19 Agustus 2008

Pembagian Sisa Hasil Likuidasi Perseroan

PEMBAGIAN SISA HASIL LIKUIDASI PERSEROAN
Bagian I

Dalam artikel yang lalu penulis pernah membahas tentang praktek pembubaran perseroan terbatas, dimana dalam salah satu tahap yang harus dilakukan adalah tahap pemberesan oleh likuidator.

Dalam tahap pemberesan ini ada satu masalah yang cukup krusial untuk dibahas secara mendalam, karena dalam masalah ini menyangkut beberapa bidang hukum yaitu hukum perseroan, hukum pertanahan dan hukum perpajakan.

Masalah yang terjadi adalah dalam tahap pemberesan ternyata terdapat sisa asset perseroan berupa hak atas tanah ( Hak Guna Bangunan ) atas nama perseroan.
Bagaimana cara membagikannya asset tersebut kepada para pemegang saham.

Di bagian pertama tulisan ini penulis akan lebih dahulu membahas dari segi hukum perseroan, khususnya untuk menentukan kapan waktunya dapat dilakukan pembagian sisa asset perseroan yang dibubarkan kepada para pemegang saham ( pemilik perseroan ).

Pembubaran dan likuidasi adalah dua perbuatan hukum yang tidak terpisahkan ( jaman Orla disebut Dwitunggal ), karena setiap pembubaran wajib diikuti oleh tindakan likuidasi ( lihat pasal 142 ayat 2 ).
Apakah akibat hukumnya jika hanya dilakukan tindakan pembubaran tanpa tindakan likuidasi? Silahkan pembaca menyimak ulang artikel penulis mengenai Praktek pelaksanaan pembubaran PT.
Jika Sisminbakum konsekuen terhadap bunyi peraturan yang ada, maka sebelum dilakukan tindakan likuidasi status badan hukum dari Perseroan tetap ada. Oleh karena itu pasti ada implikasinya apabila tindakan pembubaran tidak diikuti oleh tindakan likuidasi.

Salah satu kewajiban Likuidator adalah melakukan pembayaran sisa kekayaan hasil likuidasi kepada pemegang saham (Pasal 149 ayat 1 point d) yang dilakukan setelah dilaksanakannya pembayaran kepada kreditor.

Pertanyaannya dalam jangka waktu berapa lama setelah keputusan pembubaran perseroan, likuidator dapat melaksanakan pembagian sisa hasil likuidasi tersebut ?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut diperlukan konsentrasi khusus, karena terdapat masalah yang cukup membingungkan, karena dalam UU 40/2007 menyebutkan "tenggang-tenggang" waktu yang berbeda dalam pasal 147 ayat 3 dan pasal 149 ayat 3.

Memang jika diamati seolah-olah ketentuan mengenai tenggang-tengang waktu tersebut mengatur hal yang berbeda, dalam pasal 147 ayat 3 mengatur jangka waktu pengajuan tagihan, sedangkan dalam pasal 149 ayat 3 adalah mengenai jangka waktu untuk mengajukan keberatan terhadap rencana pembagian kekayaan hasil likuidasi.Namun yang menjadi masalah adalah acuan penghitungan jangka waktu 60 hari itu dimulai darimana?

Dalam pasal 147 ayat 3 dan penjelasannya diketahui 60 hari sejak tanggal pengumuman paling akhir yaitu tanggal pegumuman dalam BNRI (bukan tanggal pengumuman di Surat Kabar); sedangkan dalam pasal 149 ayat 3 jangka waktu 60 hari dihitung dari pengumuman tentang rencana pembagian kekayaan hasil likuidasi ( jadi bukan dari pengumuman pembubaran seperti yang tercantum dalam pasal 147 ayat 1 ). (Catatan : disini harus juga ditafsirkan tanggal pengumuman yang paling akhir yaitu tanggal pengumuman dalam BNRI, walaupun dalam penjelasan resmi pasal 149 ayat 3 cukup jelas).

Dalam praktek para Notaris sering hanya berpatokan pada tanggal Pengumuman pembubaran sesuai pasal 147 ayat 1, bahkan jarang sekali menyarankan kepada kliennya untuk melakukan Pengumuman tentang rencana pembagian kekayaan hasil liuidasi. Padahal akibat tidak dilaksanakannya tindakan ini adalah FATAL !
Karena dengan tidak dilakukannya tindakan tersebut hak kreditor untuk mengajukan keberatan telah ditiadakan, oleh karena itu setiap tindakan hukum berikutnya yang dilakukan oleh likuidator terhadap sisa hasil kekayaan perseroan dapat dinyatakan BATAL DEMI HUKUM. Ketentuan pasal 150 UU PT tidak dapat dipakai sebagai alasan untuk membela diri.

Untuk mengamati apakah tindakan pembubaran dan likuidasi yang dilakukan oleh suatu Perseroan benar-benar dilaksanakan sesuai prosedure yang sah, jika melalui perantaraan seorang Notaris sangat mudah patokannya.

Berikut ini joke serius....
Jika notaris tersebut hanya menarik biaya Rp.2.500.000,- s/d Rp.5.000.000,- ini dapat berarti Notaris atau pihak yang terafiliasi dengannya adalah pihak yang memiliki perseroan atau Notaris tersebut berjiwa sosial dan ikut berprihatin kepada kliennya ( wah yang ini pastilah Notaris tersebut sudah sangat kaya ) atau Notaris tersebut hanya melakukan sebagian dari prosedure yang seharusnya dilakukan untuk pembubaran dan likuidasi PT ( Nah kalau yang ini sih paling
banyak terjadi.... memprihatinkan...).

Pembaca dapat menghitung sendiri berapa kira-kira biaya yang dikeluarkan untuk pembubaran dan likuidasi suatu PT, yang paling tidak terdiri dari beberapa hal :
- biaya Akta Pernyataan Keputusan Rapat Umum Pemegang Saham tentang pembubaran
- biaya Pengumuman di Surat Kabar dan di Berita Negara tentang pembubaran (pasal 147 ayat 1)
- biaya PNBP Sisminbakum untuk pemberitahuan kepada Menteri Hukum dan HAM
- biaya Pengumuman di Surat Kabar dan BNRI tentang rencana pembagian kekayaan hasil likuidasi (pasal 149 ayat 1)
- biaya Akta Berita Acara RUPS pertanggungjawaban Likuidator ( pasal 152 ayat 1)
- biaya Pengumuman di Surat Kabar dan Pemberitahuan kepada Menteri hasil akhir proses likuidasi (pasal 152 ayat 3)
- Honor jasa pengurusan ??

Mari kembali ke Laptop ( meniru Tukul Arwana ), jadi solusi mengenai kapan dapat dibagikan sisa kekayaan hasil likuidasi kepada pemegang saham adalah sebagai berikut :
1. Apabila terdapat kreditur yang mengajukan tagihan, maka paling tidak pembagiannya harus menunggu setelah lewatnya waktu 60 hari setelah pengumuman rencana pembagian ( atau setidak-tidaknya 120 hari setelah pengumuman pembubaran perseroan );
2. Apabila terdapat kreditur yang menggajukan tagihan dan keberatannya terhadap rencana pembagian ditolak oleh Likuidator, maka pembagiannya harus menunggu sampai dengan adanya putusan Pengadilan terhadap pokok gugatan tersebut (pasal 149 ayat 4);
3. Apabila tidak terdapat kreditur yang mengajukan tagihan, maka setelah lewatnya jangka waktu 60 hari setelah tanggal pengumuman pembubaran ( Ingat yang digunakan adalah tanggal pengumuman di BNRI, bukan tanggal Pengumuman di Surat Kabar), dapat dilakukan pembagian.

Khusus mengenai point 3 karena tidak ada aturannya dalam UU, maka demi keamanan terhadap sahnya tindakan likuidator perlu diadakan penegasan dalam suatu RUPS bahwa setelah jangka waktu yang ditetapkan dalam pasal 147 ayat 3 benar-benar tidak terdapat tagihan dari kreditor manapun dan oleh karena itu RUPS memutuskan memberikan kewenangan kepada likuidator untuk membagikan sisa kekayaan perseroan kepada pemegang saham sesuai dengan proporsi kepemilikan sahamnya di dalam perseroan, semuanya dengan mengingat ketentuan dalam pasal 150 ayat 2 ( Kreditor tetap dapat mengajukan tagihan melalui Pengadilan dalam jangka waktu 2 tahun sejak pengumuman pembubaran Perseroan).

Permasalahan yang berikutnya adalah apakah asset perseroan tersebut adalah asset bersama dari para pemegang saham sesuai dengan proporsi kepemilikan saham masing-masing pemegang saham dalam perseroan? ( Hal ini akan dibahas pada bagian berikutnya di blog penulis)

Kesimpulan :
Dalam melakukan pembagian sisa kekayaan perseroan hasil likuidasi kepada pemegang sahamnya harus benar-benar diperhatikan waktu pelaksanaanya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangan dengan akibat hukum bahwa jika tidak dilakukan sesuai prosedure maka perbuatan hukum tersebut dapat dinyatakan batal demi hukum.

Peringatan kepada para calon pembeli asset yang berasal dari sisa hasil likuidasi perseroan yang dibubarkan agar lebih berhati-hati, lebih aman jika membeli asset tersebut selewatnya 2 tahun setelah pengumuman pembubaran perseroan.

Baca selanjutnya...

17 Agustus 2008

Selamat Ultah Indonesiaku !!

