29 Oktober 2025

Aset Digital sebagai Jaminan Hutang dan Peran Notaris (part 1 )

KEDUDUKAN ASET DIGITAL SEBAGAI JAMINAN HUTANG DALAM PERSPEKTIF HUKUM INDONESIA DAN HUKUM BELANDA

Oleh:
Jusuf Patrianto Tjahjono, S.H., M.H.
Praktisi Hukum Kenotariatan di Surabaya – Indonesia


ABSTRAK

Perkembangan ekonomi digital global telah mengubah paradigma nilai kekayaan dari benda berwujud menuju aset tidak berwujud seperti cryptocurrency, token, dan Non-Fungible Token (NFT). Aset-aset tersebut memiliki nilai ekonomi tinggi dan dapat dipindahtangankan, namun sistem hukum Indonesia belum mengakui secara eksplisit statusnya sebagai objek jaminan hutang. Penelitian ini bertujuan menganalisis kedudukan aset digital dalam hukum kebendaan Indonesia dan membandingkannya dengan hukum Belanda yang telah mengadopsi konsep digital property rights. Selain itu, dibahas pula peran dan tanggung jawab notaris dalam mengatur serta melegitimasi transaksi jaminan aset digital, termasuk potensi penerapan sistem notariat digital berbasis blockchain.

Metode penelitian yang digunakan adalah normatif yuridis dengan pendekatan perundang-undangan, konseptual, dan perbandingan hukum. Hasil penelitian menunjukkan bahwa meskipun aset digital belum diakui sebagai objek jaminan fidusia secara positif, penafsiran progresif terhadap konsep “benda bergerak tidak bertubuh” serta pengembangan sistem hukum notariat digital (cyber notary ) memungkinkan pengakuan dan pengaturannya di masa mendatang.

Kata kunci: Aset digital, fidusia, hukum kebendaan, hukum Belanda, notaris digital, blockchain.


1. PENDAHULUAN

Perkembangan teknologi blockchain telah menghasilkan bentuk kekayaan baru yang dikenal sebagai aset digital, termasuk cryptocurrency dan token digital. Nilai aset digital yang tinggi menjadikannya alat investasi, transaksi, bahkan jaminan hutang di berbagai negara. Namun, dalam konteks hukum Indonesia, status aset digital sebagai objek jaminan masih problematik karena tidak termasuk kategori benda yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) maupun Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia.

Dalam praktik di Belanda dan beberapa negara Eropa, sistem hukum telah menyesuaikan diri dengan perkembangan ini melalui pengakuan terhadap digital property rights atau hak kekayaan digital. Indonesia, yang menganut sistem hukum sipil berbasis Belanda, memiliki dasar konseptual untuk menempuh arah serupa. Namun, perubahan tersebut membutuhkan interpretasi baru terhadap konsep “benda” serta peran aktif notaris sebagai pejabat umum yang menjembatani perubahan hukum kebendaan menuju era digital.


2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Teori Umum Hukum Kebendaan

Menurut Subekti (2008), hukum kebendaan adalah bagian dari hukum perdata yang mengatur hubungan antara subjek hukum dengan benda. Pasal 499 KUHPerdata mendefinisikan benda sebagai segala sesuatu yang dapat menjadi objek hak milik. Benda dalam pengertian hukum dapat berupa benda berwujud maupun tidak berwujud, selama dapat dikuasai dan memberikan manfaat ekonomi.

Boedi Harsono (2015) menegaskan bahwa hukum kebendaan harus menjamin kepastian hukum atas setiap bentuk kekayaan yang memiliki nilai ekonomi, termasuk yang tidak memiliki wujud fisik.


2.2. Konsep Benda Bergerak Tidak Bertubuh dan Yurisprudensi Indonesia

Pasal 511 KUHPerdata menyebutkan bahwa hak-hak yang tidak berwujud tetapi dapat dialihkan dikategorikan sebagai benda bergerak. Dalam konteks ini, benda bergerak tidak bertubuh mencakup piutang, saham, hak cipta, dan sejenisnya.

Mahkamah Agung RI melalui Putusan Nomor 2379 K/Pid.Sus/2010 menyatakan bahwa listrik merupakan benda bergerak tidak bertubuh yang dapat menjadi objek pencurian, karena memiliki nilai ekonomi, dapat diukur, dan dikuasai manusia.
Pandangan ini ditegaskan kembali dalam Putusan PN Jakarta Utara Nomor 95/Pid.Sus/2020, di mana penyambungan listrik ilegal dianggap sebagai pengambilan barang milik orang lain.

Dengan demikian, hukum Indonesia telah mengakui bahwa benda tidak berwujud yang dapat dikuasai dan bernilai ekonomi termasuk dalam kategori benda dalam arti hukum. Oleh karena itu, aset digital yang memenuhi unsur tersebut berpotensi disamakan dengan listrik sebagai benda bergerak tidak bertubuh.


