29 Oktober 2025

Aset Digital sebagai Jaminan Hutang dan Peran Notaris ( bagian akhir )

5. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

Berdasarkan hasil analisis normatif, komparatif, dan konseptual dalam penelitian ini, dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

1. Aset digital memenuhi unsur “benda” dalam arti hukum kebendaan Indonesia.

Walaupun tidak berwujud secara fisik, aset digital memenuhi karakteristik benda bergerak tidak bertubuh sebagaimana telah diakui terhadap listrik dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 2379 K/Pid.Sus/2010.
Aset digital memiliki nilai ekonomi, dapat dimiliki, dialihkan, serta dikendalikan secara hukum melalui instrumen digital seperti private key atau digital wallet.
Oleh karena itu, dari sudut pandang substansial, aset digital telah memenuhi esensi dari objek hak milik dan dapat menjadi objek perikatan dalam konteks hukum perdata.

2. Hukum positif Indonesia belum memberikan pengakuan eksplisit terhadap aset digital sebagai objek jaminan.

Hingga saat ini, Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia belum mencantumkan aset digital dalam kategori benda yang dapat dijaminkan.
Peraturan Bappebti No. 5 Tahun 2019 memang mengakui aset kripto sebagai komoditas perdagangan, namun pengakuan ini terbatas pada ranah administratif, bukan privat.
Ketiadaan norma khusus menimbulkan kekosongan hukum yang berpotensi menimbulkan ketidakpastian dalam praktik pembiayaan digital.

3. Sistem hukum Belanda memberikan model adaptif melalui konsep vermogensrechten (hak kekayaan).

Belanda telah menegaskan melalui Pasal 3:6 BW bahwa hak-hak yang dapat dialihkan dan memiliki nilai ekonomi termasuk dalam kategori hak kekayaan, walaupun tidak berwujud.
Doktrin digital vermogensrechten yang dikembangkan oleh para sarjana seperti Van Erp (2021) dan Van der Merwe (2020) menjadi dasar konseptual untuk mengakui aset digital sebagai objek hak kebendaan baru.
Selain itu, melalui regulasi Markets in Crypto-Assets (MiCA), Uni Eropa juga telah memberikan legitimasi penuh bagi aset digital sebagai objek transaksi hukum dan keuangan.

4. Notaris berperan strategis dalam menjamin kepastian hukum dan perlindungan pihak-pihak dalam transaksi aset digital.

Sebagai pejabat umum pembuat akta otentik, notaris memiliki kewenangan untuk mengesahkan perjanjian yang berkaitan dengan aset digital sepanjang tidak bertentangan dengan hukum.
Namun, dalam situasi kekosongan norma, notaris dituntut menerapkan prinsip kehati-hatian hukum (prudential legal responsibility), melakukan verifikasi digital terhadap kepemilikan aset, serta menyusun klausula hukum yang melindungi kepentingan para pihak.
Dengan demikian, notaris berfungsi ganda: sebagai penjamin kepastian hukum sekaligus agen pembaruan hukum (legal innovator) di era digital.

5. Pengembangan sistem fidusia digital berbasis blockchain merupakan arah reformasi hukum yang logis dan progresif.

Teknologi blockchain dapat menjadi fondasi sistem registrasi fidusia elektronik yang aman, transparan, dan efisien.
Model ini dapat meniru praktik e-Notary di Belanda dan digital registry system di Estonia, di mana setiap akta jaminan digital diverifikasi secara otomatis dan disimpan dalam ledger yang tidak dapat diubah.
Integrasi antara UU Jabatan Notaris, UU ITE, dan UU Fidusia akan menjadi kunci pembentukan ekosistem hukum yang mendukung transformasi ini.

6. Hukum kebendaan dan hukum jaminan Indonesia perlu direformasi secara sistematis.

Konsep hukum yang materialistik tidak lagi sesuai dengan realitas ekonomi digital. Diperlukan pergeseran paradigma hukum kebendaan dari “benda sebagai objek fisik” menjadi “benda sebagai nilai hukum yang dapat dikuasai.”
Perubahan ini tidak berarti menafikan asas-asas hukum klasik, tetapi memperluas tafsirnya agar tetap relevan dengan perkembangan zaman.


5.2. Rekomendasi

Berdasarkan kesimpulan di atas, penelitian ini memberikan beberapa rekomendasi konstruktif bagi pembuat kebijakan, praktisi hukum, dan lembaga notariat sebagai berikut:

1. Pembentukan Regulasi Khusus tentang Aset Digital sebagai Objek Jaminan

Pemerintah melalui Kementerian Hukum dan HAM serta Otoritas Jasa Keuangan (OJK) perlu menyusun peraturan turunan dari UU Fidusia yang secara eksplisit mengatur pengakuan aset digital sebagai objek jaminan.
Regulasi tersebut dapat merujuk pada praktik Uni Eropa melalui MiCA Regulation dan pada sistem hukum Belanda yang telah menerapkan prinsip vermogensrechten.

2. Modernisasi Hukum Notariat melalui Pengakuan Akta Elektronik

Perlu dilakukan revisi terhadap UU Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris untuk mengakomodasi akta elektronik (electronic notarial act) dan tanda tangan digital tersertifikasi.
Hal ini akan memberikan dasar hukum bagi notaris untuk melaksanakan tugasnya dalam ranah transaksi digital tanpa kehilangan kekuatan pembuktian otentik.

3. Pendirian Lembaga Registrasi Fidusia Digital Nasional

Kementerian Hukum dan HAM dapat membentuk Digital Fiduciary Registry System (DFRS) berbasis teknologi blockchain.
Sistem ini akan mencatat dan memverifikasi seluruh akta fidusia digital secara otomatis, mengurangi risiko pemalsuan, serta meningkatkan transparansi dan kepercayaan publik terhadap sistem hukum jaminan nasional.

4. Peningkatan Kompetensi Digital bagi Notaris

Diperlukan program pelatihan dan sertifikasi digital legal competency bagi notaris untuk memahami mekanisme kepemilikan, transaksi, dan keamanan aset digital.
Langkah ini akan mendorong notaris menjadi aktor utama dalam transformasi hukum ekonomi digital Indonesia.

5. Sinergi antara Pemerintah, Akademisi, dan Profesi Hukum

Pembaruan hukum tidak dapat berjalan secara sektoral. Diperlukan kolaborasi lintas lembaga antara pemerintah, perguruan tinggi, dan organisasi profesi notaris (dalam hal ini Ikatan Notaris Indonesia – INI) dalam merumuskan kebijakan hukum digital yang adaptif, humanis, dan berorientasi pada keadilan ekonomi.

6. Penerapan Prinsip Hukum Progresif

Reformasi hukum kebendaan digital harus mengacu pada teori hukum progresif Satjipto Rahardjo, yang menempatkan hukum sebagai sarana pelayanan masyarakat, bukan sebagai penghalang inovasi.
Dengan demikian, hukum akan menjadi alat yang dinamis untuk mengimbangi perubahan sosial dan teknologi.


5.3. Penutup

Penelitian ini menegaskan bahwa hukum Indonesia memiliki potensi besar untuk mengakui aset digital sebagai objek jaminan hutang tanpa harus meninggalkan asas hukum perdata yang sudah ada.
Perluasan interpretasi, dukungan regulasi, dan keberanian notaris dalam berinovasi akan menjadi fondasi transformasi hukum kebendaan di abad digital.
Dengan demikian, hukum Indonesia tidak hanya akan mampu menjawab tantangan zaman, tetapi juga tampil sebagai sistem hukum modern yang responsif, progresif, dan berkeadilan.


DAFTAR PUSTAKA

Adjie, H. (2018). Hukum Notaris di Indonesia: Tafsir Teoritis dan Praktik. Bandung: Refika Aditama.
Boedi Harsono. (2015). Hukum Agraria Indonesia. Jakarta: Djambatan.
Burgerlijk Wetboek (BW) Boek 3: Artikel 2 dan 6.
Candra, D. V. (2024). Legalitas Aset Kripto sebagai Objek Jaminan Fidusia. Jurnal Hukum Diponegoro, 13(2), 211–232.
Hoge Raad der Nederlanden. (1921). Arrest Elektriciteit (NJ 1921, 564).
Marzuki, P. M. (2017). Penelitian Hukum. Jakarta: Kencana.
Rahardjo, S. (2020). Hukum Progresif dan Etika Profesi Hukum. Jakarta: Kompas.
Salim HS. (2021). Perkembangan Hukum Jaminan di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press.
Siregar, D. (2023). Analisis Yuridis Penggunaan Aset Kripto sebagai Jaminan Hutang. Jurnal Ilmu Hukum USU, 11(4), 145–160.
Subekti, R. (2008). Pokok-Pokok Hukum Perdata. Jakarta: Intermasa.
Sumardjono, M. S. W. (2017). Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Tjong Tjin Tai, E. (2019). Digitalisation and Property Law: A Dutch Perspective. Maastricht Journal of European and Comparative Law, 26(3), 291–310.
Van der Merwe, C. G. (2020). The Concept of Property in the Netherlands: From Tangibility to Functionality. European Review of Private Law, 28(4), 1123–1145.
Van Erp, S. (2021). Property Rights in Digital Assets under Dutch Law. Maastricht University Working Paper.
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris.
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 jo. UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
Peraturan Bappebti No. 5 Tahun 2019.
Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 2379 K/Pid.Sus/2010.
Putusan PN Jakarta Utara Nomor 95/Pid.Sus/2020.

Baca selanjutnya...

Aset Digital sebagai Jaminan Hutang dan Peran Notaris (bagian 2)

4. PEMBAHASAN DAN ANALISIS

4.1. Penafsiran terhadap Unsur “Benda” dalam Hukum Indonesia

Konsep “benda” dalam hukum Indonesia masih berakar pada pengertian klasik sebagaimana diatur dalam Pasal 499 KUHPerdata, yaitu “segala sesuatu yang dapat menjadi objek hak milik.” Definisi ini tampak sederhana, namun bersifat terbuka (open legal concept) karena tidak membatasi bentuk fisik dari objek tersebut. Artinya, segala sesuatu yang dapat dikuasai dan memiliki nilai ekonomi dapat dikategorikan sebagai benda dalam arti hukum, meskipun tidak memiliki wujud material.

Namun, praktik hukum di Indonesia masih cenderung tekstual dan formalis, membatasi makna “benda” pada objek yang dapat diraba dan dilihat. Padahal, secara teori kebendaan modern, yang penting bukanlah keberadaan fisik, melainkan fungsi ekonomi dan kemampuan hukum untuk menguasai dan mengalihkan objek tersebut.

Dalam konteks ini, konsep yang dikemukakan Van Erp (2021) sangat relevan, yakni property as control, di mana hak milik tidak lagi dipahami sebagai hubungan fisik antara manusia dan benda, tetapi sebagai kontrol hukum terhadap nilai ekonomi tertentu. Jika prinsip ini diterapkan, maka aset digital dapat dianggap sebagai objek hukum karena dapat dimiliki (melalui private key), dialihkan (melalui transaksi digital), dan memiliki nilai ekonomi yang nyata.

Dengan demikian, pendekatan hermeneutik terhadap Pasal 499 KUHPerdata memungkinkan interpretasi progresif bahwa aset digital termasuk benda dalam arti hukum. Ini menjadi landasan konseptual bagi pengakuan aset digital sebagai objek jaminan hutang di Indonesia.


4.2. Analogi Yurisprudensi Listrik sebagai Benda Tidak Bertubuh

Preseden penting dalam pengakuan benda tidak berwujud di Indonesia adalah Putusan Mahkamah Agung Nomor 2379 K/Pid.Sus/2010, di mana Mahkamah menyatakan bahwa listrik adalah benda bergerak tidak bertubuh yang dapat dicuri karena memiliki nilai ekonomi dan dapat dikuasai manusia.
Demikian pula dalam Putusan PN Jakarta Utara Nomor 95/Pid.Sus/2020, tindakan penyambungan listrik ilegal dianggap sebagai pencurian karena memenuhi unsur “mengambil barang milik orang lain.”

Yurisprudensi ini menunjukkan bahwa pengertian benda dalam hukum Indonesia telah bergeser dari materialistik menjadi fungsionalistik. Objek yang tidak berwujud, seperti listrik, diakui sebagai benda apabila dapat dikuasai, memiliki manfaat ekonomi, dan dapat dialihkan.
Analogi ini dapat diterapkan pada aset digital, karena memiliki karakteristik serupa:

  1. Tidak berwujud secara fisik,
  2. Dapat dimiliki melalui sistem kontrol (misalnya private key atau digital wallet),
  3. Dapat diperdagangkan dan dialihkan antar pihak,
  4. Mempunyai nilai ekonomi yang diakui secara internasional.