INDONESIAKU
62 tahun berlalu sudah…
pencapaian demi pencapaian engkau raih
naik turun… malu bangga… manis pahit… sulit mudah
perjuangan demi perjuangan engkau sapu bersih

62 tahun berlalu sudah...
luka dan kenangan terpapar sepanjang jalan
kalah dan menang tertuai disetiap langkah
kini usiamu bertambah

matang dan tegar adalah modal untukmu
melangkah dijalan besar penuh sesak persaingan
bangga dan santun adalah kekuatan untukmu
menyongsong arus dunia ditengah himpitan

Jayalah Indonesiaku !!
Merdekalah Indonesiaku !!
Maju pantang mundur Indonesiaku!!
Jadilah mercu suar dunia Indonesiaku!!

17 Agustus 2008
Jusuf Patrick

Baca selanjutnya...

13 Agustus 2008

Pengusaha Property sebagai Komisioner why not?

LEMBAGA KOMISIONER ALTERNATIF
SOLUSI BAGI
PENGUSAHA JUAL BELI PROPERTY
( Dalam kasus penolakan balik nama sertipikat oleh Kantor Pertanahan terhadap Akta Jual Beli yang menggunakan dasar Akta Kuasa Jual )
Pendahuluan

Sejak diberlakukannya Undang-undang nomor 21 tahun 1997 yang diubah dengan Undang-Undang nomor 20 tahun 2000 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan dengan dilandasi pada kewajiban kenegaraan dalam rangka kegotong-royongan nasional sebagai wujud peran serta masyarakat dalam membiayai pembangunan, Pemerintah mengenakan pajak terhadap setiap perolehan hak atas tanah dan bangunan. Hal ini mengakibatkan banyak pengusaha yang berusaha dibidang jual-beli property (hak atas tanah dan bangunan) merugi, akibat dikenakannya pajak “berganda” yang harus ditanggung oleh mereka.
Diwaktu membeli property tersebut, harus dibayar pajak BPHTB ( 5% x NJOP/Nilai Transaksi-PTKP ), kemudian sewaktu menjual property tersebut sekali lagi wajib membayar pajak yaitu Pajak Penghasilan ( 5% x NJOP/Nilai Transaksi ).
Menyiasati hal tersebut maka para pengusaha property dalam membeli property tidak langsung membuat Akta Jual Beli dihadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah, melainkan hanya mengadakan Perjanjian Pengikatan Jual Beli ( baik dibawah tangan maupun dengan Akta Otentik dihadapan Notaris ) dan Akta Kuasa Jual; demikian dengan maksud apabila kelak property yang dibelinya telah laku dijual, maka pengusaha tersebut menggunakan Akta Kuasa dari penjual (pemilik asal) menjual kepada pembeli.
Seperti diketahui bahwa di dunia bisnis sangat penting faktor kecepatan perputaran modal, semakin cepat dan semakin besar adalah semakin baik dan menguntungkan bagi pengusaha. Dalam dunia bisnis modern saat ini, pengusaha lebih mementingkan perputaran omzet, demikian pula pengusaha yang bergerak di bidang jual-beli property, yang penting tidak rugi asalkan berputar terus modalnya, usaha tersebut masih layak untuk dipertahankan dan dikembangkan.
Namun oleh karena Pemerintah telah menempatkan pajak sebagai salah satu primadona pemasukan/ penerimaan negara, maka ketentuan-ketentuan pajak final ( PPH dan BPHTB ) tersebut dapatlah dikatakan mengorbankan Pengusaha Kelas Menengah. Padahal suatu negara akan kuat sektor perekonomiannya apabila sektor swata kelas menengahnya kuat. Yang terjadi di Indonesia saat ini Kelas Bawah diberikan Bantuan Langsung Tunai (BLT), Yang Menengah diperas bak sapi perah dan Yang Atas berlimpah fasilitas. Aaaahhh itu sih urusan politik yang tidak jelas ( awu-awu). Mari kita lanjutkan aja dengan topik bahasan yang ada.

