5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI
Berdasarkan hasil analisis normatif, komparatif, dan konseptual dalam penelitian ini, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Aset digital memenuhi unsur “benda” dalam arti hukum kebendaan Indonesia.
Walaupun tidak berwujud secara fisik, aset digital memenuhi karakteristik benda bergerak tidak bertubuh sebagaimana telah diakui terhadap listrik dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 2379 K/Pid.Sus/2010.
Aset digital memiliki nilai ekonomi, dapat dimiliki, dialihkan, serta dikendalikan secara hukum melalui instrumen digital seperti private key atau digital wallet.
Oleh karena itu, dari sudut pandang substansial, aset digital telah memenuhi esensi dari objek hak milik dan dapat menjadi objek perikatan dalam konteks hukum perdata.
2. Hukum positif Indonesia belum memberikan pengakuan eksplisit terhadap aset digital sebagai objek jaminan.
Hingga saat ini, Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia belum mencantumkan aset digital dalam kategori benda yang dapat dijaminkan.
Peraturan Bappebti No. 5 Tahun 2019 memang mengakui aset kripto sebagai komoditas perdagangan, namun pengakuan ini terbatas pada ranah administratif, bukan privat.
Ketiadaan norma khusus menimbulkan kekosongan hukum yang berpotensi menimbulkan ketidakpastian dalam praktik pembiayaan digital.
3. Sistem hukum Belanda memberikan model adaptif melalui konsep vermogensrechten (hak kekayaan).
Belanda telah menegaskan melalui Pasal 3:6 BW bahwa hak-hak yang dapat dialihkan dan memiliki nilai ekonomi termasuk dalam kategori hak kekayaan, walaupun tidak berwujud.
Doktrin digital vermogensrechten yang dikembangkan oleh para sarjana seperti Van Erp (2021) dan Van der Merwe (2020) menjadi dasar konseptual untuk mengakui aset digital sebagai objek hak kebendaan baru.
Selain itu, melalui regulasi Markets in Crypto-Assets (MiCA), Uni Eropa juga telah memberikan legitimasi penuh bagi aset digital sebagai objek transaksi hukum dan keuangan.
4. Notaris berperan strategis dalam menjamin kepastian hukum dan perlindungan pihak-pihak dalam transaksi aset digital.
Sebagai pejabat umum pembuat akta otentik, notaris memiliki kewenangan untuk mengesahkan perjanjian yang berkaitan dengan aset digital sepanjang tidak bertentangan dengan hukum.
Namun, dalam situasi kekosongan norma, notaris dituntut menerapkan prinsip kehati-hatian hukum (prudential legal responsibility), melakukan verifikasi digital terhadap kepemilikan aset, serta menyusun klausula hukum yang melindungi kepentingan para pihak.
Dengan demikian, notaris berfungsi ganda: sebagai penjamin kepastian hukum sekaligus agen pembaruan hukum (legal innovator) di era digital.
5. Pengembangan sistem fidusia digital berbasis blockchain merupakan arah reformasi hukum yang logis dan progresif.
Teknologi blockchain dapat menjadi fondasi sistem registrasi fidusia elektronik yang aman, transparan, dan efisien.
Model ini dapat meniru praktik e-Notary di Belanda dan digital registry system di Estonia, di mana setiap akta jaminan digital diverifikasi secara otomatis dan disimpan dalam ledger yang tidak dapat diubah.
Integrasi antara UU Jabatan Notaris, UU ITE, dan UU Fidusia akan menjadi kunci pembentukan ekosistem hukum yang mendukung transformasi ini.
6. Hukum kebendaan dan hukum jaminan Indonesia perlu direformasi secara sistematis.
Konsep hukum yang materialistik tidak lagi sesuai dengan realitas ekonomi digital. Diperlukan pergeseran paradigma hukum kebendaan dari “benda sebagai objek fisik” menjadi “benda sebagai nilai hukum yang dapat dikuasai.”
Perubahan ini tidak berarti menafikan asas-asas hukum klasik, tetapi memperluas tafsirnya agar tetap relevan dengan perkembangan zaman.
5.2. Rekomendasi
Berdasarkan kesimpulan di atas, penelitian ini memberikan beberapa rekomendasi konstruktif bagi pembuat kebijakan, praktisi hukum, dan lembaga notariat sebagai berikut:
1. Pembentukan Regulasi Khusus tentang Aset Digital sebagai Objek Jaminan
Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM serta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu menyusun peraturan turunan dari UU Fidusia yang secara eksplisit mengatur pengakuan aset digital sebagai objek jaminan.