2.3. Konsep Hukum Kebendaan dan Benda Tidak Berwujud di Belanda

Dalam Burgerlijk Wetboek (BW) Buku 3 Pasal 2, benda (zaken) diartikan sebagai objek berwujud yang dapat dikuasai manusia. Namun, Pasal 3:6 BW memperluas cakupan hukum benda dengan mengakui hak kekayaan (vermogensrechten) sebagai hak yang dapat dialihkan dan memiliki nilai ekonomi.

Preseden penting muncul melalui Arrest Hoge Raad tanggal 23 Mei 1921 (NJ 1921, 564), dikenal sebagai Electriciteitsarrest, di mana pengadilan tertinggi Belanda mengakui listrik sebagai benda (goed) meskipun tidak berwujud, karena dapat dikuasai dan bernilai ekonomi.

Dalam perkembangannya, Belanda mengembangkan doktrin digital vermogensrechten (hak kekayaan digital), sebagaimana dijelaskan oleh Van Erp (2021) dan Van der Merwe (2020), bahwa aset digital dapat dianggap sebagai hak kekayaan jika memenuhi tiga unsur utama:
(1) dapat dialihkan (transferable),
(2) memiliki nilai ekonomi (economic value), dan
(3) dapat dikuasai (controllable) secara hukum.

Dengan demikian, hukum Belanda telah beralih dari paradigma materialistik menuju fungsionalistik dalam menentukan objek kebendaan.


2.4. Peraturan Hukum Aset Digital di Indonesia

Peraturan Bappebti No. 5 Tahun 2019 mengakui aset kripto sebagai komoditas perdagangan yang dapat diperdagangkan di bursa berjangka. Namun, pengakuan ini bersifat administratif dan belum mengatur aspek kepemilikan hukum privat (hak kebendaan).
Aset digital belum termasuk dalam kategori benda yang dapat dijadikan objek fidusia menurut UU No. 42 Tahun 1999, karena belum ada norma eksplisit yang memasukkannya dalam daftar benda yang dapat dibebani jaminan.


2.5. Peran dan Tanggung Jawab Notaris dalam Transaksi Jaminan Digital

Berdasarkan UU Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris, notaris berwenang membuat akta otentik yang memuat perjanjian dan pernyataan kehendak para pihak, termasuk perjanjian jaminan fidusia. Namun, jika objek jaminan belum diatur secara eksplisit dalam hukum positif, notaris harus berhati-hati dalam menetapkan legalitas objek tersebut.

Menurut Habib Adjie (2018), tanggung jawab notaris tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga etik dan hukum, mencakup keharusan melakukan legal checking terhadap objek yang dijaminkan. Dalam konteks aset digital, notaris harus memastikan kepemilikan sah atas aset melalui verifikasi digital (misalnya bukti kepemilikan private key).

Tanggung jawab notaris dalam pembuatan akta fidusia atas aset digital mencakup:

  1. Memastikan kejelasan subjek dan objek perjanjian,
  2. Menjelaskan kepada para pihak risiko hukum dari objek yang belum memiliki dasar hukum eksplisit,
  3. Melakukan penafsiran progresif terhadap norma hukum kebendaan,
  4. Melindungi kepentingan kreditor dan debitor melalui klausul perlindungan hukum tambahan.


2.6. Inovasi Notariat: Menuju Notaris Digital dan Fidusia Berbasis Blockchain

Dalam era transformasi digital, peran notaris dituntut untuk beradaptasi. Konsep notaris digital (cyber notary system) telah diterapkan di Belanda dan Estonia, di mana akta otentik dapat dibuat secara elektronik dengan tanda tangan digital yang terverifikasi.

Dalam konteks Indonesia, UU ITE dan PP No. 71 Tahun 2019 membuka peluang untuk penggunaan tanda tangan elektronik tersertifikasi. Pengembangan blockchain notarization dapat memberikan keamanan tambahan dalam autentikasi dan penyimpanan data akta.

Model ini memungkinkan pembentukan registrasi fidusia digital berbasis blockchain, di mana:

  • setiap akta jaminan digital direkam dalam ledger publik terenkripsi,
  • perubahan kepemilikan dapat dilacak secara real-time,
  • dan verifikasi dilakukan oleh sistem desentralisasi, bukan otoritas tunggal.

Dengan demikian, notaris dapat berperan bukan hanya sebagai pejabat formal pencatat, tetapi juga sebagai penjamin keabsahan hukum dalam ekosistem ekonomi digital.


3. METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan normatif yuridis, dengan:

  • Pendekatan perundang-undangan (statute approach) terhadap KUHPerdata, UU Fidusia, UU ITE, dan UU Jabatan Notaris;
  • Pendekatan konseptual (conceptual approach) terhadap teori hukum kebendaan dan hak kekayaan digital;
  • Pendekatan komparatif (comparative approach) terhadap sistem hukum Belanda;
  • Pendekatan kasus (case approach) melalui analisis putusan MA dan Hoge Raad.

Tidak ada komentar: