4. PEMBAHASAN DAN ANALISIS
4.1. Penafsiran terhadap Unsur “Benda” dalam Hukum Indonesia
Konsep “benda” dalam hukum Indonesia masih berakar pada pengertian klasik sebagaimana diatur dalam Pasal 499 KUHPerdata, yaitu “segala sesuatu yang dapat menjadi objek hak milik.” Definisi ini tampak sederhana, namun bersifat terbuka (open legal concept) karena tidak membatasi bentuk fisik dari objek tersebut. Artinya, segala sesuatu yang dapat dikuasai dan memiliki nilai ekonomi dapat dikategorikan sebagai benda dalam arti hukum, meskipun tidak memiliki wujud material.
Namun, praktik hukum di Indonesia masih cenderung tekstual dan formalis, membatasi makna “benda” pada objek yang dapat diraba dan dilihat. Padahal, secara teori kebendaan modern, yang penting bukanlah keberadaan fisik, melainkan fungsi ekonomi dan kemampuan hukum untuk menguasai dan mengalihkan objek tersebut.
Dalam konteks ini, konsep yang dikemukakan Van Erp (2021) sangat relevan, yakni property as control, di mana hak milik tidak lagi dipahami sebagai hubungan fisik antara manusia dan benda, tetapi sebagai kontrol hukum terhadap nilai ekonomi tertentu. Jika prinsip ini diterapkan, maka aset digital dapat dianggap sebagai objek hukum karena dapat dimiliki (melalui private key), dialihkan (melalui transaksi digital), dan memiliki nilai ekonomi yang nyata.
Dengan demikian, pendekatan hermeneutik terhadap Pasal 499 KUHPerdata memungkinkan interpretasi progresif bahwa aset digital termasuk benda dalam arti hukum. Ini menjadi landasan konseptual bagi pengakuan aset digital sebagai objek jaminan hutang di Indonesia.
4.2. Analogi Yurisprudensi Listrik sebagai Benda Tidak Bertubuh
Preseden penting dalam pengakuan benda tidak berwujud di Indonesia adalah Putusan Mahkamah Agung Nomor 2379 K/Pid.Sus/2010, di mana Mahkamah menyatakan bahwa listrik adalah benda bergerak tidak bertubuh yang dapat dicuri karena memiliki nilai ekonomi dan dapat dikuasai manusia.
Demikian pula dalam Putusan PN Jakarta Utara Nomor 95/Pid.Sus/2020, tindakan penyambungan listrik ilegal dianggap sebagai pencurian karena memenuhi unsur “mengambil barang milik orang lain.”
Yurisprudensi ini menunjukkan bahwa pengertian benda dalam hukum Indonesia telah bergeser dari materialistik menjadi fungsionalistik. Objek yang tidak berwujud, seperti listrik, diakui sebagai benda apabila dapat dikuasai, memiliki manfaat ekonomi, dan dapat dialihkan.
Analogi ini dapat diterapkan pada aset digital, karena memiliki karakteristik serupa:
- Tidak berwujud secara fisik,
- Dapat dimiliki melalui sistem kontrol (misalnya private key atau digital wallet),
- Dapat diperdagangkan dan dialihkan antar pihak,
- Mempunyai nilai ekonomi yang diakui secara internasional.
Jika listrik diakui sebagai benda, maka secara argumentasi analogis (argumentum per analogiam), aset digital juga dapat dikategorikan sebagai benda bergerak tidak bertubuh.
Dengan demikian, pengakuan terhadap aset digital sebagai objek jaminan bukan merupakan penyimpangan hukum, tetapi kelanjutan logis dari doktrin dan yurisprudensi yang telah berkembang.
4.3. Analisis Komparatif Indonesia dan Belanda dalam Pengakuan Aset Digital
Hukum Belanda menjadi rujukan utama karena Indonesia menganut sistem hukum sipil yang berasal dari Belanda. Dalam Burgerlijk Wetboek (BW) Buku 3 Pasal 2, benda (zaken) diartikan sebagai objek berwujud yang dapat dikuasai. Namun, dalam Pasal 3:6 BW, Belanda memperluas konsep benda melalui pengakuan terhadap hak kekayaan (vermogensrechten), yaitu hak yang dapat dialihkan dan memberikan manfaat ekonomi kepada pemiliknya.
Preseden historis yang sangat berpengaruh adalah Arrest Hoge Raad 23 Mei 1921 (NJ 1921, 564) atau dikenal sebagai Electriciteitsarrest. Dalam perkara tersebut, Mahkamah Agung Belanda menegaskan bahwa listrik dapat dikategorikan sebagai benda karena dapat dikuasai dan memiliki nilai ekonomi, meskipun tidak berwujud.
Putusan ini menjadi titik awal pergeseran doktrin dari paradigma materialisme hukum ke fungsionalisme hukum kebendaan.
Perkembangan selanjutnya menunjukkan bahwa Belanda secara eksplisit telah mengakui aset digital sebagai objek hukum kekayaan. Melalui doktrin digital vermogensrechten (digital property rights), para sarjana seperti Van Erp (2021) dan Van der Merwe (2020) berpendapat bahwa hak kekayaan digital memiliki karakteristik hukum yang sama dengan hak kebendaan konvensional.
Lebih jauh, sistem hukum Uni Eropa memperkuat hal ini melalui regulasi Markets in Crypto-Assets (MiCA) Regulation yang mulai berlaku tahun 2024, di mana aset kripto dan token digital diakui sebagai aset yang dapat dimiliki dan dijadikan jaminan transaksi keuangan.