Regulasi tersebut dapat merujuk pada praktik Uni Eropa melalui MiCA Regulation dan pada sistem hukum Belanda yang telah menerapkan prinsip vermogensrechten.
2. Modernisasi Hukum Notariat melalui Pengakuan Akta Elektronik
Perlu dilakukan revisi terhadap UU Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris untuk mengakomodasi akta elektronik (electronic notarial act) dan tanda tangan digital tersertifikasi.
Hal ini akan memberikan dasar hukum bagi notaris untuk melaksanakan tugasnya dalam ranah transaksi digital tanpa kehilangan kekuatan pembuktian otentik.
3. Pendirian Lembaga Registrasi Fidusia Digital Nasional
Kementerian Hukum dan HAM dapat membentuk Digital Fiduciary Registry System (DFRS) berbasis teknologi blockchain.
Sistem ini akan mencatat dan memverifikasi seluruh akta fidusia digital secara otomatis, mengurangi risiko pemalsuan, serta meningkatkan transparansi dan kepercayaan publik terhadap sistem hukum jaminan nasional.
4. Peningkatan Kompetensi Digital bagi Notaris
Diperlukan program pelatihan dan sertifikasi digital legal competency bagi notaris untuk memahami mekanisme kepemilikan, transaksi, dan keamanan aset digital.
Langkah ini akan mendorong notaris menjadi aktor utama dalam transformasi hukum ekonomi digital Indonesia.
5. Sinergi antara Pemerintah, Akademisi, dan Profesi Hukum
Pembaruan hukum tidak dapat berjalan secara sektoral. Diperlukan kolaborasi lintas lembaga antara pemerintah, perguruan tinggi, dan organisasi profesi notaris (dalam hal ini Ikatan Notaris Indonesia – INI) dalam merumuskan kebijakan hukum digital yang adaptif, humanis, dan berorientasi pada keadilan ekonomi.
6. Penerapan Prinsip Hukum Progresif
Reformasi hukum kebendaan digital harus mengacu pada teori hukum progresif Satjipto Rahardjo, yang menempatkan hukum sebagai sarana pelayanan masyarakat, bukan sebagai penghalang inovasi.
Dengan demikian, hukum akan menjadi alat yang dinamis untuk mengimbangi perubahan sosial dan teknologi.
5.3. Penutup
Penelitian ini menegaskan bahwa hukum Indonesia memiliki potensi besar untuk mengakui aset digital sebagai objek jaminan hutang tanpa harus meninggalkan asas hukum perdata yang sudah ada.
Perluasan interpretasi, dukungan regulasi, dan keberanian notaris dalam berinovasi akan menjadi fondasi transformasi hukum kebendaan di abad digital.
Dengan demikian, hukum Indonesia tidak hanya akan mampu menjawab tantangan zaman, tetapi juga tampil sebagai sistem hukum modern yang responsif, progresif, dan berkeadilan.
DAFTAR PUSTAKA
Adjie, H. (2018). Hukum Notaris di Indonesia: Tafsir Teoritis dan Praktik. Bandung: Refika Aditama.
Boedi Harsono. (2015). Hukum Agraria Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Burgerlijk Wetboek (BW) Boek 3: Artikel 2 dan 6.
Candra, D. V. (2024). Legalitas Aset Kripto sebagai Objek Jaminan Fidusia. Jurnal Hukum Diponegoro, 13(2), 211–232.
Hoge Raad der Nederlanden. (1921). Arrest Elektriciteit (NJ 1921, 564).
Marzuki, P. M. (2017). Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana.
Rahardjo, S. (2020). Hukum Progresif dan Etika Profesi Hukum. Jakarta: Kompas.
Salim HS. (2021). Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press.
Siregar, D. (2023). Analisis Yuridis Penggunaan Aset Kripto sebagai Jaminan Hutang. Jurnal Ilmu Hukum USU, 11(4), 145–160.
Subekti, R. (2008). Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa.
Sumardjono, M. S. W. (2017). Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Tjong Tjin Tai, E. (2019). Digitalisation and Property Law: A Dutch Perspective. Maastricht Journal of European and Comparative Law, 26(3), 291–310.
Van der Merwe, C. G. (2020). The Concept of Property in the Netherlands: From Tangibility to Functionality. European Review of Private Law, 28(4), 1123–1145.
Van Erp, S. (2021). Property Rights in Digital Assets under Dutch Law. Maastricht University Working Paper.
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 jo. UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Peraturan Bappebti No. 5 Tahun 2019.
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 2379 K/Pid.Sus/2010.
Putusan PN Jakarta Utara Nomor 95/Pid.Sus/2020.