Permasalahan
Saat ini di beberapa Kantor Pertanahan mulai menolak permohonan Balik Nama sertipikat apabila Akta Jual Beli dihadapan PPAT dimana pihak penjualnya menggunakan Akta Kuasa Otentik ( dalam komparisi akta diuraikan bahwa Pihak Penerima Kuasa/ Pengusaha mewakili atau atas nama Penjual/ Pemilik yang namanya tercantum dalam Sertipikat ) dengan alasan bahwa telah terjadi penyelundupan/ penghindaran pembayaran pajak.
Kantor Pertanahan hanya akan memroses permohonan balik nama sertipikat apabila :
disertai Surat Pernyataan dari Pemilik Asal ( Orang yang namanya tercantum dalam Sertipikat ) yang menyatakan bahwa diantara Pemilik asal dan Penerima Kuasa ( Pengusaha ) tidak terjadi jual beli, melainkan hanya semata-mata sebagai kuasa saja atau
Akta Kuasa digunakan oleh Pembeli untuk membalik nama Sertipikat menjadi atas namanya sendiri. ( Dalam komparisi Akta Jual Beli penerima kuasa bertindak sebagai kuasa dari Pemilik dan bertindak sebagai Pembeli ).
Permasalahan yang terjadi dalam praktek berkaitan tindakan nomor 1 di atas, yaitu begitu mudahnya para pihak ( atau bahkan Notaris/PPAT ) menanda tangani surat pernyataan bahwa antara Penjual (Pemilik) dan Penerima Kuasa ( Pengusaha) tidak pernah terjadi transaksi, melainkan semata-mata hanya pemberian kuasa saja. Hal ini dilakukan tanpa mempedulikan implikasi dari Surat Pernyataan tersebut; yang menurut penulis sangat fatal akibat hukumnya bagi para pihak yang dalam kenyataannya telah membuat Akta Pengikatan Jual Beli dan Akta Kuasa.
Dengan adanya pengikaran terhadap telah terjadinya ”transaksi jual beli” antara para pihak, maka sangat terbuka peluang yang lebar bagi pihak pemilik asal untuk benar-benar membatalkan Akta Pengikatan Jual Beli dan menuntut kembali property tersebut dari tangan Pembeli.
Bagaimana solusi terhadap permasalahan tersebut ?