Dengan demikian, sistem hukum Belanda telah lebih adaptif terhadap dinamika ekonomi digital, sementara Indonesia masih mempertahankan pendekatan tekstual.
4.4. Peran Notaris dalam Menjamin Kepastian Hukum Transaksi Digital
Notaris memiliki kedudukan strategis dalam memastikan kepastian hukum setiap perbuatan hukum perdata. Berdasarkan Pasal 1 angka (1) UU Nomor 2 Tahun 2014 tentang Jabatan Notaris, notaris adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik dan memiliki fungsi perlindungan hukum bagi masyarakat.
Dalam konteks aset digital, notaris berhadapan dengan tantangan baru — objek hukum yang belum memiliki definisi formal namun memiliki nilai ekonomi nyata. Menurut Habib Adjie (2018), notaris berkewajiban menjalankan prinsip kehati-hatian (prudential principle) dalam pembuatan akta, termasuk melakukan verifikasi atas kebenaran data dan status objek yang dijaminkan.
Notaris dapat berperan sebagai:
- Verifikator hukum – memastikan kepemilikan aset digital melalui bukti autentik seperti hash, wallet ID, atau private key certificate;
- Mediator hukum – menjembatani hubungan hukum antara kreditor dan debitor dalam transaksi digital;
- Pelindung kepentingan publik – memastikan bahwa transaksi aset digital tidak bertentangan dengan peraturan keuangan dan anti pencucian uang.
Namun, jika notaris membuat akta fidusia atas aset digital tanpa dasar hukum eksplisit, maka dapat timbul tanggung jawab hukum (baik administratif maupun perdata). Oleh karena itu, peran notaris tidak hanya bersifat reaktif terhadap norma hukum, tetapi juga proaktif sebagai agen inovasi hukum.
4.5. Prospek Notaris Digital dan Fidusia Berbasis Blockchain
Inovasi hukum kenotariatan di era digital tidak bisa dihindarkan. Beberapa negara seperti Belanda dan Estonia telah mengembangkan sistem e-Notary yang memungkinkan pembuatan akta otentik secara elektronik dengan tanda tangan digital yang sah secara hukum.
Konsep ini sejalan dengan Pasal 11 UU ITE dan PP No. 71 Tahun 2019 yang mengatur validitas tanda tangan elektronik tersertifikasi di Indonesia.
Teknologi blockchain menawarkan peluang baru untuk sistem jaminan yang lebih aman dan transparan. Dalam sistem ini, setiap akta fidusia digital dapat direkam dalam ledger terdesentralisasi yang tidak dapat diubah (immutable). Notaris berfungsi sebagai node verifikator hukum, bukan sekadar pencatat administratif.
Keuntungan sistem ini antara lain:
- Keamanan data tinggi – tidak dapat diubah atau dihapus tanpa konsensus;
- Transparansi – seluruh pihak dapat menelusuri perubahan hak kepemilikan;
- Efisiensi waktu dan biaya – registrasi akta dapat dilakukan otomatis;
- Keabsahan hukum – dengan tanda tangan digital tersertifikasi, akta tetap memiliki kekuatan pembuktian otentik.
Dengan demikian, notaris Indonesia berpotensi mengadopsi sistem fidusia digital berbasis blockchain, di mana setiap transaksi jaminan aset digital dicatat dan diverifikasi secara real-time.
Hal ini akan memperkuat posisi notaris sebagai penjaga kepastian hukum di era ekonomi digital.
4.6. Argumentasi Normatif dan Reformasi Hukum
Berdasarkan pendekatan normatif yuridis, hukum harus mengikuti perkembangan sosial dan ekonomi masyarakat. Satjipto Rahardjo (2020) melalui teori hukum progresif menekankan bahwa hukum tidak boleh kaku, melainkan harus mampu melayani kebutuhan masyarakat modern.
Dalam konteks ini, pengakuan aset digital sebagai objek jaminan hutang merupakan bentuk evolusi hukum kebendaan, bukan revolusi.
Reformasi hukum yang diperlukan meliputi:
- Revisi UU Jaminan Fidusia untuk memasukkan aset digital sebagai objek fidusia;
- Revisi UU Jabatan Notaris untuk mengakui akta elektronik dan registrasi berbasis blockchain;
- Penyusunan Peraturan Menteri Hukum dan HAM tentang tata cara pendaftaran fidusia digital;
- Peningkatan kapasitas digital notaris melalui sertifikasi teknologi hukum (legal tech certification).
Langkah-langkah tersebut akan memastikan sistem hukum Indonesia tetap relevan dan kompetitif dalam menghadapi ekonomi digital global.
4.7. Sintesis Akhir Analisis
Dari keseluruhan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa aset digital memenuhi unsur benda bergerak tidak bertubuh dalam hukum kebendaan Indonesia.
Melalui analogi yurisprudensi dan pendekatan fungsionalistik seperti di Belanda, aset digital dapat dijadikan objek jaminan hutang dengan syarat adanya rekognisi hukum formal.
Peran notaris sangat sentral dalam proses ini, tidak hanya sebagai pejabat pembuat akta, tetapi juga sebagai katalisator inovasi hukum menuju sistem kenotariatan digital.
Pengembangan fidusia digital berbasis blockchain menjadi peluang emas bagi Indonesia untuk menegakkan kepastian hukum, efisiensi administrasi, dan transparansi hukum ekonomi masa depan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar