuntut pemenuhan prestasi dari debitur.

Semenjak abad petengahan pihak dalam perjanjian tidak mau dirugikan oleh terjadinya suatu keadaan yang terjadi setelah dibuatnya perjanjian, sehingga pihak tersebut berlindung pada janji gugur secara diam-diam yang disebut sebagai klausula Rebus sic stantibus.
Klausula ini menyatakan bahwa perjanjian dianggap berlaku secara tetap selama keadaan tidak berubah dan kalau keadaan berubah maka perjanjian menjadi gugur.

Jadi dalam klausula ini tidak dibedakan apakah ketidak-dapatan pemenuhan prestasi diakibatkan oleh keadaan memaksa atau sekedar perubahan keadaan; sehingga di masa itu pihak debitur begitu mengalami suatu perubahan keadaan dapat berlindung pada janji gugur; ini berarti perjanjian menjadi batal demi hukum dengan adanya perubahan keadaan.

Dalam perkembangannya Klausula Rebus sic Stantibus mulai ditinggalkan dan masyarakat mulai membedakan antara keadaan memaksa dan perubahan keadaan, sehingga dalam pasal 1245 KUHPdt sebagai suatu alasan pembenar ( rechtvaardigingsgrond) bagi Debitur untuk tidak melaksanakan kewajibannya/prestasinya, dengan alasan bahwa akan bertentangan dengan kepatutan jika debitur dalam keadaan seperti itu tetap diwajibkan memenuhi prestasinya yang sebenarnya tidak dapat ia laksanakan.

Namun sejak tahun 1915 keputusan-keputusan Hakim sudah mulai meninggalkan force majuere / overmacht untuk menyelesaikan hal-hal mengenai perubahan keadaan dan telah mempergunakan pasal 1338 ayat 3 KUHPdt sebagai pedoman.

Hal ini dipelopori oleh Levebach dengan teorinya “economies synallagma” yang artinya harus adanya keseimbangan antara kedua belah pihak dalam pengertian ekonominya, jadi antara prestasi dan kontra prestasi secara timbal balik adalah seimbang nilainya dan apabila terjadi ketegangan yang secara obyektif merugikan atau menguntungkan salah satu pihak, hal ini merupakan resiko yang harus dipikulnya. Sehingga dengan demikian dalam hal terjadi perubahan keadaan perlulah diperhatikan pembagian resiko antara para pihak terhadap suatu
kerugian.

Perkembangan di Indonesia terlihat dalam Putusan Mahkamah Agung tanggal 27 April 1955 mengenai Sengketa Kebon Kopi, yang singkatnya berbunyi : Adalah pantas dan sesuai dengan rasa keadilan, apabila dalam hal menggadai tanah kedua belah pihak masing-masing memikul separo dari risiko kemungkinan perubahan harga nilai uang rupiah, diukur dari perbedaan harga emas pada waktu menggadaikan dan waktu menebus tanah itu.
Jadi menurut Yurisprudensi di Indonesia resiko atas perubahan keadaan sesuai dengan rasa keadilan dan kepantasan ( kepatutan) adalah dibagi dua.

Selanjutnya perkembangan dunia komersial pada abad 21 ini membawa perubahan pula terhadap aturan-aturan mnegnai sifat mengikatnya suatu perjanjian dalam rangka pelaksanaan perjanjian apabila terjadi perubahan keadaan telah diatur secara tersendiri diluar ketentuan tentang Keadaan Memaksa (Force Majeure) sebagaimana terlihat dalam Prinsip-prinsip Kontrak Komersial Internasional UNIDROIT.

Dalam Bab Pelaksanaan Kontrak pasal 6.2.1 Unidroit diatur bahwa apabila pelaksanaan kontrak menjadi lebih berat bagi salah satu pihak ( becomes more onerous for one of the parties), pihak tersebut bagaimanapun juga terikat melaksanakan perikatannya (that party is nevertheless bound to perform its obligations) dengan tunduk pada ketentuan tentang kesulitan.
Ketentuan pasal ini adalah untuk menghormati ketentuan pasal 1.3 mengenai prinsip umum sifat mengikat suatu kontrak ( A contract validity entered into is binding upon the parties…), namun ketentuan sifat mengikatnya suatu kontrak dalam UNIDROIT juga tidak bersifat mutlak, yaitu apabila ada perubahan fundamental atas keseimbangan dari kontrak, keadaan itu merupakan situasi yang dikecualikan dan merupakan prinsip-prinsip yang diatur dalam Klausula Hardship ( Klausula Kesulitan).

Definisi Kesulitan (Hardship) adalah peristiwa yang secara fundamental telah mengubah kesimbangan kontrak. Hal ini diakibatkan oleh biaya pelaksanaan kontrak meningkat sangat tinggi atau nilai pelaksanaan kontrak bagi pihak yang menerima sangat menurun, sementara itu :

  1. peristiwa itu terjadi atau diketahui oleh pihak yang dirugikan setelah penutupan konrak;

  2. peristiwa tidak dapat diperkirakan secara semestinya oleh pihak yang dirugikan pada saat penutupan kontrak;

  3. peristiwa terjadi diluar kontrol dari pihak yang dirugikan;

  4. resiko dari peristiwa itu tidak diperkirakan oleh pihak yang dirugikan.

Menurut prinsip hukum modern adanya perubahan keadaan tidak mempengaruhi kewajiban pelaksanaan kontrak ( lihat Pasal 6.2.1 UNIDROIT ). Oleh karena itu adanya kesulitan (hardship) tidak dapat dijadikan alasan pembatalan kontrak, kecuali perubahan itu bersifat fundamental.
C
atatan penulis : kategori suatu perubahan disebut perubahan biasa atau sebagai suatu perubahan fundamental; harus ditafsirkan secara kasus per kasus, oleh karena UNIDROIT sendiri hanya mengatur indikator suatu perubahan yang bersifat fundamental yaitu adanya kenaikan ongkos pelaksanaan kontrak dan menurunnya nilai pelaksanaan kontrak.

Akibat hukum apabila terjadi Kesulitan (Hardship), maka sesuai pasal 6.2.3 :

  1. Pihak yang dirugikan berhak untuk meminta renegosiasi kontrak kepada pihak lain. Permintaan tersebut harus segera diajukan dengan menunjukkan dasar-dasarnya.

  2. Permintaan renegosiasi tidak dengan sendirinya memberikan hak kepada pihak yang dirugikan untuk menghentikan pelaksanaan kontrak.

  3. Apabila para pihak gagal mencapai kesepakatan dalam jangka waktu yang wajar, masing-masing pihak dapat mengajukannya ke Pengadilan.

  4. Apabila pengadilan membuktikan adanya kesulitan ( hardship) maka pengadilan dapat memutuskan untuk :
    - mengakhiri kontrak pada tanggal dan atas syarat-syarat yang ditetapkan secara
    pasti ( terminate a contract at a date and on terms to be fixed);
    - mengubah kontrak untuk mengembalikan keseimbangannya.

Kesimpulan :
Sesuai perkembangan jaman maka isi formil dari perjanjian sering harus menyisih demi kepantasan dan kepatutan.
Perubahan Keadaan tidak dapat dijadikan alasan untuk membatalkan perjanjian, kecuali terjadi perubahan itu bersifat fundamental dan oleh karena itu telah masuk ke dalam ranah Keadaan Memaksa ( Force Majeure).

Saran :
Para notaris harus memulai memikirkan perbedaan-perbedaan perubahan keadaan dalam pelaksanaan suatu perjanjian; sudah waktunya untuk menuangkan klausula Kesulitan ( Hardship Clause ) disamping klausula Force Majeure dalam setiap akta mengenai perbuatan hukum kontrak yang dibuatnya ( maksudnya suatu perjanjian yang pelaksanaannya mempunyai jangka waktu tertentu/ perjanjian berjangka waktu, misalnya : Perjanjian Kerja Sama,
Perjanjian Pemborongan, Perjanjian Pembangunan, Perjanjian Sewa Menyewa, Perjanjian/ Kontrak Suplai, dll ).
Contoh kasus yang sederhana misalnya perlu dibedakan perubahan harga oleh karena terjadinya fluktuasi kurs antara mata uang Rupiah dengan mata uang asing, dalam kasus ini bukan termasuk klausula Keadaan Memaksa ( Force Majeure) namun masih dalam taraf Klausula Hardship, sehingga Debitur tetap wajib melaksanakan kewajibannya. Keadaan seperti ini dapat kita tegaskan dalam akta mengenai tolok ukur / kriteria kapan fluktuasi kurs dapat
dikategorikan sebagai Keadaan Kesulitan atau kapan sebagai Keadaan Memaksa, misalnya dengan menentukan para pihak wajib menyesuaikan harga apabila fluktuasi kurs telah mencapai lebih dari 50 % dari kurs semula sejak di tanda tanganinya akta, dengan kewajiban masing-masing pihak menanggung sebagian sama besarnya terhadap selisih kurs tersebut, ....dst dst.
Sudah waktunya untuk memperhatikan unsur kepantasan dan kepatutan dalam Akta Otentik yang dibuat dihadapan Notaris; yang oleh karena itu Pihak Notaris sebagai pihak yang mengkonstatir kehendak para pihak ke dalam akta sudah selayaknya memberikan masukan dan pertimbangan kepada para pihak mengenai pelaksanaan perjanjian dalam hal terjadi perubahan keadaan sebagaimana diuraikan di atas.

Sby060409
Salam sejahtera
Jusuf Patrick

Baca selanjutnya...

02 Maret 2009

Prinsip Kontrak Komersial International UNIDROIT

CULPA IN CONTRAHENDO / PARS PRO TOTO
(TANGGUNG JAWAB HUKUM PRAKONTRAKTUAL)
DALAM PRINSIP HUKUM UNIDROIT


Menarik sekali mengamati penggunaan istilah oleh rekan saya Bpk. Miftachul Machsun pada pertemuan berkala yang diselenggarakan oleh Pengurus INI dan IPPAT Daerah Surabaya beberapa waktu yang lalu dengan tema Ikatan Jual Beli.
Dalam makalahnya beliau menyebutkan bahwa : “Ikatan Jual Beli merupakan Perjanjian Pendahuluan ( Pactum de Contrahendo ) untuk melakukan jual beli, yaitu untuk mempersiapkan hubungan hukum Jual Beli yang merupakan tujuan pokok diadakannya perjanjian pendahuluan ini.”
Terlepas dari setuju atau tidak setuju atas pemakaian istilah tersebut, pada kesempatan ini saya akan membahas mengenai tindakan prakontraktual yang menimbulkan hak gugat yang di Jerman disebut dengan istilah “culpa in contrahendo” atau secara international lebih dikenal sebagai “Tanggung Jawab Hukum Prakontraktual” dalam praktek.
Dalam KUHPerdata hanya disebutkan bahwa suatu persetujuan adalah perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih ( pasal 1313 KUHPdt). Definisi ini oleh J Satrio dan Purwahid Patrik dianggap mempunyai banyak kelemahan antara lain oleh karena :
- hanya menyangkut perjanjian sepihak saja;
- kata perbuatan terlalu luas karena dapat merupakan perbuatan tanpa kesepakatan, perbuatan melawan hukum dan perbuatan bukan perbuatan hukum
Dan jika kita amati lebih lanjut maka dapatlah kita simpulkan bahwa KUHPdt sama sekali tidak memperhatikan proses terjadinya kontrak/perjanjian. Padahal dalam prakteknya suatu kontrak/perjanjian dapat terjadi apabila didahului dengan adanya kesepakatan dan itu diperoleh melalui proses negosiasi ( bisa memakan waktu dan biaya yang bervariasi ).
KUHPdt hanya mengatur prinsip itikad baik (good faith) pada saat pelaksanaan kontrak; padahal sebenarnya dalam tahap negosiasi itupun sudah timbul hak dan kewajiban yang harus dipatuhi oleh para pihak demi menegakkan prinsip itikad baik dan transaksi wajar/jujur ( good faith dan fair dealing).
Perlu kita pahami bahwa mekanisme terjadinya kontrak dalam dunia bisnis/komersial selalu didahului oleh tahap negosiasi dimana masing-masing pihak mengajukan letter of intent yang memuat keinginan masing-masing pihak untuk membuat suatu kontrak. Selanjutnya setelah ada kesepahaman atas kehendak untuk mengadakan kontrak tersebut, maka para pihak akan membuat ”Memorandum of Understanding” ( MOU) yang memuat keinginan masing-masing pihak sekaligus adanya tenggang waktu pencapaian kesepakatan untuk terjadinya kontrak. Proses inilah yang disebut sebagai proses Prakontrak.
Dalam tahap prakontrak ini masing-masing pihak harus menegakkan prinsip itikad baik, yang oleh karena itu jika salah satu pihak beritikad buruk, maka haruslah disediakan sarana hukum berupa hak gugat dan hak untuk menuntut ganti rugi dalam tahap prakontrak.
Dalam hal ini timbul banyak masalah hukum yang harus kita renungkan lebih dalam lagi bagi perkembangan Hukum Kontrak di Indonesia yaitu kapan terjadinya situasi yang disebut kondisi ”negosiasi prakontraktual”, tolok ukur penghentian negosiasi yang disebut memenuhi unsur itikad buruk sehiggga menimbulkan unsur tanggung jawab, dan lain-lain.
Sebagai pedoman marilah kita melihat prinsip-prinsip yang digunakan dalam Prinsip Kontrak Komersial International UNIDROIT ( mohon maaf dalam tulisan ini saya tidak menguraikan sejarah, latar belakang dan perkembangannya, silahkan dilihat sendiri UPICCs 1994 ).
Ada 12 prinsip hukum kontrak yang dipakai dalam UNIDROIT yaitu :

  1. Prinsip Kebebasan Berkontrak ( bebas menentukan isi dan bentuk kontrak, mengikat sebagai Undang-undang, aturan memaksa sebagai pengecualian, sifat international dan tujuan prinsip-prinsip UNIDROIT harus diperhatikan dalam penafsiran kontrak );
  2. Prinsip itikad baik ( good faith) dan transaksi wajar/jujur ( fair dealing ) ( prinsip dasar yang melandasi seluruh proses kontrak yaitu mulai dari proses negosiasi, pembuatan, pelaksanaan sampai berakhirnya kontrak (purna kontrak), ditekankan dalam praktik perdagangan international dan bersifat memaksa );
  3. Prinsip diakuinya kebiasaan transaksi bisnis di negara setempat;
  4. Prinsip Kesepakatan melalui Penawaran (Offer) dan Penerimaan ( Acceptance) atau Melalui Perilaku ( Conduct);
  5. Prinsip Larangan Bernegosiasi dengan Itikad Buruk;
  6. Prinsip Kewajiban Menjaga Kerahasiaan atas Informasi yang diperoleh pada saat Negosiasi;
  7. Prinsip Perlindungan Pihak Lemah dari Syarat-syarat Baku;
  8. Prinsip Syarat Sahnya Kontrak;
  9. Prinsip dapat dibatalkannya kontrak bila mengandung perbedaan besar ( gross disparity);
  10. Prinsip contra proferentem dalam penafsiran kontrak baku;
  11. Prinsip menghormati Kontrak ketika terjadi Kesulitan ( hardship);
  12. Prinsip pembebasan tanggung jawab dalam keadaan memaksa ( force majeur).

Dari 12 prinsip hukum kontrak ini yang relevan dalam pembahasan artikel ini adalah prinsip nomor 5 yaitu Prinsip larangan bernegosiasi dengan itikad buruk.
Pasal 2.15 UPICCs (Unidroit Principles of International Commercial Contracts) mengatur larangan tersebut sebagai berikut :

  1. A party is free to negotiate and is not liable for failure to reach an agreement.
    However, a party who negotiates or breaks off negotiations in bad faith is liable for losses to the other party.
  2. It is bad faith, in particular, for a party to enter into or continue negotiations when intending not to reach an agreement with the other party.

Jadi dalam prinsip UNIDROIT tanggung jawab hukum telah lahir sejak proses negosiasi. Dan prinsip hukum tentang negosiasi yaitu :

  1. Kebebasan negosiasi;
  2. Tanggung jawab atas negosiasi dengan itikad buruk;
  3. Tanggung jawab atas pembatalan negosiasi dengan itikad buruk.

Dalam prinsip ini kita dapat ketahui bahwa para pihak tidak hanya bebas untuk memutuskan kapan dan dengan siapa melakukan negosiasi, namun juga bebas menentukan kapan, bagaimana dan untuk berapa lama proses negosiasi dilakukan; jelas prinsip ini sesuai dengan Prinsip nomor 1 ( Pasal 1.1 ) dan tidak boleh bertentangan dengan Prinsip nomor 2 yaitu prinsip good faith dan fair dealing yang diatur dalam pasal 1.7 yang menyatakan :
"each party must act in accordance with good faith and fair dealing in international trade;
the parties may not exclude or limit this duty
."
Berdasarkan prinsip tersebut maka negosiasi tidak boleh dilakukan dengan itikad buruk dan menyimpang dari prinsip fair dealing;
Contohnya :

  • seseorang melakukan atau melanjutkan negosiasi tanpa berkeinginan mengadakan kontrak dengan maksud untuk mengalihkan perhatian lawan/saingan bisnisnya;
  • suatu pemutusan negosiasi dimana tahap perundingan sudah mencapai suatu kondisi dimana secara timbal balik para pihak telah memberikan harapan bahwa perundingan akan menjadi kontrak;
  • apabila dengan sengaja menyesatkan pihak lain mengenai isi atau syarat kontrak, baik dengan menyembunyikan fakta yang semestinya diberitahukan ataupun mengenai status pihak yang berkepentingan dalam negosiasi.

Pertanyaannya seberapa tanggung jawab pihak yang beritikad buruk tersebut ?
Tanggung jawab atas negosiasi dengan itikad buruk terbatas hanya pada kerugian yang diakibatkannya terhadap pihak lain.
Pertanyaan selanjutnya apakah pihak yang dirugikan dapat menuntut selain biaya yang dia keluarkan juga ganti rugi dan bunga seperti yang diatur dalam pasal 1243 s/d pasal 1252 KUHPdt?
Menurut penulis pihak yang dirugikan tidak dapat menuntut berdasarkan yang tertulis dalam KUHPdt, oleh karena Bab I bagian 4 Buku III KUHPdt hanya mengatur tentang Penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tidak dipenuhinya suatu perikatan; jelas disini yang ada baru negosiasi prakontrak, belum ada perikatannya.
Penuntutan hanya dapat dilakukan dengan menggunakan prinsip good faith dan fair dealing dari hukum UNIDROIT tersebut; yang dapat ditafsirkan bahwa Pihak yang dirugikan hanya dapat menuntut pengembalian atas biaya yang telah dikeluarkan dan atas kehilangan kesempatan untuk melakukan kontrak dengan pihak ketiga. Akan tetapi ia tidak dapat menuntut ganti rugi atas keuntungan yang diharapkan dari kontrak yang batal diadakan itu.
Kesimpulannya :
Proses negosasi antara para pihak walaupun belum menimbulkan kontrak / hubungan hukum antara mereka, namun telah menimbulkan tanggung jawab hukum; yaitu apabila seseorang membatalkan negosiasi tanpa alasan yang sah atau dengan kata lain seseorang telah melakukan bad faith dan/atau unfair dealing dalam proses negosiasi, maka ia dapat dituntut pertanggung jawaban secara hukum.

Baca selanjutnya...

03 Februari 2009

Dilema Sisminbakum

Pemberitahuan dari situs resmi Sistem Administrasi Badan Hukum di http://www.sisminbakum.go.id/public/archives/5#comments
Surat Pemberitahuan
February 2nd, 2009

Bersama ini kami beritahukan bahwa telah terjadi gangguan pada Sistem Administrasi Badan Hukum (SABH) sebelumnya dikenal dengan istilah sisminbakum sejak tanggal 27 November 2008. Pada tanggal tersebut seluruh peralatan yang digunakan dalam rangka Pendirian, Perubahan, Penyesuaian atau Pengesahan Anggaran Dasar Perseroan Terbatas disita oleh pihak Kejaksaan Agung sehingga sistem administrasi badan hukum tidak berjalan seperti sebelumnya. Pada tanggal 5 Januari 2009 kami telah mengupayakan langkah langkah darurat agar pelayanan publik tetap terselenggarakan dengan baik. Namun sejak tanggal 6 Januari 2009 Menteri Hukum dan HAM dan Tim Restrukturisasi telah disomasi oleh Tim Pembela PT. SRD untuk tidak menggunakan barang sitaan (berdasarkan pasal 40 KUHAP) tersebut walaupun untuk melaksanakan pelayanan publik. Setelah waktu 3×24 jam dari somasi terakhir yang kami terima pada tanggal 16 Januari 2009 kami harus menghentikan seluruh sistem dan pelayanan
Surat Selengkapnya download

Komentar :

Menarik sekali untuk mencermati berita ini :“Namun sejak tanggal 6 Januari 2009 Menteri Hukum dan HAM dan Tim Restrukturisasi telah disomasi oleh Tim Pembela PT. SRD untuk tidak menggunakan barang sitaan (berdasarkan pasal 40 KUHAP) tersebut walaupun untuk melaksanakan pelayanan publik.”Seharusnya yang dipakai dasar oleh team kuasa hukum SRD adalah pasal 44 ayat 2 KUHAP : Penyimpanan benda sitaan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya dan tanggung jawab atasnya ada pada pejabat yang berwenang sesuai dengan tingkat pemeriksaan dalam proses peradilan dan benda tersebut dilarang untuk dipergunakan oleh siapapun juga.
Jadi dasar hukum yang dipakai dalam Surat Somasi dari team kuasa hukum PT SRD (pasal 40 KUHAP ) adalah kurang tepat, karena pengaturan tentang penggunaan barang sitaan diatur dalam pasal 44 ayat 2 KUHAP jo pasal 28 PP 27/1983.

Seharusnya Departemen Hukum dan HAM tidak diam dan menuruti somasi tersebut; oleh karena berdasarkan pasal 45 ayat 4 (Benda sitaan yang bersifat terlarang atau dilarang untuk diedarkan, tidak termasuk ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dirampas untuk dipergunakan bagi kepentingan negara atau untuk dimusnahkan) dapat melakukan upaya hukum PERAMPASAN UNTUK KEPENTINGAN NEGARA.

Logika hukumnya adalah barang sitaan tersebut berupa komputer dan sistem serta data-data yang wajib dirahasiakan, sehingga barang-barang tersebut dapat dikategorikan sebagai barang yang dilarang untuk diedarkan; yang oleh karena itu negara berhak untuk merampasnya untuk dipergunakan bagi kepentingan negara.
Pihak Departemen Hukum dan HAM seharusnya segera mengeluarkan Surat Permohonan kepada Pihak Kejaksaan untuk melakukan PERAMPASAN terhadap barang-barang yang digunakan untuk melaksanakan ketentuan pasal 9 ayat 1 UU 40/2007 ttg Perseroan Terbatas.

Apabila DepKum&HAM nekat membuka penerimaan dan pengesahan maupun perubahan data Badan Hukum secara manual, maka hal itupun tidak memenuhi ketentuan pasal 10 UU 40/2007; jadi sebagai langkah darurat menurut saya UPAYA HUKUM PERAMPASAN adalah jalan yang terbaik agar DepKum& HAM tidak salah dalam melaksanakan ketentuan UU 40/2007.

Mohon maaf saya bukan ahli hukum pidana, namun secara logika hukum koq kagak nyampai-nyampai yaa… dimana kepentingan privat dapat mengalahkan kepentingan umum…
Kongres INI XX di Surabaya yang baru berlalu mengangkat tema tentang peran Notaris dalam meningkatkan investasi di Indonesia, sungguh hanya merupakan suatu “utopia” akibat ketidakpastian para notaris dalam melayani kebutuhan masyarakat yang hendak berinvestasi di Indonesia.
Semoga masalah ini dapat dicarikan solusi secepatnya, tanpa harus mengorbankan kepentingan umum secara berlarut-larut.
VIVA NOTARIUS !

Catatan : Per tanggal 4 Feb 2009 berdasarkan masukan yang telah kami sampaikan dalam kolom komentar di website sisminbakum.go.id; maka telah diadakan perubahan dasar somasi dari team SRD adalah pasal 44 KUHAP mengenai larangan penggunaan barang sitaan.
Demikian pula Bpk. Freddy Harris telah memberikan konfirmasi bahwa team restrukturisasi sedang berupaya dan berusaha keras untuk dapat online kembali sekitar tgl 17 Feb 2009, dan dapat diakses oleh para notaris secara bergantian.
(Edit entry tgl 5 Feb 2009) .

Baca selanjutnya...