Pembahasan Masalah
Seperti kita ketahui aturan-aturan umum mengenai Jual Beli diatur dalam pasal 1457 – pasal 1546 KUHPdt.
Inti konsep jual beli menurut KUHPdt diatur dalam pasal 1457 dan pasal 1458, yang memuat definisi dan saat terjadinya jual beli.
Pasal 1457 :
Jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu barang, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang dijanjikan.
Pasal 1458 :
Jual beli dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, segera setelah orang-orang itu mencapai kesepakatan tentang barang tersebut beserta harganya, meskipun barang itu belum diserahkan dan harganya belum dibayar.
Jadi terjadinya jual beli menurut KUHPdt semata-mata oleh adanya kesepakatan antara para pihak, hal yang berbeda dengan konsep Hukum Adat yang dianut oleh Undang
Undang Pokok Agraria ( UU 5/1960 ) yang menganut prinsip terang dan tunai.
Sehingga dalam praktek muncul suatu kreasi ( penemuan hukum/ terobosan hukum ) yang menggabungkan dua konsep tersebut yang saat ini dikenal sebagai Perjanjian Pengikatan Jual Beli.
Perjanjian Pengikatan Jual Beli adalah suatu perjanjian antara pihak penjual dan pihak pembeli mengenai suatu obyek tertentu dan harga tertentu dimana ”secara materiil” hak kepemilikan dan/atau penguasaan atas obyek telah dialihkan kepada pihak pembeli yang juga telah melunasi harga obyek yang dibelinya tersebut, dan peralihan hak secara formil akan segera dilaksanakan menurut peraturan perundangan dibidang Agraria/ Pertanahan, yaitu apabila syarat dan ketentuan dalam Perjanjian tersebut dan Peraturan Pemerintah No 24/1997 telah dipenuhi oleh para pihak.
Syarat dan ketentuan agar dapat dibuatkan Akta Jual Beli dihadapan PPAT sesuai dengan PP no24/1997 dan peraturan perundangan lainnya adalah :
- dipenuhi kelengkapan dokumen para pihak
- telah diadakan pengecekan asli sertipikat di Kantor Pertanahan setempat
- telah dibayar pajak-pajak yang berkaitan dengan jual beli tersebut ( PPh dan BPHTB )
- terhadap obyek jual beli dibayar lunas dan siap diserah terimakan saat itu juga. (Prinsip terang dan tunai)
Dalam praktek Perjanjian Pengikatan Jual Beli terhadap syarat-syarat dan ketentuan-ketentuan tersebut biasanya yang belum terlaksana hanya masalah pembayaran pajak-pajak. Bahkan biasanya dalam salah satu pasal Perjanjian Pengikatan Jual Beli ( jika harga jual beli telah dibayar lunas) diatur tanggung jawab terhadap pembayaran Pajak khususnya PPh dialihkan kepada dan oleh karena itu menjadi tanggung jawab Pembeli.
Dari uraian di atas mengesankan bahwa pendapat beberapa Pejabat Kantor Pertanahan tersebut adalah benar yaitu telah terjadi penghindaran/penyelundupan pembayaran pajak.
Oleh karena itu perlu kita analisa lebih lanjut landasan dari pengenaan Pajak khususnya BPHTB. Didalam UU 20/2000 ditegaskan bahwa pengenaan BPHTB harus memperhatikan asas-asas keadilan, kepastian hukum, legalitas dan kesederhanaan.
Dalam pasal 1 angka 2 UU 20/2000 didefinisikan mengenai arti Perolehan hak atas tanah dan bangunan yaitu perbuatan atau peristiwa hukum yang mengakibatkan diperolehnya hak atas tanah dan bangunan oleh orang pribadi atau badan.
Dalam Pasal 2 Perolehan hak atas tanah dan bangunan terjadi karena :
- pemindahan hak
- pemberian hak baru
Sedangkan menurut pasal 9 UU tersebut saat terutangnya pajak yaitu sejak tanggal dibuat dan ditandatangani akta pemindahan hak ( Catatan menurut ketentuan peraturan perundangan dibidang Agraria/Pertanahan mengatur bahwa perbuatan pengalihan/ pemindahan hak atas tanah wajib dilakukan dengan Akta yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah; jadi bukan pada waktu dibuat Akta Pengikatan Jual Beli dihadapan Notaris ).
Dalam tataran filosofi tindakan perolehan yang terjadi karena pemindahan hak selalu dilandasi oleh suatu sikap ”kehendak memiliki”. Disinilah seharusnya landasan filosofi pengenaan pajak ditetapkan sebagai pengejawantahan asas keadilan.
Untuk itu perkenankan penulis berteori sejenak..... ;)
Dasar/landasan pengenaan pajak adalah kehendak memiliki dari anggota masyarakat terhadap suatu benda ekonomis; yang terhadapnya negara melakukan penjagaan / menyediakan jaminan bagi keamanan kepemilikannya dengan mengenakan pajak.
Penulis mempersilahkan pembaca untuk menguji teori ini .... silahkan direnungkan, dihayati dan diresapi untuk dituangkan dalam disertasi doktoral... :)
Setelah bermain di alam filsafati, mari kita kembali menginjakkan kaki di bumi dogmatika dan praktek.
Pertanyaannya sekarang apakah pengusaha property dalam melakukan pembelian atas suatu property mempunyai niatan/kehendak untuk memiliki property tersebut untuk dirinya sendiri ?
Penulis yakin bahwa pengusaha property adalah orang yang melakukan suatu usaha secara berkesinambungan dalam bidang membeli property untuk kemudian dijual kepada orang lain (Catatan : tanpa adanya kehendak/niat memiliki untuk diri sendiri) baik atas tanggungan sendiri maupun sesuai pesanan dan untuk tanggungan dari pihak lain dengan mendapatkan komisi atau provisi.
Berbeda dengan makelar (broker) yang bertindak berdasarkan pemberian kuasa dari pihak-pihak yang memakai jasanya ( untuk menjual atau membeli ), pengusaha property dalam membuat perjanjian-perjanjian terikat secara langsung.
Keterikatan pengusaha property secara langsung dengan pihak penjual inilah yang menyebabkan pihak Pemerintah menganggap bahwa perbuatan yang dilakukan pengusaha property adalah suatu perbuatan untuk memperoleh hak atas tanah dan bangunan, yang oleh karena itu pengusaha peroperty wajib membayar pajak ( BPHTB ).
Padahal sebagaimana diuraikan tadi bahwa tidak ada niatan/kehendak dari pengusaha property untuk memiliki property yang dia beli tersebut, karena tujuannya semata-mata untuk dijual lagi sesuai dengan prinsip-prinsip bisnis pada umumnya.
Hal ini diperunyam oleh sikap dari pejabat Kantor Pertanahan yang menolak permohonan balik nama sertipikat atas nama Pembeli apabila yang bertindak dalam Akta Jual Belinya adalah pihak pengusaha yang mewakili penjual berdasarkan Akta Kuasa Jual ( yang merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisah dengan Perjanjian Pengikatan Jual Beli ).
Dalam hal demikian Kantor Pertanahan hanya mau membalik nama Sertipikat Hak atas tanah apabila dilengkapi Surat Pernyataan dari penjual ( Pemilik asal ) yang menyatakan bahwa :
- antara Penjual dan Pengusaha Property tidak terjadi transaksi jual beli;
- Kuasa yang diberikan kepada Pengusaha property adalah kuasa biasa dan bukan kuasa mutlak;
- Harga jual beli telah diterima oleh Penjual
Langkah praktis yang diberikan oleh pejabat Kantor Pertanahan tersebut sangat praktis dan dapat digunakan untuk membalik nama sertipikat atas nama Pembeli.
Sehingga langkah ini diikuti oleh hampir semua PPAT.
So what gitu lho?? Apakah ada masalah dengan langkah praktis ini?
Penulis secara pribadi mencemaskan akibat hukum yang dapat ditimbulkan oleh Surat Pernyataan yang ditanda tangani oleh Penjual (Pemilik asal) dan pegusaha property tidak lain adalah suatu bentuk pengingkaran telah terjadinya perjanjian pengikatan jual beli. Dengan adanya pengingkaran terhadap pengikatan jual beli tersebut, maka sangat memungkinkan Penjual (Pemilik asal) untuk benar-benar membatalkan adanya ”transaksi” antara dia dengan pengusaha property dan selanjutnya Akta Kuasa yang merupakan bagian mutlak dan satu kesatuan dengan akta pengikatan jual beli tersebut dengan mudah dapat dicabut atau ditarik kembali olehnya; hal ini dapat pula menyebabkan Akta Jual Beli dibatalkan, sehingga Pembeli sangat besar kemungkinannya untuk dirugikan ( meskipun dalam teori sebagai pembeli yang beritikad baik dia dilindungi oleh hukum, namun dalam praktek rumit sekali penegakannya ).
Mohon diingat bahwa Akta kuasa yang berdiri sendiri dan tidak dapat dicabut serta diberikan dengan mengecualikan ketentuan-ketentuan tentang berakhirnya suatu kuasa ( pasal 1813 dan pasal 1814 KUHPdt ) disebut sebagai Kuasa Mutlak.
Dan pemakaian Kuasa Mutlak (irrevocable power of atorney) ini telah dilarang dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri nomor 14 tahun 1982 juncto Surat Dirjen Agraria nomor 594/1492/AGR tanggal 31 Mar 1982 tentang larangan Kuasa Mutlak juncto Pasal 39 ayat 1 huruf d Peraturan Pemerintah nomor 24 tahun1997 memuat aturan bahwa PPAT harus menolak membuat akta jika salah satu pihak atau para pihak bertindak atas dasar suatu kuasa mutlak yang pada hakikatnya berisikan perbuatan hukum pemindahan hak.
Mungkin pembaca bertanya dengan alasan apakah Penjual (pemilik asal) mencabut kembali kuasa yang diberikan kepada pengusaha property?
Oleh karena kaki kita saat ini berpijak pada bumi dogmatika dan praktek, maka jawabannyapun dapat beraneka ragam, namun secara mudah dapat dikatakan pada jaman seperti saat ini hal apa saja dapat dijadikan alasan untuk sekedar membatalkan/ mencabut suatu kuasa.
Penulis menawarkan suatu wacana yang sangat memungkinkan untuk memberikan solusi bagi permasalahan di atas, yaitu penggunaan lembaga komisioner bagi pengusaha property.
Dalam melakukan usahanya pengusaha property harus bertindak sebagai seorang komisioner ( bukan broker/makelar ). Adapun keuntungan yang diperoleh oleh pengusaha property dapat dianggap sebagai komisi atau provisi. Dan terhadap komisi atau provisi inilah pengusaha property wajib membayar pajak penghasilan.
Ketentuan-ketentuan pokok mengenai Komisioner diatur dalam KUHD. Dalam pasal 76 didefinisikan Komisoner adalah orang yang perusahaannya terdiri atas pembuatan perjanjian-perjanjian atas nama sendiri atau firmanya sendiri, atas perintah dan untuk tanggungan orang lain, dengan mendapat upah tertentu atau provosi.
Dalam pasal 77 disebutkan bahwa Komisioner tidak diwajibkan memberitahukan kepada orang dengan siapa ia berbuat, tentang nama orang untuk tanggungan siapa ia melakukan perbuatan itu. Komisioner langsung terikat kepada pihak lain dalam perjanjian itu, seakan-akan itu urusannya sendiri.
Oleh karena itu Pihak yang dengan siapa komisioner berbuat dan pihak pemberi komisi tidak dapat saling menuntut. Tuntutan masing-masing pihak harus diajukan melalui Komisioner (pasal 78).
Hak-hak istimewa Komisioner dimuat dalam pasal 81 – pasal 85 antara lain hak previlegi terhadap penagihan-penagihan yang menjadi haknya, hak retensi untuk menjamin dipenuhinya hak-haknya, dll.
Dan yang menarik apa yang diatur dalam pasal 85a dimungkinkan orang-perorangan yang tidak terus menerus melakukan usaha sebagai komisoner, namun bertindak atas nama sendiri dan dengan mendapat upah tertentu atau provisi, atas pesanan dan untuk tanggungan orang lain mengadakan suatu perjanjian, maka pasal-pasal 77,78,80 sampai dengan pasal 85, 240 dan pasal 241 berlaku juga.
Tidak dapat penulis pungkiri bahwa penggunaan lembaga komisioner ini bukannya tanpa kendala, secara praktis mungkin hanya sedikit kendalanya, namun kendala secara teoritis cukup menyulitkan.
Kendala teoritis yang ada adalah menyangkut keberadaan pemberi komisi ( Pembeli pada saat sebelum Komisioner ( pengusaha property ) bertindak.
Perlu diadakan kajian yang lebih mendalam mengenai hal ini secara teoritis dengan memakai bahan-bahan kajian yang pernah diterapkan oleh BPPN yaitu mengakui keberadaan pembeli sementara ( belum ada pembeli definitif ) dan dilandasi oleh filosofi keberadaan ”niat/kehendak” dari pengusaha property sebagaimana telah diuraikan diatas. Semoga tulisan ini dapat memberikan ide bagi para calon doktoral untuk menyusun disertasinya mengenai nilai kemutlakan dari keberadaan subyek hukum dalam suatu perjanjian yang dibuat oleh seorang komisioner. ( Ide ini timbul dari hasil perbandingan antara subyek dan obyek perjanjian, jika obyek perjanjian boleh ada dikemudian hari, apakah terhadap subyek perjanjian juga berlaku ketentuan yang sama? ).

Penutup
Dengan diakuinya profesi sebagi pengusaha property yang usahanya membeli dan menjual property, maka perlu dipertimbangkan dasar pengenaan pajak sesuai asas keadilan bagi pengusaha property yaitu hanya mengenakan pajak terhadap penghasilan yang diperolehnya ( keuntungan, komisi atau provisi ) dari transaksi beli dan jual property yang diusahakan olehnya.
Salah satu alternatif solusi terhadap permasalahan ”penghindaran/penyelundupan” pajak yaitu penggunaan lembaga komisioner, dimana pengusaha property bertindak seakan-akan untuk diri sendiri namun (kelak) untuk kepentingan pembeli (pemberi komisi); maka dicapailah win-win solution bagi semua pihak.
Pihak Penjual membayar Pajak Penghasilan Final, Pihak pengusaha property membayar pajak seusai SPPT Tahunan, pihak Pembeli membayar pajak BPHTB Final dan yang paling penting untuk penulis dan rekan-rekan penulis yaitu pihak PPAT juga ”tidak bersalah” dalam membuat Akta Jual Beli ( dituduh membuat akta jual beli dengan menggunakan kuasa mutlak ).
Mohon saran, masukan dan kritikan dari para pembaca yang budiman.
Terima kasih.

Baca selanjutnya...

07 Agustus 2008

Fungsi Premisse dalam Akta Otentik

Tanggapan atas pendapat Montir Akta ( Pieter E. Latumenten, SH.,MH) di Rubrik Bengkel Akta dalam artikel :Premisse Bagian Akta Notaris dan implikasi hukumnya bagi para pihak ( Majalah Renvoi nomor 2.62.VI )

Permasalahan yang dimuat dalam artikel tersebut : Apakah keterangan seseorang dalam premisse yang tidak sesuai dengan peristiwa/ kenyataan yang ada dapat dianggap sebagai pemberian keterangan palsu?

Dalam artikel tersebut diberikan contoh :
Seseorang telah diberi kuasa berdasarkan Notulen Rapat untuk menyatakan Hasil Rapat tersebut dalam bentuk Akta Pernyataan Keputusan Rapat di hadapan Notaris. Dalam premissenya disebutkan olehnya bahwa ketentuan dan tatacara Rapat telah dilakukan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Akan tetapi dikemudian hari ternyata terbukti bahwa salah seorang pemegang saham tidak pernah diundang dan tidak pernah hadir dalam Rapat, sehingga keterangan penghadap dalam premisse tersebut dianggap telah memberikan keterangan palsu.

Oleh Sang Montir Akta dikatakan : “Premisse tidak diatur dalam UUJN dan dalam praktik notaris premisse dimuat setelah bagian komparisi dan sebelum isi akta, dan hanya memperjelas isi akta atau memuat penjelasan yang bersifat pertimbangan dibuatnya akta tersebut” (Garis bawah oleh penulis).

Berdasarkan hal tersebut rekan Pieter berpendapat : Tidak ada kesalahan yang dilakukan oleh penghadap tersebut dalam memberikan keterangan pada Akta PKR sepanjang keterangan tersebut sesuai dengan fakta yang tercantum dalam RUPS dibawah tangan yaitu dengan hadirnya seluruh saham yang telah ditempatkan dan disetujui oleh suara bulat.

Penulis tertarik untuk memulai analisa terhadap arti kata ”premisse” dari asal usul bahasanya lebih dahulu.
Premisse dalam bahasa Latin disebut ”praemissae” yang berarti ” a claim that is a reason for, or objection aginst, some other claim. In other words, it is a statement presumed true within the context of an argument toward a conclusion “ (http://en.wikipedia.org/wiki/Premise, lihat juga di http://encyclopedia.jrank.org/SUS_TAV/SYLLOGISM_Gr_ovAAoytvos_from_en.html)

Kata/istilah premisse ini digunakan dalam hubungan dengan penjelasan mengenai logika deduktif, sehingga premisse adalah suatu pernyataan yang diduga benar dalam rangkaian argumen dalam pembentukan sebuah kesimpulan.

Jadi unsur-unsur premisse :
- Pernyataan ( keterangan penghadap )
-
Suatu yang dianggap benar ( apa yang benar-benar dialami, disaksikan, dikehendaki dan diketahui oleh
penghadap )
- Dengan tujuan untuk menghasilkan kesimpulan ( landasan untuk menghasilkan kesepakatan atau landasan bagi dibuatnya suatu akta )

Soko guru notaris Komar Andasasmita mengartikan Premisse sebagai suatu keterangan atau pernyataan pendahuluan yang merupakan dasar atau pokok masalah yang akan diatur dalam suatu akta.

Dalam praktek seringkali premisse berisi tentang hal-hal yang melatar-belakangi para pihak sebelum masuk dalam suatu kesepakatan disamping pernyataan adanya kesepakatan dan janji untuk saling mengikatkan diri
antara para pihak sendiri dan selanjutnya masuk kedalam isi/batang tubuh akta.

Bahkan penulis dalam awal premisse sering menyebutkan : ”Para penghadap yang bertindak sebagaimana tersebut menyatakan dan menerangkan dengan sebenar-benarnya dan berani diangkat sumpah di muka Pengadilan manapun sebagai berikut :...dst ”

Oleh karena itu jikalau penghadap menerangkan suatu hal yang sesuai dengan yang tercantum dalam RUPS dibawah tangan, padahal dia tahu bahwa hal tersebut tidak benar, maka menurut penulis penghadap tersebut telah memberikan keterangan palsu.

Menurut penulis sebenarnya yang terjadi dalam permasalahan di atas adalah penghadap mengetahui bahwa memang terdapat satu orang pemegang saham yang tidak hadir dan tidak menanda tangani Notulen RUPS, namun Notulen RUPS tersebut telah direkayasa sedemikian seolah-olah semua pemegang saham hadir dalam Rapat dan menyetujui keputusan Rapat dengan suara bulat. Dan penghadap mengakui/ menyatakan dalam premisse Akta PKR suatu hal yang tidak benar/palsu.
Tentu saja dalam hal ini sang Notaris yang membuat Akta PKR nya tidak perlu takut dag dig dug terkena pasal 55 dan pasal 56 KUHPidana, oleh karena yang menyatakan keterangan dalam premisse itu kan penghadap bukan sang Notaris. So ngapain takuuut, harusnya siapa takuut...!

Sekali lagi menurut penulis fungsi Premisse dalam suatu Akta Otentik adalah sangat penting dan sangat strategis baik bagi para pihak maupun bagi notaris.
Bukan hanya sekedar sebagai rangkaian kalimat yang memperjelas isi akta atau memuat penjelasan yang bersifat
pertimbangan dibuatnya akta tersebut, namun justru kalimat pertama dari Premisse itulah yang membuat Notaris tidak dapat didakwa sebagai turut serta dalam melakukan suatu tindak pidana ( Dengan catatan : Notaris tersebut telah benar-benar melakukan tugas jabatannya sesuai dengan UU dan Kode Etik jabatan, baca juga artikel penulis mengenai kedudukan Notaris di
http://notarissby.blogspot.com/2008/03/apakah-notaris-tunduk-pada-prinsip.html), karena dari kalimat : Para penghadap menyatakan dan menerangkan ...dst adalah bukti bahwa Notaris disini fungsinya hanya untuk mengkonstatir dari maksud dan kehendak para pihak bukan sebagai pihak yang ikut serta dalam perbuatan hukum yang dilakukan oleh para pihak, demikianlah wejangan dosen penulis almarhum Tan A Sioe pada waktu memberikan kuliahnya Pembuatan Akta Umum.

Sedangkan implikasi Premisse bagi para pihak bahwa para pihak bertanggung jawab sepenuhya atas kebenaran dari apa yang dia terangkan/nyatakan, yang menjadi dasar bagi kesepakatan para pihak.

Menurut penulis apa yang dicantumkan dalam Premisse disamping dasar, landasan, latar belakang kehendak para pihak, juga sebagai ”tempat” untuk menyatakan suatu sebab ( yang halal) dari diadakannya persetujuan oleh para pihak.

Pasal 1336 KUHPdt : “Jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi ada suatu sebab yang halal, ataupun jika ada suatu sebab yang lain (“yang diperbolehkan”, catatan dari penulis) daripada yang dinyatakan, persetujuannya namun demikian adalah sah.”
Jadi suatu sebab yang halal dalam suatu persetujuan yang tertulis akan di”tempat”kan di bagian Premisse.

Kesimpulan :
Fungsi Premisse dalam Akta Otentik sangat penting dan strategis karena memuat :

1. dasar, landasan, latar belakang kehendak para pihak ;

2. maksud dan tujuan pembuatan akta ;

3. uraian tentang sebab yang halal ;

4. uraian tentang adanya kesepakatan para pihak ;

5. bukti bahwa Notaris hanya mengkonstatir maksud dan kehendak para pihak.

Jadi dari 4 syarat sahnya suatu persetujuan (pasal 1320 KUHPdt ), 2 syarat tercantum dalam Premisse.

Semoga uraian di atas memberikan wacana dan pengetahuan sesama rekan notaris dan para penegak hukum yang lain, agar semakin memahami kedudukan dan fungsi Akta Otentik dan juga memahami kedudukan Notaris dalam Akta yang dibuat dihadapan atau olehnya.

Baca selanjutnya...