Jika listrik diakui sebagai benda, maka secara argumentasi analogis (argumentum per analogiam), aset digital juga dapat dikategorikan sebagai benda bergerak tidak bertubuh.
Dengan demikian, pengakuan terhadap aset digital sebagai objek jaminan bukan merupakan penyimpangan hukum, tetapi kelanjutan logis dari doktrin dan yurisprudensi yang telah berkembang.


4.3. Analisis Komparatif Indonesia dan Belanda dalam Pengakuan Aset Digital

Hukum Belanda menjadi rujukan utama karena Indonesia menganut sistem hukum sipil yang berasal dari Belanda. Dalam Burgerlijk Wetboek (BW) Buku 3 Pasal 2, benda (zaken) diartikan sebagai objek berwujud yang dapat dikuasai. Namun, dalam Pasal 3:6 BW, Belanda memperluas konsep benda melalui pengakuan terhadap hak kekayaan (vermogensrechten), yaitu hak yang dapat dialihkan dan memberikan manfaat ekonomi kepada pemiliknya.

Preseden historis yang sangat berpengaruh adalah Arrest Hoge Raad 23 Mei 1921 (NJ 1921, 564) atau dikenal sebagai Electriciteitsarrest. Dalam perkara tersebut, Mahkamah Agung Belanda menegaskan bahwa listrik dapat dikategorikan sebagai benda karena dapat dikuasai dan memiliki nilai ekonomi, meskipun tidak berwujud.
Putusan ini menjadi titik awal pergeseran doktrin dari paradigma materialisme hukum ke fungsionalisme hukum kebendaan.

Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa Belanda secara eksplisit telah mengakui aset digital sebagai objek hukum kekayaan. Melalui doktrin digital vermogensrechten (digital property rights), para sarjana seperti Van Erp (2021) dan Van der Merwe (2020) berpendapat bahwa hak kekayaan digital memiliki karakteristik hukum yang sama dengan hak kebendaan konvensional.

Lebih jauh, sistem hukum Uni Eropa memperkuat hal ini melalui regulasi Markets in Crypto-Assets (MiCA) Regulation yang mulai berlaku tahun 2024, di mana aset kripto dan token digital diakui sebagai aset yang dapat dimiliki dan dijadikan jaminan transaksi keuangan.
Dengan demikian, sistem hukum Belanda telah lebih adaptif terhadap dinamika ekonomi digital, sementara Indonesia masih mempertahankan pendekatan tekstual.


4.4. Peran Notaris dalam Menjamin Kepastian Hukum Transaksi Digital

Notaris memiliki kedudukan strategis dalam memastikan kepastian hukum setiap perbuatan hukum perdata. Berdasarkan Pasal 1 angka (1) UU Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris, notaris adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik dan memiliki fungsi perlindungan hukum bagi masyarakat.

Dalam konteks aset digital, notaris berhadapan dengan tantangan baru — objek hukum yang belum memiliki definisi formal namun memiliki nilai ekonomi nyata. Menurut Habib Adjie (2018), notaris berkewajiban menjalankan prinsip kehati-hatian (prudential principle) dalam pembuatan akta, termasuk melakukan verifikasi atas kebenaran data dan status objek yang dijaminkan.

Notaris dapat berperan sebagai:

  1. Verifikator hukum – memastikan kepemilikan aset digital melalui bukti autentik seperti hash, wallet ID, atau private key certificate;
  2. Mediator hukum – menjembatani hubungan hukum antara kreditor dan debitor dalam transaksi digital;
  3. Pelindung kepentingan publik – memastikan bahwa transaksi aset digital tidak bertentangan dengan peraturan keuangan dan anti pencucian uang.

Namun, jika notaris membuat akta fidusia atas aset digital tanpa dasar hukum eksplisit, maka dapat timbul tanggung jawab hukum (baik administratif maupun perdata). Oleh karena itu, peran notaris tidak hanya bersifat reaktif terhadap norma hukum, tetapi juga proaktif sebagai agen inovasi hukum.


4.5. Prospek Notaris Digital dan Fidusia Berbasis Blockchain

Inovasi hukum kenotariatan di era digital tidak bisa dihindarkan. Beberapa negara seperti Belanda dan Estonia telah mengembangkan sistem e-Notary yang memungkinkan pembuatan akta otentik secara elektronik dengan tanda tangan digital yang sah secara hukum.
Konsep ini sejalan dengan Pasal 11 UU ITE dan PP No. 71 Tahun 2019 yang mengatur validitas tanda tangan elektronik tersertifikasi di Indonesia.

Teknologi blockchain menawarkan peluang baru untuk sistem jaminan yang lebih aman dan transparan. Dalam sistem ini, setiap akta fidusia digital dapat direkam dalam ledger terdesentralisasi yang tidak dapat diubah (immutable). Notaris berfungsi sebagai node verifikator hukum, bukan sekadar pencatat administratif.

Keuntungan sistem ini antara lain:

  1. Keamanan data tinggi – tidak dapat diubah atau dihapus tanpa konsensus;
  2. Transparansi – seluruh pihak dapat menelusuri perubahan hak kepemilikan;
  3. Efisiensi waktu dan biaya – registrasi akta dapat dilakukan otomatis;
  4. Keabsahan hukum – dengan tanda tangan digital tersertifikasi, akta tetap memiliki kekuatan pembuktian otentik.

Dengan demikian, notaris Indonesia berpotensi mengadopsi sistem fidusia digital berbasis blockchain, di mana setiap transaksi jaminan aset digital dicatat dan diverifikasi secara real-time.
Hal ini akan memperkuat posisi notaris sebagai penjaga kepastian hukum di era ekonomi digital.


4.6. Argumentasi Normatif dan Reformasi Hukum

Berdasarkan pendekatan normatif yuridis, hukum harus mengikuti perkembangan sosial dan ekonomi masyarakat. Satjipto Rahardjo (2020) melalui teori hukum progresif menekankan bahwa hukum tidak boleh kaku, melainkan harus mampu melayani kebutuhan masyarakat modern.
Dalam konteks ini, pengakuan aset digital sebagai objek jaminan hutang merupakan bentuk evolusi hukum kebendaan, bukan revolusi.

Reformasi hukum yang diperlukan meliputi:

  1. Revisi UU Jaminan Fidusia untuk memasukkan aset digital sebagai objek fidusia;
  2. Revisi UU Jabatan Notaris untuk mengakui akta elektronik dan registrasi berbasis blockchain;
  3. Penyusunan Peraturan Menteri Hukum dan HAM tentang tata cara pendaftaran fidusia digital;
  4. Peningkatan kapasitas digital notaris melalui sertifikasi teknologi hukum (legal tech certification).

Langkah-langkah tersebut akan memastikan sistem hukum Indonesia tetap relevan dan kompetitif dalam menghadapi ekonomi digital global.


4.7. Sintesis Akhir Analisis

Dari keseluruhan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa aset digital memenuhi unsur benda bergerak tidak bertubuh dalam hukum kebendaan Indonesia.
Melalui analogi yurisprudensi dan pendekatan fungsionalistik seperti di Belanda, aset digital dapat dijadikan objek jaminan hutang dengan syarat adanya rekognisi hukum formal.

Peran notaris sangat sentral dalam proses ini, tidak hanya sebagai pejabat pembuat akta, tetapi juga sebagai katalisator inovasi hukum menuju sistem kenotariatan digital.
Pengembangan fidusia digital berbasis blockchain menjadi peluang emas bagi Indonesia untuk menegakkan kepastian hukum, efisiensi administrasi, dan transparansi hukum ekonomi masa depan.

Baca selanjutnya...

Aset Digital sebagai Jaminan Hutang dan Peran Notaris (part 1 )

KEDUDUKAN ASET DIGITAL SEBAGAI JAMINAN HUTANG DALAM PERSPEKTIF HUKUM INDONESIA DAN HUKUM BELANDA

Oleh:
Jusuf Patrianto Tjahjono, S.H., M.H.
Praktisi Hukum Kenotariatan di Surabaya – Indonesia


ABSTRAK

Perkembangan ekonomi digital global telah mengubah paradigma nilai kekayaan dari benda berwujud menuju aset tidak berwujud seperti cryptocurrency, token, dan Non-Fungible Token (NFT). Aset-aset tersebut memiliki nilai ekonomi tinggi dan dapat dipindahtangankan, namun sistem hukum Indonesia belum mengakui secara eksplisit statusnya sebagai objek jaminan hutang. Penelitian ini bertujuan menganalisis kedudukan aset digital dalam hukum kebendaan Indonesia dan membandingkannya dengan hukum Belanda yang telah mengadopsi konsep digital property rights. Selain itu, dibahas pula peran dan tanggung jawab notaris dalam mengatur serta melegitimasi transaksi jaminan aset digital, termasuk potensi penerapan sistem notariat digital berbasis blockchain.

Metode penelitian yang digunakan adalah normatif yuridis dengan pendekatan perundang-undangan, konseptual, dan perbandingan hukum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun aset digital belum diakui sebagai objek jaminan fidusia secara positif, penafsiran progresif terhadap konsep “benda bergerak tidak bertubuh” serta pengembangan sistem hukum notariat digital (cyber notary ) memungkinkan pengakuan dan pengaturannya di masa mendatang.

Kata kunci: Aset digital, fidusia, hukum kebendaan, hukum Belanda, notaris digital, blockchain.


1. PENDAHULUAN

Perkembangan teknologi blockchain telah menghasilkan bentuk kekayaan baru yang dikenal sebagai aset digital, termasuk cryptocurrency dan token digital. Nilai aset digital yang tinggi menjadikannya alat investasi, transaksi, bahkan jaminan hutang di berbagai negara. Namun, dalam konteks hukum Indonesia, status aset digital sebagai objek jaminan masih problematik karena tidak termasuk kategori benda yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) maupun Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

Dalam praktik di Belanda dan beberapa negara Eropa, sistem hukum telah menyesuaikan diri dengan perkembangan ini melalui pengakuan terhadap digital property rights atau hak kekayaan digital. Indonesia, yang menganut sistem hukum sipil berbasis Belanda, memiliki dasar konseptual untuk menempuh arah serupa. Namun, perubahan tersebut membutuhkan interpretasi baru terhadap konsep “benda” serta peran aktif notaris sebagai pejabat umum yang menjembatani perubahan hukum kebendaan menuju era digital.


2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Teori Umum Hukum Kebendaan

Menurut Subekti (2008), hukum kebendaan adalah bagian dari hukum perdata yang mengatur hubungan antara subjek hukum dengan benda. Pasal 499 KUHPerdata mendefinisikan benda sebagai segala sesuatu yang dapat menjadi objek hak milik. Benda dalam pengertian hukum dapat berupa benda berwujud maupun tidak berwujud, selama dapat dikuasai dan memberikan manfaat ekonomi.

Boedi Harsono (2015) menegaskan bahwa hukum kebendaan harus menjamin kepastian hukum atas setiap bentuk kekayaan yang memiliki nilai ekonomi, termasuk yang tidak memiliki wujud fisik.


2.2. Konsep Benda Bergerak Tidak Bertubuh dan Yurisprudensi Indonesia

Pasal 511 KUHPerdata menyebutkan bahwa hak-hak yang tidak berwujud tetapi dapat dialihkan dikategorikan sebagai benda bergerak. Dalam konteks ini, benda bergerak tidak bertubuh mencakup piutang, saham, hak cipta, dan sejenisnya.

Mahkamah Agung RI melalui Putusan Nomor 2379 K/Pid.Sus/2010 menyatakan bahwa listrik merupakan benda bergerak tidak bertubuh yang dapat menjadi objek pencurian, karena memiliki nilai ekonomi, dapat diukur, dan dikuasai manusia.
Pandangan ini ditegaskan kembali dalam Putusan PN Jakarta Utara Nomor 95/Pid.Sus/2020, di mana penyambungan listrik ilegal dianggap sebagai pengambilan barang milik orang lain.

Dengan demikian, hukum Indonesia telah mengakui bahwa benda tidak berwujud yang dapat dikuasai dan bernilai ekonomi termasuk dalam kategori benda dalam arti hukum. Oleh karena itu, aset digital yang memenuhi unsur tersebut berpotensi disamakan dengan listrik sebagai benda bergerak tidak bertubuh.


2.3. Konsep Hukum Kebendaan dan Benda Tidak Berwujud di Belanda

Dalam Burgerlijk Wetboek (BW) Buku 3 Pasal 2, benda (zaken) diartikan sebagai objek berwujud yang dapat dikuasai manusia. Namun, Pasal 3:6 BW memperluas cakupan hukum benda dengan mengakui hak kekayaan (vermogensrechten) sebagai hak yang dapat dialihkan dan memiliki nilai ekonomi.

Preseden penting muncul melalui Arrest Hoge Raad tanggal 23 Mei 1921 (NJ 1921, 564), dikenal sebagai Electriciteitsarrest, di mana pengadilan tertinggi Belanda mengakui listrik sebagai benda (goed) meskipun tidak berwujud, karena dapat dikuasai dan bernilai ekonomi.

Dalam perkembangannya, Belanda mengembangkan doktrin digital vermogensrechten (hak kekayaan digital), sebagaimana dijelaskan oleh Van Erp (2021) dan Van der Merwe (2020), bahwa aset digital dapat dianggap sebagai hak kekayaan jika memenuhi tiga unsur utama:
(1) dapat dialihkan (transferable),
(2) memiliki nilai ekonomi (economic value), dan
(3) dapat dikuasai (controllable) secara hukum.

Dengan demikian, hukum Belanda telah beralih dari paradigma materialistik menuju fungsionalistik dalam menentukan objek kebendaan.


2.4. Peraturan Hukum Aset Digital di Indonesia

Peraturan Bappebti No. 5 Tahun 2019 mengakui aset kripto sebagai komoditas perdagangan yang dapat diperdagangkan di bursa berjangka. Namun, pengakuan ini bersifat administratif dan belum mengatur aspek kepemilikan hukum privat (hak kebendaan).
Aset digital belum termasuk dalam kategori benda yang dapat dijadikan objek fidusia menurut UU No. 42 Tahun 1999, karena belum ada norma eksplisit yang memasukkannya dalam daftar benda yang dapat dibebani jaminan.


2.5. Peran dan Tanggung Jawab Notaris dalam Transaksi Jaminan Digital

Berdasarkan UU Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris, notaris berwenang membuat akta otentik yang memuat perjanjian dan pernyataan kehendak para pihak, termasuk perjanjian jaminan fidusia. Namun, jika objek jaminan belum diatur secara eksplisit dalam hukum positif, notaris harus berhati-hati dalam menetapkan legalitas objek tersebut.

Menurut Habib Adjie (2018), tanggung jawab notaris tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga etik dan hukum, mencakup keharusan melakukan legal checking terhadap objek yang dijaminkan. Dalam konteks aset digital, notaris harus memastikan kepemilikan sah atas aset melalui verifikasi digital (misalnya bukti kepemilikan private key).

Tanggung jawab notaris dalam pembuatan akta fidusia atas aset digital mencakup:

  1. Memastikan kejelasan subjek dan objek perjanjian,
  2. Menjelaskan kepada para pihak risiko hukum dari objek yang belum memiliki dasar hukum eksplisit,
  3. Melakukan penafsiran progresif terhadap norma hukum kebendaan,
  4. Melindungi kepentingan kreditor dan debitor melalui klausul perlindungan hukum tambahan.


2.6. Inovasi Notariat: Menuju Notaris Digital dan Fidusia Berbasis Blockchain

Dalam era transformasi digital, peran notaris dituntut untuk beradaptasi. Konsep notaris digital (cyber notary system) telah diterapkan di Belanda dan Estonia, di mana akta otentik dapat dibuat secara elektronik dengan tanda tangan digital yang terverifikasi.

Dalam konteks Indonesia, UU ITE dan PP No. 71 Tahun 2019 membuka peluang untuk penggunaan tanda tangan elektronik tersertifikasi. Pengembangan blockchain notarization dapat memberikan keamanan tambahan dalam autentikasi dan penyimpanan data akta.

Model ini memungkinkan pembentukan registrasi fidusia digital berbasis blockchain, di mana:

  • setiap akta jaminan digital direkam dalam ledger publik terenkripsi,
  • perubahan kepemilikan dapat dilacak secara real-time,
  • dan verifikasi dilakukan oleh sistem desentralisasi, bukan otoritas tunggal.

Dengan demikian, notaris dapat berperan bukan hanya sebagai pejabat formal pencatat, tetapi juga sebagai penjamin keabsahan hukum dalam ekosistem ekonomi digital.


3. METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan normatif yuridis, dengan:

  • Pendekatan perundang-undangan (statute approach) terhadap KUHPerdata, UU Fidusia, UU ITE, dan UU Jabatan Notaris;
  • Pendekatan konseptual (conceptual approach) terhadap teori hukum kebendaan dan hak kekayaan digital;
  • Pendekatan komparatif (comparative approach) terhadap sistem hukum Belanda;
  • Pendekatan kasus (case approach) melalui analisis putusan MA dan Hoge Raad.

Baca selanjutnya...